Pesta??

1633 Words
Jakarta, 2001 *** "kamu sudah siap, Meera??"  Aku menengok, menemukan Mama sedang berdiri di dekat ranjangku sambil tersenyum lebar. Sejak kejadian buruk beberapa hari lalu, Mama tidak pernah terlihat tersenyum selebar ini. Apa acara ini teramat penting baginya?? Ajang pamer yang diselubungi oleh kata 'amal'. Yaa, begitulah kehidupan manusia di kelas atas. Tidak pamer, tidak hidup. "gaunmu kenapa yang itu? Jangan memakai warna putih, kulitmu terlihat pucat seperti vampir. Mama sudah memilih warna maroon, kan??" Tanya Mama lagi sambil berjalan mendekat dan menyentuh ujung gaun putihku seakan dia sedang melihat kualitas kain gaun ini. "Ma, berhentilah bersikap seperti ini! Aku mau pakai gaun yang aku suka" Ucapku. Mama mengernyitkan dahinya sejenak.  "kamu tahu, hari ini kita akan pergi ke acara penting. Jangan merusak suasana!" Aku menatap lama ke arah Mama. Hal seperti ini sudah sering terjadi. Sebagai keluarga terpandang, setiap ada acara seperti ini kami akan selalu berpakaian senada. Aku tahu ini membosankan, tapi begitulah kenyataannya. "apa pentingnya datang ke acara semacam ini?? Usaha Mama tidak membuahkan hasil, wanita itu tetap ada di rumah!" "diam, Meera!" Aku menatap sekeliling. Beberapa pelayan masih berada di sini. Mereka baru saja selesai merias dan menata rambutku.  "kalian pergilah.." Kataku pelan. "jangan menjatuhkan diriku, Meera. Aku sudah cukup terlihat bodoh disini" Mataku terpaku. Aku melihat banyak kerapuhan. Aku melihat luka yang dalam. Yang tidak pernah aku lihat di diri Mama.  Tanganku bergerak menyentuh Mama. Kubiarkan diriku memeluk Mama. Mencoba saling menguatkan sekalipun sama-sama hancur. "Mama terlihat bodoh, Meera. Mama tahu itu.."  *** Mama terus tersenyum ketika kamera menyorot ke arah kami.  Baiklah, sudah kubilang bukan jika ini adalah ajang untuk pamer? Acara amal ini hanyalah kedok para milyuner untuk menunjukkan betapa kaya mereka. Memuakkan. Apa mereka tidak bisa beramal tanpa perlu diliput media seperti ini?? Aku merasa kepanasan sendiri ketika Papa terus mengajak kami berkeliling untuk menyapa kolega sambil pamer sana-sini.  Apa juga yang dia pamerkan tentangku? Aku tidak cukup berprestasi. "Almeera sudah besar. Dia amat sangat cantik. Anak perempuan yang berhuntung" Aku tersenyum sebaik mungkin ketika mendengar pujian itu. Yaa beginilah isi acaranya. Saling pamer dan memuji. Ohh, bukan. Mereka memuji hanya untuk mendapat pujian.  "dia anak perempuan yang pandai. Almeera juga sudah mulai belajar bisnis sejak masuk SMA" Kata Papa sambil menyentuh kepalaku.  "itu benar-benar luarbiasa. Putraku juga sudah mulai kuajari padahal dia masih duduk di bangku SMP. Kau tahu, aku hanya ingin yang terbaik untuk perusahaan. Pewaris tahta harus disiapkan sejak dini, bukan?"  Papa tertawa sambil menepuk bahu koleganya.  Bukankah sudah kubilang, ini hanyalah ajang pamer yang memuakkan. "tapi, kenapa kalian tidak memiliki anak laki-laki? Apakah Almeera yang akan melanjutkan perusahaan di masa depan??"  Pertanyaan yang sama di setiap pertemuan. Apa tidak bisa mereka sekali saja bertanya lalu mengingatnya seumur hidup? Kenapa harus mengulang pertanyaan memuakkan itu?  "kami sudah memiliki pewaris. Hanya saja, aku baru akan mengumumkan ketika keadaan sudah tepat" Jawab Papa sambil tersenyum lebar. "benarkah? Apa Almeera punya saudara laki-laki?" Tanyanya. Ini namanya bunuh diri. Jika Papa membeberkan yang sebenarnya, reputasi keluarga akan hancur. "apa pewaris harus laki-laki?" Tanyaku dengan cepat sebelum Papa sempat berbicara. "biasanya begitu. Tapi—" "biasanya? Keluargaku tidak suka sesuatu yang biasa, Paman.." "Meera" Kata Mama memperingatkan aku. Aku segera tersenyum manis. Kembali berpura-pura seperti yang biasanya aku lakukan ketika berada di acara seperti ini. Jujur, sekalipun sejak dulu