Zahra menghela nafas panjang, sejak tadi ia menunggu Ilham di lorong IPA, tapi Ilham sepertinya tidak datang ke sekolah hari ini. Zahra ingin menyakinkan Ilham bahwa bukan Kelvin pelakunya tapi Stefani.
Zahra berjalan gontai kembali ke kelasnya. Ia tahu bagaimana rasa sakit saat ditinggalkan orang yang disayangi, tapi Zahra tidak ingin Ilham terbakar karena rasa sakitnya itu. Zahra tidak ingin Ilham menjadi jahat karena rasa sakit itu. Zahra ingin Ilham mengerti sesuatu, tapi Zahra tidak sadar bahwa dialah yang tidak mengerti.
“Lagi ngapain di sini? “ tanya Zahra. Ia sudah memperhatikan Kelvin dari jauh, yang sejak tadi berdiri di depan tembok seraya beberapa kali tersenyum kecil.
“Lagi liatin semut. Coba liat, semut itu sangat kecil,” sahut Kelvin, pandangannya fokus memperhatikan makhluk kecil yang berjalan rapi.
“Tahu gak, apa hikmah diciptakannya semut? “
“Eh, emang ada hikmahnya? Makhluk sekecil ini punya manfaat ?”
“Iya ada.”
“Sulit dipercaya.”
“Itu semua kebesaran Allah. Mereka makhluk kecil tapi Allah menjamin rezeki mereka. Jika semut kecil saja mendapat rezeki mereka lantas kenapa kita sebagai manusia takut akan rezeki.”
“Kita, manusia? Kamu manusia, saya jin.”
“Oh iya, maksudnya gitu. Setiap makhluk Allah memiliki rezekinya masing-masing. Nah coba deh kamu perhatian mereka, setiap ketemu jawabannya, semut itu saling memberi salam kan? Nah itu juga bisa jadi pelajaran buat selalu menjadi silaturhami. Semut juga punya sifat saling berbagi, kalo ada makanan mereka pasti saling memanggil, makanya kadang cokelat di kamar Maryam suka penuh di datengin para semut.”
“Maryam suka cokelat? “
“Iya, suka banget malah.”
“Kalo kamu? “
“Ha? “
“Suka cokelat juga? “
“Hem, suka.”
“Kenapa?”
“Hem, gak tahu suka aja, cokelat itu manis.”
“Cokelat manis tapi dia hitam.”
“Maksudnya? “
“Iya, dia manis dan berwarna gelap.”
“Sebenarnya kita lagi bahas apa sih? “ Zahra terkekeh pelan.
“Bahas sebuah rahasia.”
“Ha? “ senyum Zahra seketika mengambang.
“Bercanda.”
“Apa sih... “
“Kamu marah? “
“Gak.”
“Kata Sarah, kata gak bagi cewek itu artinya iya. Jadi kamu marah? “
“Teori dari mana tuh. Masa gak artinya iya. Terus kalo saya bilang, saya gak suka kamu berarti—
“Kamu suka saya,” sela Kelvin, sembari tersenyum lebar.
Pipi Zahra menghangat. “Apaan coba. Teori gagal.”
“Merah.”
“Apa, pipi saya biasa aja.”
“Ha? Semuanya warna merah, bukan pipi kamu.”
“Kenapa kita berdiri di depan kelas gini. Bentar lagi masuk, kamu gak masuk? “
“Kenapa? Mau masuk barengan? “
“Ha? “
“Ayo kalo maksa.”
“Idih, sekarang nyebelin banget ya! “
“Emang dulu ngangenin? “
“Eh, kamu belajar dari mana gitu, Mpir!”
“Di internet.”
“Ponsel itu digunakan buat hal yang baik, bukan buat cari yang gini-gini.”
“Terus buat apa? Buat chatan sama kamu aja, gak boleh yang lain? “
“Ha? Gak gitu maksudnya.”
“Sini ponsel kamu, biar aku tunjuki chanel islam buat tambah ilmu.”
Kelvin mengeluarkan ponselnya.
“Ponsel kamu di kasih kata sandi? “
“Kata orang di internet kata sandi itu penting, kalo pasangannya posesif.”
“Ha? “
“Iya kayak kamu yang suka periksa ponsel.”
“Ini gak jadi deh.” Zahra mengembalikan ponsel Kelvin.
“Kenapa? “
“Malas.”
“Buka aja, kata sandinya Saya suka kamu.”
“Ha? Saya suka kamu? “
“Iya, saya suka kamu.”
“Cie.... Zahra dan Kelvin.” Tiba-tiba Willy muncul di ambang pintu. Ia mengarahkan kamera ponselnya pada Zahra dan Kelvin.
“Guys kalian denger sendirikan, dugaan Willy kembaran Lee Min Hoo gak pernah salah. See terbukti mereka... Cie...”
“Ih, Willy apaan sih!”
“Cie yang salah tingkah, liat Zahr kisah cinta kalian udah di tonton dua ribu orang lebih di instagram.”
“Willy, stop gak! Itu semua gak bener! “
“Guys, maklum kakaknya baru mau berlayar, princess muslimah masih malu-malu.” Willy masih terus melanjutkan livenya.
Zahra malu bukan kepalang, wajah Zahra merah karena malu dan marah, Kelvin menyadari hal itu.
Bruk
Ponsel Willy ke lantai. Willy kaget dan menatap ponselnya yang rusak. Zahra melihat Kelvin dibalik jatuhnya ponsel Willy, semua orang tidak sadar hal itu.
“Kenapa kamu lakukan itu? “bisik Zahra. Zahra jadi iba melihat wajah sedih Willy.
“Dia yang salah. Dia sudah buat kamu sedih.”
“Tapi itu bukan perbuatan baik!”
“Itu memang bukan perbuatan baik, tapi itu perbuatan Willy juga tidak baik.”
“Jangan lakuin itu lagi, Kelvin,” bisik Zahra.
Kelvin tertegun. “Jika dia tidak membuat kamu sedih, saya janji tidak melakukan itu lagi.”
“Janji? “
“Saya berjanji.”
“Itu namanya kualat, lagian Lo gangguin orang terus sih.” Sarah cekikikan menertawakan wajah nelangsa Willy.
Willy mendengus kesal. “Diam Lo nenek lampir!”
“Apa Lo bilang, nenek lampir ?!” murka Sarah. “Cantik gini, Lo sebut nenek lampir?!” Sarah mengibaskan rambut panjangnya.
“Cantik apaan? Rambut Lo itu mirip nenek lampir di televisi! Lo muslimah kan? Muslimah tuh rambut di tutup rapih bukannya di gituin udah kayak mie,” cibir Willy, s***s.
Muka Sarah memerah, Willy langsung mengeluarkan jurus lari kaki seribu.
“AWAS! ADA NENEK LAMPIR GAMUK! “pekik Willy heboh sembari berlari tugang langgang, Sarah yang kesal langsung mengejar Willy. Willy berlari masuk ke dalam kelas, ajaibnya tidak sesepuh tadi, Willy malah tertawa girang karena Sarah mengejarnya. Keduanya seperti tikus dan kucing yang saling mengejar.
“Jangan lari Lo! “teriak Sarah.
“Sar, udah gak usah di kejar! “pekik Kerly, menahan lengan Kerly.
“Gak bisa, Kerl. Dia udah buat gue dongkol setengah mampus! Dia bilang gue nenek lampir! s**t! “
“Terus apa? Lo mau kejar-kejaran sama dia kayak anak SD? “
Sarah berdecak.
“Lagian, apa yang Willy bikang ada benernya juga, kita ini muslimah tapi dengan bangga nunjukin rambut. Bajunya Islam, tapi gak mau ngikutin syariatnya.”
“Lo kok jadi belain Willy sih?! Lo gak sadar, Lo juga sama kayak Gue! “
“Iya, gue sadar. Makanya Lo gak usah marah cuman karena Willy ngarai Lo nenek lampir, kenapa Lo peduli? Kenapa Lo gak pake ilmu masak bodohnya yang biasa kita pake? Ilmu masak bodoh bahkan pura-pura gak denger perintah Tuhan.”
Sarah menatap tajam Kerly. “Lo nyindir gue?! “
“Kalo yang bilang ini Zahra itu baru namanya nyindir, tapi ini yang bilang gue, gue yang sebelas dua belas sama kayak Lo. Gue gak nyindir Lo, tapi gue nyindir diri gue sendiri.”
Keduanya sama-sama terdiam.
“Sar, gue mau berubah.”
.
.
“Tempat apa ini? “ gumam Maryam pelan. “Kenapa aku ada di sini? “
Maryam melangkah, tidak tahu arah, dia tidak tahu berada di tempat apa, kenapa semuanya terlihat suram, kenapa begitu banyak batu dan sangat sunyi, tidak ada suara yang menyapa indra pendengar Maryam, yang ia dengar hanyalah hembusan nafasnya sendiri. Tempat ini sangat sunyi, hingga langkah kakinya bahkan terdengar menggema.
“Ya Allah, aku ada di mana sih? “Maryam mulai merasa takut, ia merasa seperti ada yang mengawasinya, beberapa kali ia menoleh ke sembarangan arah, memastikan bahwa instingnya merasa ada yang memperhatikan gerak-geriknya.
Ting........
“Argh, suara apa itu? “ Maryam menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya, suara nyaring yang entah berasal dari mana itu membuat telinga Maryam berdenging sakit.
Ting.....
Suara nyaring itu lagi. Maryam berjalan gontai menghindari suara itu.
“Apa suara itu sudah hilang? “ Maryam menurunkan tangannya, suara itu sudah meninggalkan Maryam. Maryam bernafas lega, tapi setelahnya, rasanya ia ingin menangis.
“Tempat apa ini? Kak Zahra, Mama, Maryam mau pulang..!” Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya runtuh juga. Semakin jauh langkahnya semakin menakutkan tempat ini.
“Mama...” Maryam terisak.
“Kenapa kamu menangis? “
Maryam terperanjat kaget, sosok berjubah hitam berjalan mendekat ke arahnya. Jantung Maryam berdegup kencang, lutut Maryam gemetar seolah tidak sanggup menopang tubuhnya lagi.
“S-siapa kamu? “ Maryam tergagap, ketakutan.
“Kamu tidak mengenali saya? “ sosok berjubah hitam itu menyinggungkan senyum yang tidak sengaja Maryam lihat. Maryam tidak mengenali sosok itu, seluruh wajahnya di tutupi tudung dan yang terlihat hanya sekilas senyum yang menakutkan.
“J-jangan sakiti saya. S-saya tidak pernah berbuat salah padamu! “
“Oh ya? “
Maryam mengangguk kaku, rasa takut terus menjalar karena jarak yang mulai terkikis, sosok itu berjalan sangat pelan, setiap langkahnya membawa Maryam pada rasa takut yang semakin dalam.
“Kamu pikir saya peduli? Kamu tidak atau pernah menyakitinya saya, saya tidak peduli. Saya hanya punya satu tujuan, dan kamu salah satu kunci menuju tujuan itu. “
“S-saya, s-saya, k-kenapa saya? Saya salah apa? Saya ingin pulang.” Tubuh Maryam runtuh. Ia terduduk ketakutan.
“Kamu tidak salah, Maryam.” Suara berat itu makin dekat.
“K-kalo saya tidak salah, tolong biarkan saya p-pulang.”
“Hem...”
“Saya m-mohom.”
“Oh, kamu mau pulang? Baiklah.”
Maryam spontan mengangkat wajahnya, rona bahagia terpancar secuil dari wajah pucat dan ketakutan Maryam.
“Saya pernah dengar, bahwa dunia hanya tempat persinggahan manusia sebelum kembali ke kampung halaman, akhirat.” Sosok itu kembali menyinggungkan semilir senyumnya di balik tudung jubah.
Maryam menelan ludah dengan susah payah. “A-apa maksud kamu?”
“Hem, saya akan mengirim kamu kembali, ke kampung halaman.”
Sosok itu menarik kapak yang sejak tadi ia seret di belakangnya, mengarahkannya tepat di atas kepala Maryam. “Selamat tinggal, adik cokelat.”
“TIDAK! “
Maryam tertegun, matanya mengerjap cepat, nafasnya memburu membuat dadanya naik-turun dengan sangat cepat. “Mimpi apa itu? Kenapa mimpi itu datang lagu? “
Srek..
Srek.....
Srek.......
Suara itu menarik perhatian Maryam. Maryam langsung bangkit dari kasur, menyimbak jendela kamarnya, menatap lurus kegelapan di luar.
“Siapa yang menyapu halaman jam segini?” Maryam melirik jam dinding yang tergantung di dekat lemari bajunya.
Srek...
Srek.....
Srek.....
Suara itu lagi. Maryam mengambil ponselnya dari nakas, ia menekan nomor Zahra, langkahnya terlalu berat untuk sekedar datang ke kamar Zahra. Maryam masih merasa takut karena mimpinya barusan.
“Angkat dong, Kak...,” gumam Maryam, cemas sembari terus menatap layar ponselnya.
“Assalamualaikum, siapa?” suara Zahra terdengar serak khas orang yang baru bangun tidur.
“Waalaikumsalam, Kak. Kak, ini Maryam.”
“Maryam?” jeda sejenak, Maryam menduga seperti Zahra melihat nama kontak yang tertera.
“Ya ampun dek, kenapa kamu nelepon semalam ini? Lagian kamu ngapain sih telepon, kamar kita tuh cuman sepuluh langkah,” protes Zahra.
“Kak, Kakak denger suara dari halaman gak ?” tanya Maryam mengabaikan protes Zahra.
Zahra mengucek pelan matanya, tapi bukanya terbuka malah ia tertidur kembali. Suara hembusan nafas teratur terdengar daru ponsel Maryam.
“KAK! “ teriak Maryam di ujung ponsel.
“Astagfirullah, Dek! “ Zahra kaget. “Kenapa sih! Kakak ngantuk banget tahu! “
“Kak, gue tanya Lo denger suara gak di halaman, bukannya jawab Lo malah tidur!” Maryam mengeluarkan kata ‘gue-lo' pertanda ia sedang marah atau kesal.
“Ya udah, kakak pindah ke kamar kamu aja deh, biar bisa tidur. Kamu takut tidur sendirian kan? “
“APA SIH, LO KAK! MASLAH NGEJEK GUE! Udahlah gak usah ke kamar gue! Udah sana TIDUR! BYE! “
Maryam langsung mematikan sambung telepon secara sepihak, ia langsung menyimpan ponselnya ke dalam nakas.
“Apaan sih kak Zahra, nyebelin banget!” gerutu Maryam.
Srek...
Srek....
Srek....
Maryam mendengus, suara itu sangat mengganggu indra pendengarannya tapi dia tidak ingin terpancing untuk keluar, entah itu suara apa, entah itu bahaya atau hanya sekedar suara, Maryam tidak akan mau keluar hanya karena rasa penasaran yang mendominasi hatinya sekarang.
Maryam menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan wajahnya yang tidak ia tutup, suara itu masih menjadi backsound pengiring rasa penasaran Maryam.
“Abaikan suara itu Maryam, jangan terpancing rasa penasaran seperti di film horor,” gumam Maryam, gadis itu menghidupkan murotaal Al-Qur’an dengan speaker mini miliknya.
“Bismika Allahuma Wabismikaamud,” Maryam melafadzkan doa tidur agar mimpi buruk tidak lagi mendatanginya. Maryam perlahan terlelap.
“Maryam...” suara itu masuk ke telinga Maryam. Maryam masih di ambang tidur dan belum.
“Maryam....” Otak Maryam mendapat sinyal untuk bangun.
“Nak, tolong mama, Nak...” Maryam langsung beranjak dari kasurnya.
“Iya, Ma, ada apa? “ Maryam berjalan gontai keluar kamar.
“Nak, sini, bantu mama.”
“Ayo sini.”
“Ke sini, nak. “
“Nak... “
“Maryam... “
“Ada apa, Ma? Ini masih malam, Ma.” Maryam mengucek pelan matanya.
Srek..
Srek...
Srek.....
Tubuh Maryam seketika menegang. Mata ngantuk Maryam seketika membelalak. Suara itu seolah membangkitkan kesadaran Maryam. Suaea itu terdengar amat dekat dengan telinga Maryam. Maryam, terlambat menyadari, ia sudah berada di halaman.
“M-Ma... Mama...” Suara Maryam gemetar. “Mama, mama di mana ?” Langkah Maryam terasa berat seolah ada batu di kakinya yang membuat Maryam seperti mematung di tempat, pada hal tidak ada apa pun di sana. Maryam mengalami sindrom ketakutan berlebihan hingga ia sulit untuk bergerak.
“M-mama, kak Zahra...k-kalian di sini kan? “
“M-MA, KAK! “
Ting....
Suara itu membuat Maryam terkesiap. Suara itu persisi suara nyaring di mimpinya tadi.
“Hay! Kita bertemu lagi.”
Nafas Maryam rasanya tertahan di d**a.
“Sejak tadi saya menunggumu. Kenapa lama sekali datang? “
Maryam melihat senyum mengerikan itu lagi di balik tudung jubah hitam.
“K-kamu? “
“Apa kamu mengenal saya ?”
Maryam tergagu, bola matanya bergerak cemas. “K-kamu ada di mimpi s-saya.... “
“Oh benarkah? Apa di dalam mimpi kamu, saya membawa kapak ini juga? “
Mata Maryam terbelalak, menatap kapak yang berlumuran darah itu.
“Saya ada di mimpi kamu, ckckck, kamu juga salah satu mimpi saya,” katanya dengan suara berat yang menakutkan, maniak matanya menyalak di bawah kegelapan.
“Tunggu dulu, kenapa di sini kamu tidak banyak bicara seperti tadi? Apa kamu takut pada kapak berdarah ini?” Sosok berjubah hitam itu mengayunkan kapaknya, tepat di depan kaki Maryam. Maryam spontan menarik kakinya menjauh dari kapal itu.
“A-apa yang k-kamu mau? “ Maryam terbata-bata. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis kepala Maryam.
“Satu hal,” lirih sosok itu. Ia mengangkat kepaknya. “Adik cokelat... “
“Aarrggggggg!!!!”
“Maryam....!” Zahra mengoyong-goyongkan pelan tubuh Maryam. “Maryam, ayo bangun! “
“Maryam kamu kenapa sih? “ Kening Zahra berkerut melihat wajah pucat pasi Maryam.
“Pasti mimpi buruk. Kamu lupa doa tidur kan tadi, makanya mimpi buruk gitu,” sahut bulek yang duduk di sebelah Zahra.
“Tau nih, Maryam. Tadi yang maksain orang buat nonton film bareng, baru juga awal film udah tidur,” cibir Zahra.
Hari ini merupakan hari yang paling melelahkan bagi Zahra, ia pulang setelah magrib karena harus mengerjakan tugas kelompok mendadak, tapi tetap saja Zahra luluh pada keinginan Maryam untuk menonton bersama ala-ala di bioskop. Zahra tidak tega menolak keinginan Maryam setelah melihat semua persiapan yang Maryam lakukan, mulai dari mendekor rumah seolah bioskop sampai membuat pop corn dan minuman dingin untuk menemani mereka menonton.
“Idih di ajak ngomong malah planga-plongo aja. Bukannya minta maaf kek atau klasifikasi kenapa bisa ketiduran.”
Bulek tertawa pelan melihat ekspresi wajah polos khas baru bangun tidur yang Maryam tampilkan dan ekspresi kesal Zahra.
“Udah yuk, Bulek. Filimnya udah habis, mending kita tidur sekarang.” Zahra menggandeng lengan bulek. “Biarin Maryam, mau nyambung tidur lagi dia.”
Begitu Zahra dan bulek bangkit, Maryam tersadar dari ‘kebegongannya’. Maryam membayangkan mendengar suara Srek.. Suara itu! Maryam bergerak cepat dan langsung nempel di lengan Zahra.
“Kak, aku tidur di kamar Kakak ya? “
“Gak boleh.”
“Kak... “ Maryam memelas. Ia langsung berlari ke kamar Zahra.
“Idih, belum juga di kasih izin udah kudeta aja....,” protes Zahra. Maryam yang sudah berada di ambang pintu kamarnya.
Bulek tertawa. “Kalian ini, kadang hangat banget kayak salonpas. Kadang berantem terus kayak laut lepas.”
Zahra nyengir mendengar perumpamaan yang bulek katakan. “Biasalah, bulek. Hubungan adik-kakak kalo gal ada cek-coknya gak asik, cek-cok ini ibarat penyedap rasa biar gurih.”
“Iya tapi kalo kebanyakan penyedap rasa juga gak baik buat kesehatan. Bulek tertawa.
“Ya udah, sekarang kalian tidur ya, jangan begadang. Selamat tidur, jangan lupa wuduh sebelum tidur dan doa pas mau tidur. Oke?”
“Iya, Bulek.” Zahra masuk ke dalam kamar. “Dek, kenapa bengong aja?”
“Hem, coba kak cubit tangan aku!”
“Eh, buat apa? “
“Apa kali ini mimpi lapis ke tiga? “
**