“Argh, kakak, tolong aku! “
“Kakak! “
“Zulaikah!!! “
“Kakak tolong, argh!”
Ilham terbangun dengan wajah penuh pelu. Dua detik, ia terdiam dalam posisinya sembari menatap kosong langit-langit bilik kamar yang menjadi pemandangan pertamanya saat membuka mata. Ilham terdiam dengan semua pikiran yang berterbangan di kepalanya.
“Mimpi itu lagi,” gumamnya seraya menarik nafas panjang. Pandangan matanya berembun, menandakan ada cairan bening yang mulai menampakan diri.
“Maafkan kakak, Dek. “
“Ilham.” Suara dan tepukan di bahu Ilham, membuat Ilham tersadar, ada seseorang di sampingnya.
Entah sejak kapan pak kyia ada di bilik miliknya. Ilham buru-buru merubah posisinya menjadi duduk.
“Pak Kyia tahu, kamu masih mencemaskan Zulaikah, adikmu.” Pak Kyia menatap ke luar jendela. Suasana malam masih kentara menyelimuti mereka. Ilham sering bermimpi di sekitar pukul satu sampai dua dini hari. Biasanya saat terbangun, ia akan langsung melaksanakan salat Tahajud dan berdzikir selagi menunggu azan berkumandang di masjid pondok.
“Maka dari itu, berdamailah dengan masa lalumu. Jangan biarkan masa lalumu menjadi penghalang akan masa depanmu.”
Ilham menunduk saja, tidak berani mengangkat kepalanya, Ilham yakini matanya sudah memerah karena air bening di pelupuk matanya makin bertambah.
“Bergabunglah bersama mereka.”
Pak Kiyai memperhatikan gelagat Ilham, ia terlihat gusar dan gelisah, bahkan tangannya sedikit gemetar.
"Kamu mau kan, Nak? "
Ilham spontan mengangkat kepalanya. Ia menatap sendu pak Kiyai. “Kemarin, saya di sana, dan saya kehilangan Zulaikah. Entah apa selanjutnya. Saya tidak ingin mencelakai orang-orang yang saya sayang, menempatkan mereka dalam bahaya terus-menerus. Saya tidak mau bergabung lagi. Saya sudah cukup kehilangan Zulaikah, tidak yang lain.”
Tatapan mata Ilham berubah nanar .
“Karena itulah, pak kyiai ingin kamu bergabung dengan mereka lagi. Jika kamu takut kehilangan orang-orang yang kamu sayangi, maka semua orang juga. Banyak orang yang sudah menjadi korban mereka juga, adik, kakak, ibu, dan anak dari seseorang. Apa kamu tidak berpikir mengenai mereka. Kamu takut orang yang kamu sayangi menderita, lantas kamu biarkan sekelilingmu menderita. Bukannya ini egois?”
Ilham diam seribu bahasa. Ia akan tetap kokoh dalam pendiriannya. “Matur suhun, pak kiyai, tapi saya akan tetap pada apa yang menurut saya benar. Maafkan saya, jika ini egois.”
Pak kiyai mengangguk mengerti. Ia tahu, kejadian tiga tahun silam bukan hal kecil yang bisa dengan mudah Ilham lupakan. Ilham bukan hanya kehilangan orang tersayang tapi juga kehilangan kepercayaan diri, itu luka yang masih mengangga. Setiap hari luka itu ditabur jeruk nipis yang amat menyakitkan. Ilham bukan saja meringgis kesakitan tapi juga menangis menahan luka tidak kasar mata yang lebih ganas mengerogotinya.
“Hem, pak kiyai mengerti. Apa pun keputusanmu semoga itu terbaik untuk menyembuhkan semua luka yang ada.” Pak kiyai bangkit dari sisi ranjang sederhaan milik Ilham. Ilham lantas bangkit juga.
“Hem, kalo begitu, pak kiyai harus kembali ke kamar.” Ilham buru-buru ikut mengiringi langkah kiyai yang sangat ia hormati.
“ Jaga hatimu baik-baik. Assalamualaikum.”
“Afwan, Pak. Waaalaikumsalam.”
Setelah mengatakan salam itu, pak kiyai berjalan menjauh dari bilik kamar Ilham. Ilham kembali termenung saat punggung pak kiyai sudah tidak terlihat lagi di pandangannya.
Apakah ini benar? —batin Ilham menuntut jawaban. Sekali lagi Ilham tidak berdaya menjawab semuanya.
.
.
Setelah selesai melaksanakan salat subuh, seperti biasa para santri melakukan rutinitas khas ala santri yaitu membersihkan halaman pesantren. Mereka menyebar di seluruh penjuru pondok, menyapu dan membersihkan daun-daun kering. Saat menyapu, ada angin yang menerbangkan aroma wangi yang seketika membangkitkan ingatan Ilham. Aroma itu mirip aroma bunga favorit Zulaikah. Ilham teringat sepenggal kenanagan bersama adiknya itu.
“Kakak gabung di sana? “ tanya seorang gadis dengan mata berbinar.
“Wah, keren! “ sambungnya setelah mendapatkan jawaban berupa anggukan dari Ilham.
“Seandainya aku bisa seperti kakak, aku pengen banget bergabung di sana. Sayangnya aku tidak bisa. Tapi tidak masalah, setidaknya aku bisa bangga karena Kakak bergabung di sana. Kakak akan seperti hero. “
Ilham meringis, mengingat itu semua. Dia bukan hero, tapi zero. Ia bukan apa-apa bahkan ia tidak bisa menolong adiknya sendiri.
“Ilham...,” hembusan angin membawa suara bisik itu di telinga Ilham. Ilham menoleh ke arah semak, ada sepasang mata menatap ke arahnya. Memberi isyarat agar Ilham mendekat. Ilham mendekat ke arah sana. Satu meter jaraknya, Ilham berhenti melangkah.
“Ada apa? “tanyanya.
“Dia semakin bergerak maju sekarang. Saya merasa tidak sanggup untuk menahannya. Tipu dayanya lebih besar dari yang saya duga,” jawabnya.
“Lalu apa?” Ilham menatap, menerawang jauh.
“Pertanyaan itu tidak cocok untukmu, Ilham. Kamu jelas tahu apa yang harus kami lakukan, kamu lebih dekat dengan dia! Kehadiran kamu akan membantu lebih baik.”
“Kamu juga berusaha membujuk saya.” Ilham berdecak pelan.
“Kamu harus mau Ilham! Jika tidak akan banyak yang hilang, bahkan seseorang yang ada diam-diam ada di hati kamu.”
Ilham tertegun, ia berbalik dan pergi dari sana.
**
“Dia tidak mau bergabung, itu artinya tidak ada gunanya kita di sini.” Gita menghela nafas panjang.
“Apa maksud kamu tidak ada gunanya? Jelas kamu tahu di sini ada banyak yang harus kita lakukan.”
Gita menatap Amina dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia lalu kembali menghela nafas panjang. “Jangan gegabah! Dia terlalu kuat untuk kita lawan.”
“Ha?! “ Aminah tersenyum mengejek. “Kamu lupa, kita khilafah di muka bumi ini. Kita pemimpin di bumi. Bagaimana bisa kamu bilang dia lebih kuat dari kita? “
“Bukan begitu maksudku, Aminah! Tapi, bahkan, senior kita gagal untuk itu. Lalu bagaimana nasib kita? Bahkan Ilham juga menolak bergabung.”
“Masa bodoh, jika Ilham tidak mau bergabung. Saya tetap pada pendirian saya!”
“Jangan gila Amina! Saya tahu, kamu melakukan ini karena kamu ingin membalas dendam atas kematian kedua orang tuamu, iyakan?! Jujur saya.”
Aminah tidak menyangkal, atau membenarkan. Ia hanya diam seribu bahasa.
Gita mendengkus. “Dendam itu ibarat bongkahan racun. Ia tidak akan membawa apapun, kecuali kehancuran untukmu sendiri. Jangan lupakan itu Amina! Kemarahanmu tidak akan membawa apapun, itu justru yang akan menghancurkanmu! “
“Persetan dengan semuanya Gita. Saya tidak peduli !” Amina membuang muka dari Gita.
“Terserah kamu! Besok saya akan pulang bersama yang lain! “
Amina menoleh kembali. “Kamu tega meninggalkan saya di sini ?”
“Saya tidak mau terlibat dalam dendammu.”
“Saya pikir kamu akan tetap mendukung saya, rupanya kamu lebih buruk dari musuh saya.”
“Terserah, apa yang akan kamu katakan. Jika dendam itu masih kamu rawat maka kamu akan kehilangan semuanya, termasuk dukungan saya! Saya tidak bodoh seperti kamu Amina. Kamu bukan pemain yang handal!”
“Ya, kamu benar, saya tidak sebaik kamu yang bisa dengan mudah menerima kepergian calon suamimu itu.”
Gita melirik tajam pada Amina, lalu sedetik kemudian tatapan matanya meredup, tidak sesengit tadi.
“Terserah apa yang kamu katakan.” Gita pergi dari kamar.
**
Pentas Seni, menilik dari banyak aspek : prince vampire and princess muslimah.
Ilham mengernyit menatap mading. Ia sudah membaca majalah dinding itu berulang kali tapi ia masih belum mengerti sesuatu.
“Kami yang akan memerankannya. Saya dan Zahra.”
Ilham enggan menoleh, ia hanya melirik dari sudut ekor matanya. Ilham sudah tahu siapa pemilik suara itu, suara itu milik Kelvin yang berdiri di sebelahnya sekarang sembari mengulas senyum.
“Bagaimana menurutmu, Ilham? “tanya Kelvin, sembari ikut menatap majalah dinding.
“Saya dan Zahra, kami sekarang mulai menjadi teman dan ini sesuatu langkah yang baik untuk mendekat kami, bukan? “ Kelvin menarik lebih panjang senyum terbit di wajahnya.
Ilham berdecak, lalu berbalik dan memukul Kelvin. Kelvin terhuyung ke belakang. Zahra yang sejak tadi memperhatikan mereka refleks berteriak dan langsung lari ke arah mereka.
“Kamu kenapa sih, Ilham?! “ teriak Zahra. Mereka bertiga menjadi pusat perhatian, siswa yang lalu lalang, sampai berhenti memperhatikan ketiganya.
Zahra membuka tasnya mencari sesuatu di dalamnya lalu mengeluarkan plester dari sana.
“Wajah kamu luka, pake plester ini.” Zahra menyodorkannya pada Kelvin. Kelvin meringis, ia sedikit mengeluh saat tangannya digerakkan meraih plaster dari Zahra. Tangan Kelvin tadi sempat terbentur tembok saat ia terhuyung ke belakang.
“Terima kasih, Zahr.”
Zahra mengangguk.
“Sebenarnya apa yang terjadi kenapa Ilham menyerangmu?” tanya Zahra, menatap sekilas keduanya.
“Sudahlah. Saya yang salah. Saya mungkin membuat Ilham marah. Saya tidak tahu jika Ilham sedang tidak enak hati, dan melampiaskannya pada saya. Saya yang salah,” sahut Kelvin.
Dahi Zahra mengernyit. “Jelas-jelas Ilham yang memukulmu tiba-tiba. Saya tadi melihat semuanya. Kenapa kamu malah menyalahkan diri kamu sendiri, Kelvin? “
“Dia memang salah, Zahr. Kamu yang tidak bisa melihat segalanya! Kebenaran yang sebenar—“
“Kamu yang salah tapi kamu justru nyalahin Kelvin?! “ sela Zahra, geram. Ia tidak tahan untuk menunggu Ilham menyempurnakan kalimatnya.
“Dulu saat kamu menolong saya di kedai, saya pikir kamu orang yang baik. Saya pikir kamu orang yang bijak, ternyata tidak. Hati kamu sangat sempit hingga tidak bisa mengakui kesalahan diri sendiri! “
“Zahr,” panggil Kelvin, pelan. Berusaha menyadarkan Zahra bahwa sekarang semakin banyak sorot mata yang menonton pertengkaran ini. Sepuluh menit lagi, bel akan berbunyi. Tidak heran siswa-siswi yang lalu lalang di koridor semakin banyak.
“Zahr, sudahlah. Ini hanya luka kecil. Jangan sampai pertengkaran ini terdengar ke telinga guru. Saya tidak mau, kamu terlibat masalah lebih dalam. Saya tidak mau kamu di hukum. Kamu sudah susah payah selama ini menjaga namamu, jangan rusakkan semua itu karena kemarahanmu.”
Zahra membenarkan perkataan Kelvin. Kelvin mengajak Zahra untuk pergi ke kelas. Ilham melirik keduanya yang pergi, satu dua langkah dan di langkah ketiga Ilham memalingkan wajahnya dari pundang mereka. Ilham hendak berbalik tapi kakinya tertahan, matanya menangkap sesuatu tergeletak di tangan.
Sebuah surat.
.
.
“Cari apa sih, Zahr? “tanya Sarah bingung. Sejak tadi Zahra sibuk mencari sesuatu di dalam rasanya. Semua buku dan barang lainnya di dalam tasnya ia keluarkan. Dua kali Zahra melakukan itu. Tapi tidak tahu apa yang dia cari, Zahra juga tidak kunjung mendapatkannya.
Zahra mendengkus, menyerah. Lalu memasukkan kembali buku dan segalanya ke dalam rasanya. Kali ini ia sudah menyakinkan dirinya, bahwa benda yang dia cari tidak ada di dalam tasnya. Suratnya hilang, entah di mana. Tertinggal di rumah atau jatuh di mana saja. Zahra tidak tahu, padahal Zahra ingin sekali menanyakan arti surat itu pada Amina nanti.
“Nanti malam, kita kajiankan ke pondok?” tanya Kerly, memastikan.
Zahra mengangguk. “Di sana kalian akan aku kenalkan dengan kak Amina, sahabatku.”
“Sahabat kamu yang kata kamu hilang itu? “ Sarah menatap serius Zahra.
“Hem, kak Amina gak hilang, dia mondok, katanya.”
“Dimana? “
“Entahlah. Saat kutanya, kak Amina hanya bilang, tempatnya jauh.”
Sarah mengangguk-ngangguk pelan. Matanya lalu melebar saat menangkap sosok Kelvin di ambang pintu kelas. Bukan Kelvin yang membuatnya melonggo seperti itu. Melainkan wajah Kelvin yang lembab di sisi sudut bibirnya.
“Habis berantem ya? “ sungut Sarah, begitu Kelvin melewati mereka.
“Ha? “ Kelvin nampak berpikir sejenak. Ia lalu hendak melempar senyum, namun yang terjadi malah ia meringgis. Kelvin lupa pada luka di sudut bibirnya.
Sarah masih menunggu Kelvin menjawab. Kelvin melirik Zahra dan seperti memberi isyarat meminta Zahra yang menjelaskan. Zahra mengangguk singkat.
“Zahra yang akan menjelaskan. Maaf, tidak bisa menjelaskan langsung.” Kelvin melangkah ke tempat duduknya.
Kini giliran Zahra yang di tatapan penuh tanda tanya oleh kedua sahabatnya itu.
“Ilham tadi memukulnya. Entah kenapa, Ilham melakukan itu pada hal Kelvin. Aku melihat mereka mengobrol di depan majalah dinding dan tiba-tiba Ilham memukulnya.”
“Pukulan Ilham kuat sekali sampai bisa buat wajah Kelvin lebam begitu. Waktu itu, pot jatuh di kepala Kelvin terlihat tidak berefek sama sekali. Tapi pukulan Ilham memberi efek yang kuat, sampai buat senyum aja sakit gitu,” kata Kerly.
“Ih iya, ya. Kok aku baru sadar,” Sarah menambahkan. “Ilham anak silat mungkin.”
“Apa hubungannya?”
“Ada Ker, mungkin dia punya jurus kekuatan dalam. Makanya sampai gitu.”
“Bisa jadi. Menurut Lo Gimana Zahr? “
“Entahlah.” Zahra menggeleng pelan. Satu hal yang Zahra bingung. Kelvin adalah jin, tapi kenapa Ilham bisa melukainya?
Saya hanya ingin hidup normal.
Perkataan Ilham waktu itu kembali mengiang di kepala Zahra. Zahra bangkit, ia langsung pergi keluar kelas tanpa berkata apapun pada kedua sahabatnya.
Mata Zahra menyapu seluruh koridor, barangkali Ilham masih di sana. Tapi Ilham tidak ada di sana. Zahra kembali memburu langkahnya ke perpustakaan tempat paling terdekat dengan koridor. Tidak ada siapa pun. Zahra kembali berlari ke kelas Ilham, mengecek lagi, barangkali Ilham telah kembali ke kelas. Tapi tetap tidak ada Ilham di sana.
Nafas Zahra berantakan, Zahra memutar otaknya, mengingat kembali tempat di sekolah yang mungkin Ilham kunjungi. Dan hal itu berhasil. Zahra teringat musholah. Buru-buru Zahra ke sana. Ia sampai di halaman musholah, Zahra mengedarkan pandangnya dan mendapati laki-laki berdiri di dekat pohon, di sebelah gerbang keluar. Laki-laki itu memunggungi Zahra. Tapi Zahra tahu laki-laki itu siapa.
“Ilham..,” gumam Zahra.
Ilham tidak menyadari ia tengah diperhatikan oleh Zahra dari jauh. Ilham seperti mengobrol dengan orang yang ada di belakang pohon.
Zahra mendekat, berharap ia bisa mendengar perkataan mereka.
“Saya akan bergabung.”
Kalimat yang mampu Zahra tangkap setelah mengikis sedikit jarak.
“Bagus, Ilham. Kita harus menghadapi ini.”
Zahra makin mendekat, kali ini ia mencoba menyembunyikan dirinya, dengan berusaha sebaik mungkin menyatuh dengan tumbuhan merambat di dinding.
“Saya ingin bertanya tentang...”
Krek.
Ilham menghentikan kalimatnya.
Zahra menyesali kecerobohannya, ia tidak berhati-hati dan malah menginjak daun kering. Ilham melirik sekilas menggunakan ekor matanya, lalu bersikap acuh, tidak ingin tahu suara apa itu.
“Bantu saya dan saya siap melakukan misi itu.”
***
Sesuai jadwal, mereka datang ke pondok untuk ikut majelis ilmu. Sarah, Kerly, Maryam sangat bersemangat, berbeda dengan Zahra yang terlihat ragu dalam melangkah dan beberapa kali menghela nafas panjang.
“Zahra.....,” panggil Amina.
Zahra mendongak, ternyata mereka sudah sampai di pondok, Zahra benar-benar tidak menyadari itu.
Aminah bingung melihat raut wajah Zahra, Zahra bahkan tidak membalas senyumnya.
“Kak Amina, ya? “ tanya Maryam.
Amina mengangguk. Mereka bertiga lalu berkenalan dengan Amina.
“Gimana sebelum acara di mulai, kalian ke kamar kakak aja. Enak nunggu di sana aja, dari pada di sini, dingin.”
“Setuju,” ujar Sarah. “Setujukan kalian?”
Kerly mengangguk.
“Yuk Kak.” Maryam menggandeng tangan Kerly dan Sarah, meninggalkan Zahra di belakang termenung dengan pikirannya sendiri. Raga Zahra ada di sana tapi pikirannya melayang entah ke mana.
“Eh Zahra, kamu gak ikut? “tanya Amina yang baru menyadari Zahra masih tertinggal di belakang.
“Kakak Zahra! “ panggil Maryam, karena Zahra sama sekali tidak merespon perkataan Amina.
“Kak Zahra kenapa sih, dari tadi diam aja,” gumam Maryam.
“Iya, dari tadi diam aja,” tambah Kerly.
Sarah setuju. “Panggil gih, Yam.”
Maryam berlari-lari kecil menghampiri Zahra yang hanya berjarak dua langkah dari tempat mereka berdiri.
“Kak.”
Sentuhan di bahu Zahra, membuat gadis itu menarik nafas kaget, ia mengerjap dua kali sebelum ‘sadar sepenuhnya’. Maryam bingung melihat Zahra, Zahra baru sadar, langkah sudah tertinggal dari mereka.
“Kenapa sih, Kak? Lo gak kesurupankan? “ Maryam mengerli matanya, menggoda Zahra. Biasanya Zahra akan membalas dengan perkataan ‘apa sih dek’, tapi yang terjadi Zahra hanya menarik senyum timbul diwajahnya. Senyum kecil. Zahra lalu mengandeng tangan Maryam untuk bergabung dengan Sarah, Kerly dan Amina.
Saat mereka di kamar Amina, Zahra kembali diam, tidak bergabung dalam obrolan mereka. Saat ditanya pun Zahra hanya menjawab sepatah lalu tersenyum canggung, begitu saja seterusnya sampai mereka akhirnya mulai tidak berfokus untuk terus menanyai Zahra. Zahra memilih duduk di sudut kamar, berpura-pura ikut tersenyum saat ada lelucon atau hal lucu lainnya. Berharap hasil dikepalanya tidak dipertanyakan. Banyak hal yang sekarang sedang Zahra pikirkan. Dan orang yang ia pikirkan itu terlihat di luar jendela berjalan menuju pintu kamar Amina, lalu tidak lama terdengar suara ketukan di pintu.
Ketukan itu membuat suasana ramai di dalam kamar berubah menjadi hening seketika. Amina keluar. Zahra melihat dari kaca, terjadi percakapan di antar mereka. Lalu dua detik berikutnya, Amina masuk ke kamar kembali dengan senyum canggung.
“Ada sedikit masalah. Apa kalian tidak keberatan kalo aku keluar sebentar ?” tanya Amina.
“Gak masalah kok, Kak.” Sarah, Kerly, Maryam. Hanya Zahra yang tersenyum tipis saat Amina melihatnya.
Amina lalu pergi, Zahra melihat mereka berjalan dari jendela. Setelah Amina dan Ilham tidak terlihat di jendela kamar, Zahra langsung bangkit.
“Aku mau keluar bentar,” kata Zahra.
“Mau ke kamar mandi ya, Kak..? “tanya Maryam. Zahra bimbang, dia tidak akan berbohong tapi tidak bisa berkata jujur kalo dia ingin mengikuti Ilham.
“Ikut, Kak.” Maryam bangkit, mengibas sedikit roknya, memastikan roknya tidak berdebu karena duduk di lantai tadi.
Zahra tidak menolak. Ia membiarkan Maryam ikut. Zahra mengantar Maryam ke kamar mandi pondok.
“Kak, aku duluan ya. Udah dikebelet.”
Zahra mengangguk setuju. “Kakak mau ke sana sebentar. Kalo kamu sudah, kamu langsung balik aja ke kamar kak Amina. Gak usah tunggu kakak. Kamu gak masalahkan kalo balik ke kamar kak Amina sendirian? “
“Hem, emang mau ke mana, Kak? “
“Hem...”Zahra bergumam.
“Ya udah, gak masalah, Kak. Aku masuk dulu ya.”
“Iya.”
Zahra langsung pergi dari sana. Dia tidak banyak tahu mengenai pondok ini. Tapi Zahra merasa mereka mungkin ada di taman, membicarakan hal rahasia seperti tadi tidak akan mungkin di lakukan di tempat yang ramai. Ya! Zahra sudah tahu. Tadi siang, Zahra melihat siapa yang Ilham ajak bicara, dan orang itu Amina, sahabatnya.
Zahra mencari dengan hati-hati, tapi dia tidak kunjung menemukan Ilham atau pun Amina di sana. Zahra berbalik hendak pergi, tapi iris matanya dikejutkan dengan kehadiran Amina yang sekarang berdiri di depannya sembari tersenyum lebar.
“Kak....”
“Sedang apa, Zahr? “
“Hem, aku hanya, hem.”
“Mengikutiku? “
“Hem.” Zahra mengangguk.
“Kenapa? Apa kamu ingin menanyakan sesuatu ?”
“Iya.” Zahra mengangkat kepalanya menatap mata Amira, memastikan hatinya bahwa duganya sejak tadi tentang sahabatnya itu, salah besar.
“Misi apa yang Kakak bicarakan dengan Ilham tadi di sekolah?”
Amina terkesiap sejenak, senyumnya sedikit mengecil.
“Hal penting apa sampai Kakak harus membicarakan di sekolah?” tambah Zahra.
“Misi, itu misi memberi Gita kejutan. Kakak tidak bisa bahas ini di pondok, karena ada Gita.”
“Ya Allah, aku sudah salah menduga.” Zahra menyesal.
“Tidak masalah, Zar. Wajar jika orang salah paham. Ada banyak orang yang salah paham. Kakak sudah biasa menghadapi itu.”
“Maafkan aku, Kak.”
“It’s okey.” Amina tersenyum. Zahra ikut tersenyum. “Majelis Ilmunya sebentar lagi mulai, Maryam, dan yang lain sudah ke haula. Kamu langsung saja ke sana.”
“Iya, Kak. Kakak gak ikut ?”
“Kakak akan ikut, insyallah. Tapi kamu duluan saja ke sana. Kakak harus ke kamar dulu.”
“Iya.”
Amina berbalik, ia melihat punggung Zahra yang menjauh. Amina tersenyum kecil. “Misi itu memang mengejutkan Gita. Ilham sudah bergabung, maka semua akan dimulai.”
.
.
Majelis ilmu di adakan setiap dua pekan sekali. Kerly dan Sarah, menyiapkan waktu dua pekan sekali untuk menginap di rumah Zahra dan Maryam. Seperti biasa majelis ilmu selesai pukul sepuluh malam.
“Eh, kalian tunggu sini bentar ya, aku mau ke kamar mandi dulu sebelum pulang,” kata Zahra.
“Mau di temani gak, Zahr? “tanya Kerly.
“Gak usah. Tunggu sini aja. Biar aku sendiri aja.”
“Ya udah, kita tunggu sini. Buruan ya,” sahut Sarah.
“Iya.”
Meski hari sudah malam tapi bagi anak pondok, pukul sepuluh adalah jam sore. Waktu tidur bagi mereka yaitu pukul sebelas, di jam segini mereka masih sibuk memenuhi masjid pondok, dengan suara lantunan ayat suci yang di baca bergilir baik putra atau santri putri. Tidak heran, jika pukul sepuluh masih banyak santri dan santriwati yang berlalu lalang di lingkungan pondok. Dan Zahra harus mengantri untuk menggunakan kamar mandi.
“Antriannya masih panjang,” Zahra bergumam. Menahan rasa alami dalam tubuhnya. Pipis.
Gadis di depan Zahra menoleh, mendengar perkataan Zahra barusan. Ia meneliti sekilas Zahra, dan tahu Zahra bukan santri di sana.
“Santri yang ikut majelis ilmu ya? “tanyanya.
“Iya.”
“Kalo gitu, mending kamu ke kamar mandi di sana aja. Kamu bisa minta kuncinya sama pakde.”
“Ehm, emang boleh? “
“Iya, itu kamar mandi khusus tamu. Orang luar boleh pake kamar mandi itu.”
“Hem, kalo gitu, makasih ya.”
“Iya.”
Setelah proses panjang, akhirnya Zahra selesai menunaikan pembuangan alami dalam tubuhnya. Zahra bisa bernafas lega. Ia berjalan kembali ke tempat di mana Maryam, Kerly dan Sarah menunggu.
“TIDAK! KAMU TIDAK BISA MELAKUKAN ITU, KELVIN!”
Suara tegas itu ditahan. Suara itu menarik mata Zahra untuk menoleh. Pupil matanya menangkap sesuatu di sana. Zahra langsung menyembunyikan dirinya saat melihat Kelvin dan Ilham dari kejauhan. Mereka nampak terlihat sangat marah. Wajah Ilham memerah, lalu tiba-tiba Ilham memukul wajah Kelvin. Zahra membekap mulutnya karena kaget, ia hampir berteriak. Zahra ingin mererai mereka, tapi langkahnya tertahan saat melihat Ilham justru yang kesakitan.
Bagaimana bisa? Tadi pagi, Ilham membuat Kelvin babak belur sedangkan sekarang, Kelvin tidak sama sekali merasa kesakitan—batin Zahra.
Zahra kembali menyembunyikan dirinya di balik dinding. Zahra melihat Kelvin menatap Ilham, lalu berbalik dan menghilang. Ilham masih di sana dengan kesakitan. Tangannya berdarah dan beberapa kali Ilham, meringis kesakitan. Zahra terkesiap melihat itu, ia iba dan tanpa sadar keluar dari persembunyiannya. Zahra tidak sadar Ilham sudah berjalan ke arahnya. Zahra terlambat menyembunyikan dirinya, karena Ilham sudah mengetahui keberadaannya.
Zahra bingung berkata apa, tapi Ilham hanya melewati seolah tidak melihat Zahra di sana. Ia mengabaikan keberadaan Zahra di sana.
“Kak Zahr,” panggil Maryam.
Zahra menoleh, begitu pun Ilham, ia menghentikan langkah dan mendongak melihat Maryam yang masih berdiri lumayan jauh dari mereka.
“Eh, kak Ilham, tangannya kenapa? “ tanya Maryam kaget melihat darah jatuh dari tangga Ilham.
Ilham tersenyum kecil. “Hem, hanya luka sedikit.”
“Eh, tapi harus tetap diobati, Kak.”
“Iya. Nanti saya bakal ke uks pondok.”
“Bisa sendiri, Kak? “
“Bisa.”
“Dia gak butuh bantuan kita, dek,” sahut Zahra datar.
Ilham melirik Zahra dengan ekor matanya, sesaat. Lalu kembali menunduk. “Iya, saya gak butuh bantuan kalian. Lebih baik kalian pulang sekarang, udah malam. Entar Bulek kalian bisa cemas kalo kalian gak pulang-pulang.”
“Kak Ilham benar. Ayo kak, pulang.”
Zahra mengangguk. “Kamu duluan ke depan, bilangan Sarah dan Kerly kalo kakak balikin kunci kamar mandi bentar ke pakde.”
“Oke, Kak.” Maryam langsung pergi. Begitu pun Ilham, ia langsung melanjutkan langkahnya. Zahra masih terpaku melihat darah keluar dari tangan Ilham.
“Kenapa kamu berusaha menyakiti Kelvin?” pertanyaan yang sejak tadi memuncak dan akhirnya Zahra keluarkan.
“Kamu gak perlu tahu! “
“Kamu kenapa sih?! Seingat saya mas Kaca itu orang baik. Kamu gak sama kayak, MAS KACA.” Zahra menghela nafas panjang. Ia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar keras hingga bisa menarik perhatian santri yang lalu-lalang.
“Ini terakhir kalinya, saya manggil mas Kaca. Kamu bukan lagi mas Kaca yang pertama kali saya kenal. Kali ini saya salah dalam menilai orang! “
“Terserah. Saya tidak peduli!”
******