aku memiliki keluarga yang sempurna, disetiap pertemuan macam ini aku tetap merasa muak. Sesempurna apapun keluargaku di saat dulu, mereka juga tetap menyebalkan jika menyangkut hal semacam ini. "benar sekali, nak. Bisnis keluargamu memang selalu luarbiasa. Kalian benar-benar tidak menyukai sesuatu yang biasa"  Bisnis?? Tidak bisakah kami membicarakan hal selain bisnis? "aku dengar tempat ini memiliki balkon yang indah. Boleh aku kesana, Mama?" Tanyaku sambil menatap Mama. "kita akan menemui beberapa kolega. Tetaplah disini, Meera.." Kata Papa. Kolega lagi?? Sudah berapa lama aku berdiri dengan sepatu heels tinggi ini? Kakiku sudah pegal. Dan Papa masih ingin menemui kolega?  "kamu sebentar lagi akan menjadi pewaris tahta, Almeera. Papamu ingin mengenalkan kepada beberapa kolega agar kamu bisa belajar dari mereka.."  Aku menatap pria yang masih berdiri di depanku. Orang satu ini kapan perginya? Kenapa sejak tadi dia terus disini sambil berbicara sesuatu yang tidak penting? "beginilah kelakuan putriku. Dia lebih suka berada di balik meja belajar dari pada menemui orang-orang. Jika dikeramaian dia akan mencari tempat yang dirasanya lebih nyaman.." Kata Papa. Ohh tidak. Haruskah selalu menjelaskan hal tidak penting pada pria ini? "menjadi seorang pewaris tidaklah mudah, Almeera. Selain harus pandai dalam pengetahuan, kamu juga harus pandai dalam bergaul. Kebanyakan kolega akan menaruh kepercayaan lewat apa yang mereka dengan dari mulutmu" Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Apa aku ada bertanya padanya? "baiklah. Kamu boleh ke balkon. Tapi jangan lama-lama, Meera. Segeralah kembali. Acara akan segera dimulai" "aku akan pergi sebentar. Permisi, Paman" Ucapku sambil tersenyum manis. Aku melepas sepatuku begitu aku sudah berada di luar ruangan.  Wow.. Memang benar yang selama ini aku dengar. Hotel ini memiliki balkon yang luarbiasa. Aku bisa melihat langit malam Jakarta lewat balkon ini.  Jika balkonya saja seindah ini, bagaimana dengan rooftop hotel ini? Pasti lebih luarbiasa. Udara di luar sini juga terasa lebih baik. Yaa, setidaknya jauh lebih baik dari pada gas karbon yang keluar dari mulut tukang pamer. "kukira bukan, tapi ternyata memang kamu. Tidak bisa dipercaya kita bertemu lagi, Meera.." Seketika aku langsung membalik tubuhku. Mencari tahu siapa yang menyebut namaku. Dan aku menemukan mata coklat itu lagi. "seperti yang pernah kubilang, kamu orang kaya.." Katanya sambil menyesap cairan merah di gelasnya. Jovan, dia berjalan mendekatiku. Menyandarkan punggungnya di tembok sambil menatap langit malam yang juga sedang kutatap.  Ini sedikit mengerikan.. Bertemu dengannya bukanlah hal yang aku harapkan. Sekalipun dia bukan orang yang buruk dan aku tidak memiliki masalah dengannya, aku merasa jika berdiri disini sendirian akan terasa lebih baik. "sungguh mengejutkan ketika melihatmu lebih memilih menyendiri. Apa acaranya sebegitu membosankan??"  Aku menggeleng. Sebenarnya aku bukan merasa bosan, aku hanya muak saja melihat mereka semua. "lalu.. Untuk apa berdiri sendirian disini??" Tanyanya. "mereka terlihat sama. Benar-benar menyebalkan.." Jawabku singkat. "setelah sekian lama aku bisa menemukan teman yang cocok dengan pemikiranku. Apa kau juga melihat jika kesombongan mereka tidak berbuah apapun?"  