Cie

2015 Words
Khusus hari jum’at, Zahra datang lebih awal, ia tidaj berangkat bersama Maryam. Zahra memiliki kebiasaan yang menjadi candu, ia akan datang pagi untuk murojaah (mengulang hafalannya) di musholah sekolah. Sesuai rencana, begitu masuk ke gerbang sekolah, Zahra langsung berbelok ke kanan menuju mushola. Zahra sengaja menenteng sekalian tasnya karena di dalamnya ada Al-Qur’an yang membantu Zahra mengulang hafalannya, jaga-jaga jika ia terlupa. Sekolah masih sangat sepi atau malah sangat-sangat sepi. Hanya ada pak satpam yang sudah stand by di pos gerbang dan beberapa guru yang memang rajin datang pagi, yaitu guru piket. Guru yang bertugas memantau siswa piket di halaman sekolah dan lapangan sekolah. Tidak heran di dua tempat itu, meski pagi banyak siswa yang sudah terlihat memegang sapu di tangan mereka. Itu lebih baik ketimbang mendapat hukuman dari guru piket jika mangkir dari jadwal piket. Berbeda dengan dua tempat itu, Musholah bukan tempat yang akan banyak dijamak oleh siswa di jam sepagi ini. Itu karena, kewajiban piket musholah dan halaman sekitar mushola di ambil alih oleh anak rohis, organisasi Islam di sekolah. Mereka melakukannya secara sukarela sebagai bentuk cinta mereka pada salah satu rumah Allah SWT. Zahra salah satu anggota rohis. Dan ia mendapat jadwal di hari jum’at. Jadi Zahra seperti sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Ia bisa murojaah dan piket. Paket komplit untuk mendapat ridho Ilahi. Senyum Zahra mengembang. Dengan langkah ringan bak kapas, Zahra berjalan ke musholah. Ia nyaris seperti menari karena ringannya langkah yang ia gerakan. Srek... Zahra menoleh. Ia menoleh ke kanan lalu ke kiri. Kenapa ia merasa ada yang mengikutinya. Zahra tidak mau mengabaikan kecurigaannya. Ia benar-benar menghentikan langkahnya. Firasat itu tidak boleh diabaikan, Zahra tidak ingin lengah. Dua menit berlalu, tidak terdengar derap langkah lagi. Zahra semakin yakin, ada yang mengikutinya. Dan Zahra merasa ada yang memperhatikannya di sebelah kanan, dekat pagar sekolah. Zahra pura-pura hendak berjalan dan secara tiba-tiba langsung menoleh. Tertangkap basah! Zahra mengetahui siapa yang mengikutinya dari tadi. “Kelvin? “ Dengan malu, Kelvin keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan sedikit mendekat pada Zahra. Tentunya dengan jarak sepuluh langkah sesuai peraturan yang Zahra berikan. “Maaf, Zahr. Saya tidak bermaksud mengintaimu seperti tadi. Saya...saya hanya ingin mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Tolong jangan usir saya. Tolong biarkan saya ada di sini.” “Kamu tahu dari mana saya akan mengaji di musholah ?” “Hem. Saya hanya tahu saja....” Kelvin mengaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah kenapa Kelvin semakin hari semakin mulai bertingkah seperti manusia. Apa lagi wajahnya yang sekarang terlihat bersemu merah. Lucu — batin Zahra bersuara. “Astagfirullah,” Zahra segera memalingkan wajahnya. Sekarang Zahra yang malah jadi gugup. “Apa boleh? “tanya Kelvin. Zahra terkesiap. Lalu entah kenapa menggangguk kaku. “Tapi, bukannya kamu gak bisa dengar lantunan ayat suci Al-Qur’an ? Bukannya setiap saya melantunkan itu, kamu akan kesakitan? “ “Iya memang benar. Tapi... “ Kelvin berhenti sejenak, menerawang jauh. “Tidak masalah menahan rasa sakit itu, sementara. Dosa saya tidak setimpal dengan rasa sakit itu. Saya akan menahannya dan berharap Tuhan melihat kesungguhan saya.” Zahra tersenyum. “Masyallah. Aamiin...” “Hem, jadi apa boleh? “ “Boleh. Tapi kamu hanya bisa berada di luar musholah. Gak masalahkan? Setuju? “ “Tidak masalah. Begitu saja cukup. Saya akan berdiri di sini, sembari mendengar lantunan ayat suci yang kamu bacakan.” Kelvin tersenyum lebar. Zahra mengangguk lalu kembali melanjutkan langkahnya ke musholah. Hanya butuh lima langkah lagi bagi Zahra untuk sampai ke musholah. Dan ia sudah sampai, Zahra membersihkan mushola dulu baru setelah ia mengambil wudu dan mulai membaca Al-Qur'an. Zahra membaca surah Ar-Rahman. Zahra sangat menikmati bacaan ayat suci yang mengalir dari mulutnya. Ia sangat menikmati hingga hampir melupakan keberadaan Kelvin di depan musholah. Zahra melihat ke arah depan. Kelvin berdiri di posisi yang sama. Jin itu tidak bergerak sedikit pun. Ia terlihat kesakitan seiring dengan lantunan yang Zahra lafadzkan, namun Kelvin tidak bergeming. Ia tetap menahan diri untuk pergi. “Sadaqallahuazim.” Zahra melihat Kelvin, entah kenapa hatinya merasa iba. Kelvin masih nampak kesakitan, Zahra memperhatikan. Kelvin menyadari itu. Ia langsung melempar senyuman pada Zahra, seolah mengatakan, ‘jangan sedih. Saya baik-baik saja’. Kelvin bahkan mengangkat dua jempolnya tangannya ke arah Zahra. Ia bergumam tanpa suara, membentuk kalimat. ‘Terima kasih.’ Lalu Kelvin pergi dari sana. “Kelvin, kamu hanya perlu satu langkah lagi. Kamu hanya perlu membuka hatinya untuk melihat kebenaran,” gumam Zahra. . . “Gue yakin.” Sarah menghempas tubuhnya, menduduki kursi. Kerly melirik, ia terusik suara berisik yang Sarah timbulkan. Kerly jadi tidak fokus memasang lipstik berwarna rose di bibirnya, alhasil lipstiknya sedikit berantakan. “Fiks, ini mah. Zahra, Kelvin dan Stefani terlibat cinta segitiga,” sambung Sarah, sembari mengebrak meja. Kerly mendelik. Kemarahannya memuncak. “Eh, Lo, bisa gak pagi-pagi gak buat gue darah tinggi?” sengit Kerly. Bukannya takut atau merasa bersalah, Sarah malah dengan semangat langsung menarik leher Kerly untuk mendekat pada mulutnya. “Sststststt... Ini berita penting bin heboh.” Sarah berbisik pelan. “Gue tadi liat Zahra ngasih tasbih buat Kelvin.” “So? “ alis Kely menukik. “Itu tandanya, dugaan kita benar. Mereka...hem... pacaran, maybe.” “Lo gak salah liatkan? “ “Gak. Gue serius. Bahkan gue juga liat Stefani ada di sana, merhantiin mereka dari jauh. Matanya kelihatan sedih banget. Fiks. Mereka terlibat cinta segitiga.” “Kita mesti klasifikasi kebenaran ini.” “Yap. Kita gak boleh gibah. Gibah itu dosa. Kita tanya Zahra langsung aja,” sahut Sarah. Tumben lagi mode waras. Pucuk dicinta, ulan pun tiba. Zahra masuk ke kelas. Sarah tersenyum lebar. Kerly mengikuti langkah Zahra. Entah kenapa Zahra merasa hawa yang berbeda. Hawa dari kedua sahabatnya itu. Mereka terlihat akan memulai sesuatu yang Zahra tidak suka. “Kenapa? “tanya Zahra, akhirnya. Kerly dan Sarah sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari Zahra. Mereka mengikuti semua gerak-gerik Zahra. Membuat Zahra merasa aneh. “Jujur sama kita.” Kerly memulai. Wajahnya sangat serius. Zahra pikir ada hal berat atau tukar pikiran yang akan mereka lakukan. “Lo pacaran sama Kelvin? “ tanya Kerly “Ha? “ Dugaannya meleset. Tidak ada tukar pikiran atau argumen seharusnya dia tahu itu. “Kita butuh klarifikasi sebagai sahabat, masa kita gak tahu apa-apa sih.” Sarah menambahkan. “ klarifikasinya, kalian terlalu percaya gibah.” “Tunggu kisanak! Tapi gue lihat sendiri Lo kasih Kelvin hadiah.” Sarah masih berusaha mengulik semuanya. “Hadiah? Kapan aku kasih hadiah? “ bingung Zahra. “Jangan pura-pura tidak tahu apapun, Kisanak.” Sarah memutar bola matanya setelah menyadari Zahra benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan mereka. “Hadiah, tasbih, di musholah,” kata Kerly. “Oh...itu.” “Sudah ingat? Jadi jelaskan sama kami, kalian backstage ya? Kalian pacaran ya? “ “Astagfirullah...pacaran itu gak boleh. Pacaran itu sama halnya dengan berdiri di depan gerbang zina. Awalnya memang berada di luar, gak ngapa-ngapain. Tapi lama kelamaan, sadar gak sadar, orang-orang yang hendak masuk akan mendorong masuk,” kata Zahra panjang lebar. Sarah, salah pertanyaan. Ia menggerutu pelan. “Oke fiks. Gak pacaran. Maybe kalian komitmen. “ “Ha? “ Mata Zahra terbelalak. “Iya, hem komitmen, saling menjaga perasaan untuk satu sama lain tanpa ada status. Saling berbagi perhatian tapi gak saling memandang. Topik pembahasannya sesuatu yang mengarah keseriusan, nikah dan blablabla. Bangunin salat tahajud, ingatin salat duhha. Kayaknya ini lagi trend sekarang deh, kalo gak salah, ukhti-ukhti kalo ditanya bilangnya, lagi taaruf. Taaruf selama bertahun-tahun.” Sarah menjelaskan. “Kalian gitu juga? “ tanya Kerly. Zahra memutar bola matanya. “Itu hanya digunakan oleh orang yang suka memutar-mutarkan hukum Allah SWT sesuai nafsunya. Mereka sengaja menghias dosa agar perbuatan mereka terlihat baik. Mereka menipu diri mereka sendiri.” Zahra berdecak, pelan. “Gak ada pacaran atau apapun sejenisnya.” Sarah masih belum puas. “Terus apa arti tasbih itu ? Kenapa Lo kasih ke Kelvin, kalo dia memang bukan apa-apa, Lo? “ “Karena dia ingin berubah menjadi baik. Itu saja.” *** ‘Cie' kata-kata itu kini lalu lalang di telinga Zahra. Apa yang Zahra lakukan akan menjadi kata ‘cie Zahra, ada Kelvin mana nih?’. Zahra menegur orang yang buang sampah sembarangan jadi ‘cie Zahra, pantes Kelvin suka’. Zahra sedang piket, jadi ‘cie Zahra, Beruntung banget si Kelvin’. Semua jadi cie, bahkan saat Zahra diam sekali pun menjadi cie. Namanya selalu dikait-kaitan dengan nama Kelvin. Zahra tidak tahu sebenarnya gosip apa yang mereka telan hingga kompak melakukan itu. Zahra sudah menginterogasi Sarah dan Kerly yang diduga dalang dari semua ini. “Bukan gue, Zar. Serius deh. Gue gak pernah nyebar apapun, tanya deh sama Kerly. Diakan udah kayak ekor gue. Di mana ada gue, ada dia juga,” jawab Sarah saat Zahra menanyakan perihal itu. “Kita tahu Lo, Zahr. Kita juga gak bakal beranilah buat nyebar hoax gini, makanya kemarin kita nanya Lo. Terus kita juga tahu, kalo Lo tuh benci banget di giniin, di cie-ciein,” Zahra setuju. Bukan mereka pelakunya. Mereka berdua tahu bahwa sejak dulu Zahra paling tidak suka diolok dengan kata cie, lalu siapa? Zahra mendengus dan menjatuhkan kepalanya di meja. Sudahlah, mungkin sebentar lagi semua orang juga bosan dan melupakannya. “Zahr...” Zahra mendongka, ada Kelvin berdiri di depan mejanya. Jin itu menunduk, tidak berani melihat Zahra. Zahra langsung berdiri. “Ada apa, Vin? “ “Apa kita bicara bentar di luar ke kelas? “ Kelvin melirik sekitar. Anak kelas mesem-mesem tersenyum melihat interaksi Zahra dan Kelvin. Mereka menahan diri untuk bilang ‘cie'. “Karena di sini... Hem.” Zahra tahu Kelvin merasa tidak nyaman jika berbicara di sini. Ia juga merasakan hal itu. “Ya udah di kantin aja, di sana rame juga dan sih dari anak kelas,” sahut Zahra, pelan. Kelvin setuju. Ia pergi duluan. Lalu lima menit berikutnya, Zahra baru pergi ke kantin. Kelvin sudah menunggu Zahra. Zahra berdeham pelan sebagai tanda ia sudah datang. “Zahr, maafkan saya. Saya tidak tahu apapun. Kamu pasti kesal karena mereka sering bilang cie dan pacar. Saya tidak tahu kenapa ini terjadi. Saya tidak mau kamu marah pada saya lagi. Dengan susah payah kita berteman, saya tidak mau kamu kembali membenci saya.” Zahra tertegun, kenapa Kelvin begitu sedih. Bahkan Ia tidak marah. Zahra menganggap ini seperti angin lalu yang akan segera berakhir. “Sudahlah, tidak perlu serius seperti itu. Tidak perlu meminta maaf juga. Hem, saya rasa kamu juga gak salah.” Kelvin refleks mengangkat kepalanya, beruntung Zahra menyadari itu dan langsung menunduk agar tidak terjadi kontak eyes dengan Kelvin. “Saya sangat lega mendengar ini, Zahr.” Kelvin tersenyum lebar. “Sudah tidak ada yang kita bicarakan? Saya mau balik ke kelas.” Zahra segera bangkit dari kursi. Kelvin mengangguk lalu Zahra pergi, kembali ke kelas. Menyusuri lorong IPS, ibarat menyusuri pasar. Kelas IPS memang tidak absen untuk urusan sepi dan tenang. Setiap saat kelas IPS selalu menjadi backing vocal dalam urusan kelas tergaduh terutama di jam istirahat. Dan mungkin kelas Zahra pemegang piala oscar dengan kategori kelas ter-tergaduh sepanjang abad. Ini memang berlebihan, tapi ya.... liat saja, Zahra bahkan bisa mendengar suata gaduh kelasnya bahkan sejauh dua meter. Zahra menggeleng-geleng pelan, seraya mempercepat langkahnya. Zahra masuk ke kelas. Suara gaduh tiba-tiba berubah menjadi hening, yang terdengar hanya suara cekikikan yang ditahan. “Kenapa?” gumam Zahra masih tidak tahu. Kerly memberi isyarat untuk menyuruh Zahra melihat ke arah papan tulis. Zahra menoleh. Zahra dan Kelvin, Love forever. Font tulisan memenuhi semua papan tulis plus ada gambar hati yang tertancap panah, ala-ala anak TK. Zahra mendelik. Kelakuan konyol apa ini. “Selamat siang, anak-anak.” Zahar kaget. Bu guru sudah ada di ambang pintu. “Ada apa? Tumben sepi.” Bu guru melangkah masuk. “Ada apa, Nak? Kenapa kamu berdiri di sini? “ “H-hem, itu, bu, hem karena—“ Zahra terbata. “Bu, apa saya boleh masuk?” sela Kelvin yang baru tiba di kelas. “Ya, masuk saja. Pelajaran belum dimulai. Tapi lain kali jangan telat lagi, hari ini ibu maklumi. Oke Kelvin.” Kelvin masuk. Tapi langkahnya langsung terhenti. Ia menatap ke arah papan tulis dengan mata terbelalak, kaget. Bu guru tanpa sejak tadi belum menoleh ke papan tulis, mengikuti arah pandang Kelvin. “Oh, jadi ini...,” bu guru tertawa pelan. Zahra menunduk malu. Sangat, sangat malu. “Ini salah paham, Bu. Ini tidak benar,” jwab Zahra cepat. “Ini benar,” Bantah satu kelas kompak. Zahra kalah suara. Bu guru tersenyum, geli. “Ibu jadi ingin mendengar kisah lengkapnya. Tentang love forever. Siapa yang mau cerita, Kelvin atau Zahra,” goda bu guru, dan hal itu sukses memancing sambutan heboh semua orang di kelas. “Cie.... cie.... “ Kalimat itu lagi. Zahra langsung menggeleng-nggeleng, membantah semua itu. Mereka tidak saling mencintai, mereka salah paham. Zahra ingin menjelaskan itu, tapi suaranya kalah oleh cuitan dan heboh anak kelas. Bahkan Kerly dan Sarah juga ikut berpartisipasi, Zahra menghela nafas panjang. Pasrah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD