“Kalian seharusnya tidak berbuat seperti itu! Kalian terlalu lancang! “ Suara itu bergemuruh, memantul dari satu dinding ke dinding yang lainnya hingga sampai dengan kilat ke telinga Gita dan Amina. Suara itu memenuhi satu ruangan kamar berukuran sedang. Gita dan Amina tertunduk dalam segan mengangkat barang sekali saja tempurung kepala mereka. Bukan lantaran takut pada subjek yang berdiri di hadapan mereka dengan nafas naik-turun, karena marah, tapi keduanya hanya menjaga takzim terhadap mereka yang lebih duluan berilmu.
“Kalian hampir saja mencelakakan nyawa orang lain! “ Nada suara gadis berkerudung panjang itu, sedikit menurun tidak sekeras tadi.
“Maafkan kami,” kata Amina mewakili.
“Jangan pernah ulangi lagi! Kalian akan dikeluarkan dari tim jika melakukan sesuatu tanpa aba-aba lagi!” Wanita berkerudung panjang itu pergi setelah mengakhiri kalimat pedasnya.
Gita yang sejak tadi menyicil nafasnya keluar pelan-pelan karena rasa tidak enak hati, seketika menghembus nafas berat.
“Ini salah!” kata Gita, gusar. “Jelas-jelas gadis itu akan mati kalo kita gak lakuin tindakan itu! Masa kita cuman diam aja, harus nunggu aba-aba dulu baru bertindak! Keburu mati dah itu, mereka sibuk, apa salahnya kalo kita yang bertindak? “ Gita mencurhakan semua kekesalnya sejak tadi.
“Percuma mengatakan itu!” Amina menatap jauh keluar jendela kamar mereka. “Kita harus mengubah ketundukan ini!”
“Apa maksudmu? “
“Kita harus buat tim baru.”
“Tim baru? Kamu gila?!” Mata Gita terbelalak.
“Gila?” Amina terkekeh pelan. “Mereka yang gila, mereka bertindak ini-itu, apa kamu mau begini terus? Menekan batin demi kata ‘aba-aba' ?”
“Gak juga sih. Tapi.. “Gita menggeleng-geleng tidak habis pikir. “Tapi gak buat tim baru juga kali, dari mana kamu bisa dapat anggota baru? “
“Dari mana saja. Kita hanya butuh dua orang lagi untuk membentuk tim kita.”
“Mau cari di mana? “
“Di jalan mungkin ada.”
Gita terkekeh. “Dulu kamu selalu diam dan membuat aku seperti orang aneh karena berbicara sendiri, tapi sekarang setelah kamu mulai banyak berbicara, aku semakin merasa dua kali lipat lebih aneh karena semua ide gila itu.”
“Benar kata pepatah, diam adalah emas. Sepertinya aku lebih suka Amina di pendiam bukan Amina yang banyak Ide GILA!”
“Membuat tim untuk hal ini gak semudah memaruh uang di celengan! Emangnya siapa kita yang bisa membuat tim? Siapa yang akan menjelaskan segalanya pada ‘si anggota baru’ ? Kamu, aku? GILA! “
“Kamu tahu, sekarang aku semakin melihat semuanya. Semuanya terlihat ada titik terang, aku akan berusaha! Ini tidak gila, Git. Tapi ini tekad.”
“TEKAD?! HA! DASAR,” Gita menghembus nafas berat.
“Jadi kamu mau ikut? “
“Kamu pikir? “
“Saya bukan peramal atau pejabat berdasi yang kerjaannya berpikir,” jawab Amina acuh.
“Aku akan ikut. Meski aneh, kita ini sahabat bukan? Jadi aku ikut.”
“Sahabat? Sejak kapan aku setuju kita menjadi sahabat? “ Amina tersenyum, geli. “Dengan selalu bersama bukan berarti kita sahabat. Kita hanya dua orang yang saling membutuhkan.”
“Mulut kamu selalu lebih pedas dari cabe. Saat makan goreng, aku tidak perlu mengambil cabe, cukup dengarkan perkataanmu yang sangat pedas itu! “ ketus Gita.
“Karena itu kita cocok sebagai orang yang selalu membutuhkan, kamu yang selalu mengatakan apa adanya dan aku yang selalu berusaha menyadarkan kamu yang pelupa.”
“Yap, karena itu kita masih bertahan satu sama lain.” Gita memutar bola matanya, jengah. “Jadi apa rencananya?”
***
“Ilham...,” sapa Zahra. Wajah Zahra cerah bersinar, seolah Ilham memancarkan cahaya yang memantul mengenai wajah Zahra. Mata cokelat legam khas orang asia milik Zahra, menyimpit karena desakan pipi yang menghimpit naik, bersamaan dengan senyum yang mengembangkan lembut.
“Kenapa kemari gak sekolah?” tanya Zahra lagi.
“Kamu tahu dari mana? “
“Hem, kemarin saya ke kelas kamu.”
“Kamu nungguin saya?”
“Ha ? Hem, iya, sepuluh menit sebelum bel bunyi.”
“Buat apa? “
“Hem....”
“Buat bahas soal di kastel itu?”
Zahra refleks memainkan buku jari tangannya. “Iya, untuk menghilangkan kesalahan pahaman antara kamu dan Kelvin.”
“Buat apa?”
“Hem, buat....” Zahra merasa seperti di interogasi sekarang. Ilham hanya mengucapkan satu, dua patah tapi membuat Zahra bingung harus menjawab seperti apa.
“Kelvin ingin berubah?”
Zahra mengangkat kepalanya dan mengangguk pelan.
“Aamiin...”
“Ha? Aamiin doang? “spontan Zahra.
“Terus apa? “
“Kamu percaya kalo bukan Kelvin yang, hem, bunuh adik kamu? “
Ilham tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. “Allah Maha pengampun dan Maha pendengar, tolong doakanlah saya supaya bisa berlapang d**a untuk menerima segalanya.”
“Adik kamu sangat baik, dia sudah menolong saya dan karena itu, dia kehilangan nyawanya.”
“Namanya Zulaikah.”
“Nama yang indah.”
“Ya....” senyum spontan menghiasi wajah berahang tegas milik Ilham. Ilham teringat semua kenangan manis bersama adiknya itu.
“Dia menitipkan sebuah surat pada saya, tapi maaf, saya menghilangkannya. Andai surat itu tidak hilang, mungkin bisa saya berikan pada mas Kaca, Zulaikah mungkin menitipkan itu untuk mas Kaca.”
“Surat itu ada di saya. Waktu itu, kamu tidak sengaja menjatuhkannya.”
“Serius? Mas kaca mengerti apa maksud dari surat itu? “
“Memangnya kenapa? “
“Maaf, itu mungkin berisi surat pribadi makanya dibuat seperti simbol, iyakan? “
“Itu memang simbol, yang membentuk kalimat. Ayah dulu sering mengajarkan kami untuk bisa mengerti simbol, simbol itu khusus ayah biarkan untuk kami. Hanya kami yang mengerti. Zulaikah selalu bersemangat dalam menghafal setiap simbol yang ayah buat.”
Senyum itu kembali terbit di wajah Ilham, namun kali ini juga diiringi mata yang berkaca-kaca, melambangkan perasaan Ilham yang campur aduk, ia bahagia mengingat kenangan manis tapi juga sedih menyadari fakta bawah memori manis itu tidak akan bisa terulang dengan orang yang sama lagi hanya bisa tersimpan di labirin kepalanya.
“Kenangan memang tidak bisa dihindari untuk menetap di kepala, kenangan memang penghuni tetap dari ingatan, tapi luka bukanlah penghuni tetap, dia hadir jika kita terus merawatnya, tutup luka itu dan berikan terus obat agar luka itu menghilang.”
.
“Assalamualaikum, Guys! Lee min Hoo Kw 1 is back!” Seperti biasa Willy melakukan ritual masuk kelas, berteriak. Willy melakukan hal itu setiap hari, meski tidak satu pun yang memperdulikan atau protes, kecuali Sarah yang selalu mengomentari tindak tanduk Willy.
“Tumben, haters garis keras gak berkomentar.” Willy melirik ke arah bangku Sarah, tidak ia menemukan orang berciri-ciri Sarah di sana, yang ada hanya seorang gadis berkerudung putih yang menunduk membaca sesuatu, gadis itu duduk di bangku Sarah.
“Eh, nenek lampir gak ada?” gumam Willy. “Alhamdulillah..., akhirnya populasi haters berkurang.” Willy tersenyum, ia langsung melangkah lebar ke arah mantan bangku Sarah.
“Assalamualaikum, ukhti, murid baru ya? Baru liat.”
Tidak ada sahutan, gadis itu masih setia menundukkan ke bawah.
“Tahu gak, dulu yang duduk di bangku ini nenek lampir, eh sekarang alhamdulillah di duduki bidadari macam ukhti.”
Gadis itu mengangkat sedikit kepalanya, merasa mendengar suara bising yang mengganggu konsentrasi indra pendengarnya, meski telinganya sudah ia ia sumpal dengan handset sejak tadi.
“Sarah itu emang nenek lampir paling nyebelin sampai langit ke tujuh.”
“Oh ya? “
Willy mencerna suara itu, suara yang mengusik ketenteraman hidupnya.
Willy menoleh.
“Astagfirullah!” pekiknya spontan, membuat seisi kelas kaget.
Sarah mengeram, seolah macan yang sudah siap mencabik-cabik musuhnya dengan kuku panjangnya.
Willy cengir-cengir sebelum mengeluarkan jurus lari 100 bayangan.
“Dasar!” geram Sarah, wajahnya memerah.
“Kenapa, Sar? “ Kerly baru saja datang, ia meletakkan tasnya dan langsung duduk.
“Biasa si Lee Min Hoo KW, buat gue dongkol banget! “
“Sabar,
“Sar, Lo bawa kipas kecil otomatis itu gak?”
“Gak, gue gak bawa. Lo kenapa? “ Sarah memperhatikan keringat dingin yang keluar dari pelipis kepala Kerly yang sekarang juga mengenakan hijab sama seperti Sarah.
“Lo belum terbiasa pake Jilbab kan? “tebak Sarah.
Kerly mengangguk, pelan.
“Gue salut deh sama Zahra, dia kok biasa aja seharian pake jilbab gini.” Sarah memghibas-ngibas ujung jilbabnya, berharap angin datang bertandang.
“Iya, mulai sekarang kita harus terbiasa. Jilbab itu kewajiban bukan pilihan. Bersakit-sakit dahulu di dunia, bersenang-senang di akhirat kelak. “
“Kamu benar.”
Keduanya tersenyum.
“Eh, Zahra belum datang ya? Gue penasaran sama reaksi dia,” kata Kerly.
“Dia kaget banget pasti! “
.
.
“Selamat..,” kata Kelvin tiba-tiba, menyusul langkah Zahra. Jin itu tersenyum lebar hingga tanpa sadar gigi taringnya juga ikut menyembul di kedua sudut bibirnya.
Zahra terkekeh. Ilham yang sejak tadi di sebelah Zahra merasa bingung, Zahra tertawa setelah kehadiran Kelvin?
“Ada apa? “tanya Ilham akhirnya.
“Eh.” Zahra tersadar.
Kelvin dan Ilham saling melihat satu sama lain, Kelvin sepertinya baru sadar bahwa orang yang sejak tadi berjalan bersama Zahra adalah Ilham. Terjadi keheningan, ketiganya sama-sama memilih diam. Ilham bersuara saat mereka berpisah di lorong IPA, Ilham berbelok ke sana sedangkan Zahra dan Kelvin berjalan lurus ke lorong IPS.
“Tadi, selamat untuk apa? “ tanya Zahra.
“Selamat karena berkat kerja keras kamu, Sarah dan Kerly sekarang sudah menutup aurat mereka.”
“Maksudnya, mereka sekarang pake jilbab? “ Mata cokelat legam Zahra, berbinar.
Kelvin mengangguk pelan. “ Semua itu terjadi karena kamu.”
“Masyallah, alhamdulillah.”
“Kamu memang manusia yang baik, Zahr. Tanpa kamu Sarah dan Kerly tidak akan bisa menemukan hidayahnya.”
Zahra sangat bahagia, ia tidak sabar datang ke kelas dan memeluk dua sahabatnya itu.
“Masyallah Tabarakallah..,” seru Zahra begitu melihat Sarah dan Kerly yang tengah membicarakan sesuatu di dalam kelas. Zahra langsung berlari kecil ke arah mereka meninggalkan Kelvin di ambang pintu.
“Zahra...! “seru Sarah, riang. Sarah langsung menyambut pelukan hangat Zahra.
“Gue gak di ajak? “ protes Kerly, lalu bergabung dalam pelukan kebahagiaan mereka.
“Ini serius kan? Ya Allah, rasanya tuh senang banget.” Senyum Zahra tidak juga menghilang, malah semakin mengembang.
“Lo bahagia banget Zahr, liat kita berdua akhirnya pake jilbab, malah lebih bahagia melebihi dari kita, berdua,” canda Sarah.
“Jelas aku bahagia, Sar, kan semua terjadi karena doa yang aku panjatkan, akhirnya Allah buka hidayah untuk kalian.”
Sarah setuju, keduanya asik mengobrol dan tertawa hingga tidak menyadari, perubahan ekspresi Kerly. Kening Kerly berlipat menatap Zahra sejak tadi, tepatnya setelah Zahra mengucapkan kalimat barusan. Bertahun-tahun bersahabat dengan Zahra, Kerly ingat betul kalo Zahra tidak senarsis ini, apa lagi yang berhubungan dengan agama. Setiap di puji Zahra akan mengembalikan segala pujiannya kepada Allah SWT.
‘Bukan aku yang hebat, tapi Allah yang hebat.