Aku melirik Jovan sambil tersenyum. Jadi.. Kami sama-sama terdampar di tempat yang bukan habitat kami? "itulah yang membuat mereka terlihat sama. Aku bahkan tidak bisa membedakan wajah mereka.." Jawabku sambil tertawa kecil. Jovan tertawa ketika mendengar candaanku. Aku melihat dari samping jika matanya mulai menyipit. Perfect shape.. "kita akan cocok jika menjadi teman. Kurasa aku akan selalu mencarimu jika kita berada di acara seperti ini.." Katanya sambil menatapku. Mata coklatnya.. Kenapa bisa bercahaya seperti ini?? "aku akan kembali. Kau tahu, Meera, orangtuaku akan mengomel jika aku kabur dari acara.. Sampai bertemu di sekolah, Meera.." Katanya sambil berjalan meninggalkan aku. Aku tersenyum. Tidak. Aku salah mengira. Kedatangan Jovan sedikit banyak membuat suasana jadi lebih baik. Jadi.. Kuputuskan untuk kembali ke dalam ruangan. Malam ini akan kunikmati pesta ini. Setidaknya aku juga ingin pamer pada mereka semua. *** "sering-seringlah ikut ke acara amal atau ke pertemuan bisnis Papa, Meera. Kamu harus banyak bergaul dan mengenal kolega.." Kata Papa sambil fokus menatap laptop miliknya. Kami masih di dalam mobil. Jujur saja hal semacam ini sering terjadi, tapi dulu aku tidak pernah protes. Beginilah manusia, setelah melakukan kesalahan, hal yang biasa dilakukan pun ikut menjadi kesalahan. "akan aku pastikan Meera sering ikut. Berikan saja jadwalnya, aku akan mengurus, Meera" Kata Mama sambil tersenyum. Apa dia orang yang sama yang akan menghantam Papa menggunakan vas bunga?? "aku sekolah. Tidak bisa sering-sering ikut acara semacam ini" Kataku. "kamu bisa home schooling jika kamu mau.." "apa pentingnya acara ini buatku? Apa perusahaan pasti akan menjadi milikku?? Jika aku bukan pewaris tahta, aku tidak mau datang" Kataku dengan santai. Seperti yang sudah pernah kukatakan, aku tidak akan membiarkan anak w************n itu menjadi penguasa harta keluarga. Dan ini.. Ini adalah waktu yang tepat untuk melancarkan sebuah perang. Anak itu masih bayi, dia tidak bisa melakukan apapun. "itu masalah mudah, Meera. Yang penting belajarlah lebih dulu.." Kata Papa. "mudah?? Dulu, iya. Tapi semenjak ada anak haram itu, semuanya menjadi rumit. Aku tentu tidak mau melakukan sesuatu yang sia-sia.." Jawabku. "dia adikmu, Meera.. Belajarlah menerima hal itu.." "aku tidak pernah melihat Mamaku hamil dan melahirkan, jadi.. Dia bukan adikku.." Papa menghela napas.  "Papa sudah menjadwalkan kamu untuk mulai belajar bisnis dengan orang kepercayaan Papa. Mulailah bersiap, besok pulang sekolah kamu akan belajar.." Kata Papa. "sebelum ada pengumuman resmi jika aku adalah pewaris tunggal, aku tidak akan mau belajar.."  "Meera!" Mama memperingatkanku. "berikan jadwalnya padaku, aku yang akan mengurus Meera.."  *** "jangan bersikap seperti itu, Meera. Papamu ingin mengenalkan dirimu pada kolega. Ikuti kemauannya.. Jangan membantah" Kata Mama sambil menatapku yang sedang berusaha membersihkan sisa make up. "aku mau ada pengumuman resmi. Eyang terlihat mendukung cucu laki-lakinya.." Jawabku. "berpikirlah lebih dulu, Meera. Anak itu disembunyikan dari publik. Tanpa membuat pernyataan, semua orang tahu jika kamu adalah pewaris tunggal. Bersikaplah baik agar Papamu segera memberikan perusahaan padamu.." Kata Mama. Tidak ada satupun orang yang mengetahui keberadaan Bara. Anak malang itu akan terus hidup sebagai bayangan. "aku khawatir Papa akan berubah pikiran suatu saat ini.." Jawabku pelan. "maka jangan buat dia berubah pikiran. Ini hanyalah masalah perilakumu, Meera. Bersikaplah baik, biasakan dirimu untuk menampilkan senyum palsu ketika di depan publik. Buat semua orang memujamu sehingga keluarga ini percaya pada kemampuanmu.." Aku menatap Mama sebentar. Berpura-pura?? Jika aku memiliki bakat itu, mungkin sejak dulu aku sudah menjadi pemain film terkenal. Sayang sekali aku payah dalam hal akting. "bukankah kita akan menghancurkan keluarga ini, Mama??" Mama menghela napas. Matanya kembali memancarkan luka. Aku tahu itu.. Sekalipun aku tidak terlalu dekat dengan Mama, tapi kami tetap saling mengenal. Tidak ada yang bisa membohongi ikatan antara ibu dan anak. "kamu harus terbang lebih dulu. Setelah itu, jatuhkan bom atom ke arah rumah ini. Tapi Meera, kamu harus tahu resikonya. Bom atom itu mungkin akan melukai sebelah sayapmu" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD