Kasih sayang sejak dulu selalu menjadi topik paling menari, semua orang menginginkan kasih sayang, saling menyayangi adalah fitrah setiap manusia. Dalam Al-Qur’an kasih sayang juga Allah direprentasikan dalam kata Ar-Rahman dan diikuti Ar-Rahim. Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan salah satu sifat Allah.
Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang hal ini tercantum dalam Al-Qur’an sebanyak 114 kali.
“Lalu jika Allah maha penyayang, apa hikmah dari penciptaan neraka? “
“Selain Maha pengasih dan penyayang, Allah juga memiliki sifat adil. Sifat Adil inilah yang membuat terbentuknya neraka. Mari kita liat sebuah contoh, seorang pembunuh telah membunuh lima puluh orang, di dunia hukum terberat bagi pembunuh yaitu hukuman mati. Tapi pembunuh itu hanya bisa dibunuh sekali, lalu bagaimana dengan empat puluh sembilan lainnya? Mereka belum mendapatkan keadilan. Maka Allah lah yang kelak akan membalasnya di neraka.
Bentuk kasih sayang Allah juga terlihat dari penciptaan neraka bahwasanya Allah tidak akan pernah meninggalkan hambanya, Allah akan menghukum orang yang berbuat dzolim pada hambanya. Ini juga bentuk kasih sayang dan keadilan Allah.
Pada dasarnya Allah mengingatkan setiap manusia masuk ke dalam surga. Nabi Muhammad SAW bersabda semua manusia akan masuk surga, kecuali mereka yang tidak mau. Para sahabat bertanya, apakah ada orang yang tidak mau masuk ke surga? Nabi Muhammad SAW menjawab yaitu orang-orang yang tidak mau mengikuti syariat dan ajaran Islam.
Ilham menikmati hembusan angin pagi, ia menatap jauh ke alam bebas, mulutnya sibuk melafazkan kalimat tasbih.
“Syukron buya atas ilmunya.” Ilham mencium punggung tangan pria paru baya yang ada di hadapannya dengan khidmat. Wajah buya selalu terlihat bersahaja, selalu basah dengan air wudu. Duduk bersama orang yang mencintai sang Ilahi begitu menyejukkan hati, laksana air di padang pasir, menghilangkan rasa haus dari dahaga jiwa memberi isyarat nyaman tidak terkira.
“Tapi sepertinya ada sesuatu yang menganjal di benakmu, Nak? “
Ilham tersenyum simpul. “Buya, jikalau hamba Allah mendapat kasih sayang Allah lalu apa para pendosa juga mendapatkan kasih sayang Allah? “
Buya tersenyum lembut. “Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kamu tahu kenapa Ar-Rahman selalu di sebut di awal dan setelahnya bau Ar-Rahim?
“Ar-Rahman, pengasih dan Ar-Rahim penyayang.”
“Benar. Beberapa ulama berpendapat bahwa, Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah untuk seluruh alam. Sedangkan Ar-Rahim merupakan kasih sayang Allah yang khusus diberikan untuk hamba-Nya, beberapa ulama berpendapat bahwa kasih sayang Allah 99 % diberikan untuk hamba-Nya sedangkan 1% dibagikan untuk seluruh alam. Terkadang ada pertanyaan mengenai, kenapa orang kafir, mengingkari Allah, tapi mereka tetap mendapatkan apa yang mereka inginkan, malah terkadang mereka lebih mendapatkan banyak kenikmatan di dunia melebihi kita yang mengesakan Allah.
Dalam sebuah hadis dunia seperti satu sayap lalat. Dunia bukanlah hal berharga di sisi Allah.
Ada hukum mengenai sunatullah, hukum di mana siapa yang mau berusaha dia akan mendapatkan apa yang diusahkananya terlepas dari apakah ia percaya Allah atau tidak. Terlepas dari semua itu, jika ia berusaha maka dengan Ar-Rahman Allah, Allah memberikannya kenikmatan di dunia.
“Apa itu juga alasan, kenapa terkadang kebatilan mengalahkan kebenaran, menginjak kebenaran seolah tidak berdaya, Buya? “
“Selamanya kebenaran tidak akan pernah kalah akan kebatilan. Kebenaran hanya menunggu waktu yang tepat untuk terungkap, kadang kebatilan menutupi kebenaran tapi kebenaran laksana cahaya yang tidak akan bisa ditutupi selamanya, ia akan menujukan sifatnya cepat atau lambat.
“Marilah kita berkaca pada perjuangan para Nabi dan Rasul, mereka membawa kebenaran ditanganya, risalah yang berasal dari sang kuasa.. apa yang mereka dapatkan diawali? Mereka mendapatkan banyak keburukan karena kebatilan mencoba menutup kebenaran risalah yang mereka bawa. Tapi Allah tidak tidur, Allah tahu apa yang terjadi dan menujukan kebenaran di saat yang tepat, maka azab turun atas mereka.”
“Apa, saya salah jika mendoakan azab pada dia, Buya? “
“Dia siapa? “ Buya tersenyum simpul.
Ilham tertegun, matanya refleks menurun. “Dia yang telah membunuh adik saya.”
“Kamu dendam? “
Ilham bergeming, pandangannya kosong namun hatinya bergemuruh.
“Rasa sedih ditinggalkam orang yang tersayang, bukanlah kesalahan. Bahkan nabi Muhammad SAW juga bersedih ditinggalkam oleh orang-orang tersayangnya. Tapi hal itu tidak bisa menjadi alibi atas rasa sayang menjadi dendam, doakan yang terbaik agar doa itu kembali kepada diri kita sendiri.”
***
“s****n kamu! Pa, ayo jawab, ini lipstik siapa yang ada di baju, Papa? “
“Lipstik apa, Ma? “
“Ini, lipstik yang wanginya semerbak, berwarna merah merona, tercetak jelas di kemeja papa layaknya tamu yang anggun.”
“Oh itu lipstik pujaan hati yang telah menawan hati ini bertahun-tahun lamanya, yang memberikan cinta seluas rumah artis dan semegah dunia mimpi. Itu lipstik milik mama.”
“Oh iya kah? “
Suara tawa yang sejak tadi mereka tahan, seketika buyar. Mereka terbahak-bahak setelah menyelesaikan rutinitas drama kehidupan yang menyenangkan.
“Gimana akting, Mama dan papa makin baguskan? “ kedua pasangan itu tertawa lagi. Sangat receh. Sarah menghela nafas lagi dan lagi. Ia sudah duduk di sofa sejak tadi, menjadi penonton bayar untuk drama kedua orang tuanya.
“Hahahah.” Kerly tersenyum sekilas sebelum kembali menarik wajahnya menjadi datar. Entahlah bagi Sarah itu tidak lucu, ia tidak mengerti mengapa kedua orang tuanya memiliki selera humor yang berbeda dengannya, entah darah aliran mana yang mengalir di darah Kerly yang ceplas-ceplos dan jarang tertawa.
“Ayo dong sayang ketawa, gak baik mukanya di tekuk terus. Kamu harus smile kayak gini.” Mama Kerly menarik dua sudut bibir Kerly agar membentuk senyum. “Nah kalo ginikan syantik, mirip mama banget.”
“Hem, mirip mama aja nih? hidungnya mirip siapa? “
“Mirip.....” Mama Kerly menyenggol lengan Kerly, memberi isyarat untuk mengatakan kalimat ‘ajaib' bersama-sama seperti bias.
“Mirip..... “
“My king, my kingkong, my father, ever,” kata Kerly dan mamanya, kompak.
Entah sudah berapa kali kalimat itu diucapkan di rumah ini. Kalimat itu selalu diulang dari Kerly masih di rahim hingga sekarang, begitulah kata mama. Mama selalu mengatakan kalimat ‘ajaib' itu jika ingin memuji papa. Dan kalimat itu adalah warisan harga mati yang harus Kerly lestarikan.
“Kingkong,” gumam Kerly, ia tersenyum kecil, geli sendiri.
“Eh, anak papa senyum sebelum selera humornya dikasih, tumben....,” goda papa menyadari anak gadisnya tersenyum tipis.
Kerly langsung menarik senyumnya dan menekuk wajahnya. ‘Selera humor' yang papa maksud adalah tambahan uang di rekening Kerly. Hal yang bisa membuat Kerly tersenyum saat di rumah hanya karena itu. Kerly memang sepelit itu jika menyangkut stok senyumnya.
Kerly menjulurkan tangannya ke arah papa. “Pa.. “ katanya dengan tangan menengadah.
“Tik..kitik..kitik, uangnya sudah di transfer.”
“Serius, Pa?” Senyum Kerly langsung mengembang bak mawar merekah, sangat cantik ditambah binar matanya yang berwarna cokelat muda. Pemadangan yang sangat papa dan mama Kerly sukai.
“Makasih, Papa yang... “
“Hem! “ Mama berdeham pelan, memberi isyarat.
Kerly tahu isyarat itu. “ Papa yang.... My king, My everything, my father, ever.”
“Sayang, everything? “ Mama protes.
“Hem, papa terlalu ganteng buat disebut kingkong, Ma.”
Papa tertawa. Mama masih tidak terima warisannya di revisi.
“Pujaan hati, tidak masalah apa yang diubah dan menjadi sedikit berubah, yang terpenting kebahagiaan yang ada. Hidup untuk bahagia! “
“Hidup untuk bahagia!” seru Kerly girang. Ia teringat uang direkeningnya yang sudah bertambah.
“Shopping, i'm coming! “ Kerly bergegas ke kamarnya.
“Sarah, Lo di mana? Jadi shopping gak?” kata Kerly di sebrang sana.
“Halo, Kerly? Kerly, Lo denger gue kan?”
“Iya. Lo di mana sekarang? “
“Di sini berisik banget. Gue ke jebak macet.”
“Lo gak lewat tol? “
“Gak, gue lupa bawa kartunya.”
“So? Jadi shopping gak nih? “
“Jadi, pasti jadilah...udah lama banget kita gak shopping, otak gue rasanya udah penuh banget sama ilmu di majelis. Gue butuh hiburan.”
“Yes, i’m too.” Kerly menatap dirinya di cermin, dia tidak terlihat seperti muslimah. Baju pendek dan celana pendek tetap selalu menjadi favoritnya, meski kini mereka sering ikut kajian jika diajak Zahra.
“Gue suka sih kajian itu, kadang juga nambah ilmu gue soal agama islam tapi, you know lah Kerl, setelah pulang gue ngerasa fake banget. “
“Gue tahu, tapi sekarang kondisinya beda, Sar. Gue gak tega liat Zahra, dia udah kehilangan orang tuanya baru-baru ini, terus kita sebagai sahabat gak bisa apa-apa buat bantu dia, ya cuman ini yang bisa kita lakukan. Dia bahagia kalo kita ikut kajian.”
“Yap, you right.”
“Semangat kita mungkin fake tapi niat kita baikkan...”
“Hem.”
Keduanya lalu sama-sama terdiam, hanya terdengar suara bising kendaraan yang mengisi keheningan mereka.
“Mungkin niat baik kita ini akan membawa kita ke pintu hidayah....” lirih Kerly.
“Maybe, Aamiin.”
“Aamiin.”
“Eh, udah dulu ya Kerl. Entar kalo gue udah sampai ke rumah Lo, gue kabarin.”
“Oke. Masih lama kan, gue mau tidur siang dulu deh. See you.”
“See.”
Kerly menyimpan ponselnya di nakas, dan menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang baru dua minggu papanya belikan dari luar negeri. Sangat empuk, membuat Kerly merasa nyaman dan mulai terlelap.
“Assalamualaikum, ya ahli kubur.”
Kerly mengeliat, terusik dalam tidurnya.
“Assalamualaikum ya ahli kubur.. “
Kerly kembali menggeliat, ia hendak merentangkan tangannya tapi tangan seperti terikat sesuatu. Mata Kerly perlahan terbuka, ia mengerap, aroma tanah langsung memenuhi hidungnya. Kerly terbatuk-batuk karena aroma tanah yang terasa menyengat hidungnya.
“Di mana, saya ? Kenapa tempat ini gelap sekali? Di mana semuanya?
“Aduh, tubuhku sakit. Tempat ini tidak empuk. Ke mana kasur empuk yang papa berikan untukku?”
“Di sini dingin sekali, ke mana selimut mahal miliku yang aku beli tempo lalu, di mana baju mahalku, kenapa hanya baju putih ini? Di sini sangat dingin.”
“Apa ini? Kenapa rambut indahku dibungkus kain lusuh ini?“
“Di mana papa dan mama? “
“Di mana kenikmatan dunia? “
“Man Robuka? “
Kerly terperanjat, suara itu menggetarkan sukmanya. Ia terbisu. Tidak bisa menyahut apa pun, mulutnya seolah terkunci.
“Man Robuka?”
“ S-saya… “ tubuh Kerly mengiggil.
“Man Robuka? “
Allah SWT, benak Kerly menjerit, ia tidak bisa mengatakan kata itu. Apa yang menahan mulutnya mengatakan hal itu? Kerly menangis, merasakan ketakutan yang menjalar hingga ubun-ubunnya.
“Apa yang telah kamu lakukan di dunia?”
“Kenapa kamu tidak mengindahkan syariat Allah untuk menutup aurat? “
“Telah sampai ayat itu di sisimu, tapi kamu abaikan.”
“Kembalikan saya ke dunia, saya mau salat dan bersedakah.”
Kerly terjatuh dari tempat tidurnya, ia menangis sejadi-jadinya, orang tuanya datang menatap bingung Kerly.
“Apa ada kakimu yang sakit, sayang? “tanya mama cemas. “Sudah mama bilang, kasur ini terlalu tinggi, kita buang saja kasur ini, besok kita beli yang baru! Mama gak mau anak mama celaka karena kasur ini! “
Kerly sesegukan.
“Sudah sayang jangan menangis lagi. Ada kami di sini, jangan menangis seperti itu.” Papa memeluk Kerly mencoba menenangkan putri semata wayangnya itu.
“Ma, Pa, Kerly takut. Kerly takut mati dalam keadaan seperti ini...”
“Apa yang kamu katakan, sayang...” Mama memeluk Kerly.
“Man robbuka? Man robbuka? Pertanyaan itu membuat Kerly takut, Ma.”
“Tuhan kita Allah, sayang. Kenapa kamu takut. Kita Islam, jadi tuhan kita Allah.”
“Allah adalah tuhan kita, tapi kenapa kita tidak pernah tunduk pada perintah-Nya? “
***