“Kak Zahra di mana sih? Mama bilang kak Zahra ada di rumah pohon.” Maryam menoleh ke sana-ke sini. Ia tidak melihat keberadaan Zahra di sekitar rumah pohon.
“Ih, Kak Zahra mah. Ke sini gak ngajak-ngajak. Awas aja entar.” Maryam cemberut, ia lantas duduk di pohon yang sudah lama tumbang. Berjalan kaki di siang hari cukup melelahkan bagi Maryam. Ia berpikir untuk merengangkan otot kakinya barang sejenak.
“Kayaknya kak Zahra dah pulang deh..,” gumam Maryam yakin. Maryam menikmati hembusan angin yang memanjakannya, di bawah pohon rindang. Ia refleks menutup matanya.
Srek..
Srek..
Srek..
Suara itu mengusik pendengar Maryam. Maryam mencari asal suara itu. Ia menoleh ke semua arah. Awalnya Maryam tersenyum ia pikir itu Zahra. Maryam memanggil nama Zahra. Tapi tidak ada sahutan.
“Apa itu bukan kak Zahra ?” gumam Maryam ragu. Kerongkongannya seketika terasa kering. Maryam menelan ludahnya dengan susah payah.
Srek ..
Srek..
Langkah itu makin terdengar dekat.
Secara logika, Maryam ingin berlari dari situ. Tapi ketakutannya, membuat tubuhnya hilang kendali. Tubuhnya malah mematungkan. Maryam kesulitan bergerak, bahkan untuk sekedar berdiri.
Srek..
Suara dari sebelah kanan. Maryam menoleh.
Hembusan angin langsung menerpa wajahnya. Maryam meringgis, ia melihat sesuatu bergerak cepat ke arahnya. Maryam ketakutan, ia menyilangkan tangannya di depan wajahnya.
“Aaaaaaa..... “
Bruk!
“Argh.... “
Bukan Maryam yang kesakitan. Maryam tersadar dan langsung berlari dari sana tanpa menoleh ke belakang.
***
“Kakak tinggal di pondok ini? “
Amina mengangguk. “Untuk sementara rombongan kami akan tinggal di sini.”
Zahra hanya mengangguk sekilas. “Kalo gitu, aku pulang ya, Kak.”
“Kenapa kamu buru-buru? “
“H-hem... “
“Amina...” Panggilan itu membuat Zahra dan Amina kompak menoleh ke asal suara. Pemilik suara berjalan kerah mereka.
“Alhamdulillah, kamu menepati janji.” Gadis itu tersenyum lebar. Ia belum sadar kehadiran Zahra di sana.
Zahra tersenyum canggung ke arahnya. Gadis itu malah menatap Zahra dengan alis terangkat.
“Namanya Zahra. Dia sahabat sekaligus tetanggaku dulu.” Amina memperkenalkan Zahra.
Wajah gadis itu seketika berubah menjadi ramah. “Salam kenal, Zahra. Nama yang bagus.”
“Terima kasih,” Zahra masih malu.
“Nama aku Gita. Kamu bisa memanggil aku apa saja. Asal jangan Gila.”
“Sepertinya kak Gita seumuran sama kak Amina. Saya lebih nyaman memanggil dengan embel kak.”
“Is okey. Apa pun itu.”
Gita melirik Amina. Gadis berwajah oriental itu, kaget melihat Amina yang terlihat lebih ceria dari sebelum ia pergi tadi.
“Nanti malam, ada acara penyambutan rombongan kami di sini. Apa kamu mau datang? “
“H-hm...kayaknya gak kak. Bulek melarang saya buat pulang malam.”
“Kalo gitu, jangan pulang.”
“Ha? “
“Kamu menginap saja di sini. Gimana? “
“H-hem..”
“Ayolah. Jangan membiasakan sifat pemaksamu pada anak SMA.” Amina menyela.
“Hey! Aku tidak memaksa, aku hanya menawarkan.”
“Ya, terserah saja.” Amina memutar bola matanya, jengah.
Gita tersenyum lebar dan langsung menggandeng tangan Zahra. “Ayo, kau pasti haus.”
Keduanya berjalan di depan, sedangkan Amina mengekor di belakang. Gita bertanya banyak hal pada Zahra. Amina pikir, Gita lebih cocok menjadi juru bicara ketimbang menjadi dokter gizi. Percakapan keduanya sangat random, mungkin pertanyaan itu baru saja terlintas dan langsung Gita tanyakan pada Zahra. Zahra memang pendengar dan lawan bicara yang baik, bahkan sampai-sampai Gita beberapa kali tertawa. Amina tidak bisa membuat gadis berwajah oriental itu tertawa seperti itu, bahkan meski sudah bertahun-tahun menjadi teman.
Bertemu dengan Zara sedikit Gita melepas penatnya yang selama ini ingin banyak bicara namun dihempas oleh kenyataan bahwa Amina bukan orang yang akan bisa merespon semua pertanyaan.
“Ilham, Apa bisa tolong ambilkan minuman untuk dia. Dia tamu kami, ” seru Gita tiba-tiba begitu seorang lewat di depan kamar mereka.
Mendengar nama Ilham, Zahra refleks langsung menunduk. Zahra berharap Ilham tidak mengenalinya. Ilham berjalan mendekat. Gita adalah tamu mereka di pondok. Sebagai santri mereka berkewajiban untuk melayani mereka.
Tidak lama Ilham datang dengan membawa setampan air sirup. Dia membawa tiga gelas untuk mereka.
“Terima kasih, ya... “
Ilham hendak pamit undur diri. Gita menghentikannya.
“Eh, kamu kenal sama Zahra gak? Dia satu sekolah sama kamu.”
Ilham refleks menoleh. Zahra masih setia menunduk meski namanya di sebut. Ilhlam pasti mengenalinya
Terjadi keheningan sesaat. Ilham berdeham pelan.
“Apa ada yang perlu saya bantu lagi? “tanya Ilham datar.
“Zahra ingin menginap di sini, di pondok ini. Bolehkan? “ tanya Gita. Zahra mengangkat kepalanya, kali ini ia penasaran dengan respon Ilham.
“Hem. Untuk urusann itu, bisa langsung tanyakan ke pak kiyai.”
“Ouw... “ Gita mengangguk pelan. “Kita akan ke sana nanti.”
“Saya permisi dulu,” ujar Ilham. Kali ini, ia benar-benar pergi.
Zahra kembali mengangkat kepalanya. Ia tanpa sadar menghela nafas panjang.
“Kenapa? “ Gita bingung melihat ekspresi lega dari Zahra.
“Hem, kak, saya mau ke kamar mandi. Kamar mandi umum di mana ya? “ Zahra sebenarnya asal saja. Ia mencoba mengalihkan topik. Ia tidak mungkin mengatakan ada sebuah ‘permusuhan’ tidak kasar mata yang terbentuk antara dirinya dan Ilham. Yap. Zahra tahu, bermusuhan bukanlah hal yang baik. Zahra juga tidak tahu, kapan tercipta suasana musiman diantara mereka. Maka Zahra menganggap ini bukan permusahan melainkan sesuatu yang entahlah... Zahra tidak bisa mendeskripsikannya.
“Hem, aku sudah tahu di mana, tapi aku mesti balik ke kamar sekarang jadi tidak bisa mengantar ke sana. Sebenarnya ada sesuatu yang mendesak, tapi tadi aku lupa dan malah asik berbicara dengan kamu. Apa itu tidak masalah? “
“Kalo gitu biar, kakak aja yang nganter kamu ke sana.” Amina baru hendak melangkah. Gita sudah menghentikan langkahnya.
“Tidak bisa. Urusan ini malah sangat membutuhkan kamu! “
“Kau bisa menghendelnya dulu. Selagi aku menemai Zahra.”
“TIDAK BISA, Amina.” Gita memutar bola matanya., kesal dengan sikap keras kepala Amina.
Merasa tidak enak, Zahra langsung menengahi keduanya. “Tidak apa-apa aku ke kamar mandi sendiri saja, Kak.”
“Hem. Maaf ya, Zahr. Tapi... Hem. Ini penting.” Gita jadi merasa tidak enak. “Hem, kamar mandi umum, ada di sebelah kanan sana.”
Zahra pergi.
“Hal penting apa yang harus kita lakukan? “tanya Amina.
“Hem. Dia masih sulit diyakinkan. Kita harus meyakinkannya sekarang, sebelum semua terlambat.”
“Ya. Itu tidak boleh terjadi.”
.
.
.
Zahra menggerutui keputusannya yang mengalihkan pembicaraan dengan berpura-pura ke kamar mandi umum. Zahra kena batunya. Niat awal yang hanya menghindar dari pertanyaan Gita, malah berujung ia benar-benar harus ke kamar mandi sendirian. Plus ia tadi sempat tersandung dan kakinya penuh lumpur. Mau tidak mau Zahra harus mengantri di kamar mandi yang ngantrinya hampir dua puluh menit.
“Seharusnya tadi aku izin pulang saja. Bukan izin ke kamar mandi umum.” Zahra ingin pulang sekarang. Tapi ia tidak mungkin langsung pulang begitu saja. Ia harus berpamitan dengan Amina dan Gita.
Zahra kembali ke tempat mereka tadi. Tapi Gita dan Amina tidak ada di sana.
“Apa mereka masih sibuk di kamar? “ Zahra bingung. Ia sudah seperti anak hilang di pondok ini. Zahra tidak tahu di mana kamar Amina dan Gita.
Zahra mondar-mandir kebingungan mencari mereka berdua. Zahra melihat Ilham. Mau tidak mau ia harus bertanya. Ilham terlihat sedang berbicara. Zahra jadi ragu untuk mendekat.
“Tidak! “
“Tapi kamu harus mau! “ sahut lawan bicara Ilham yang tidak bisa Zahra liat karena tertutup pohon.
“Jangan paksa saya! Saya hanya ingin hidup normal ! Saya tidak ingin melakukan itu lagi.”
Ilham pergi setelah mengatakan itu. Zahra mengerjap bingung. Apa maksudnya dengan ‘normal’. Zahra kembali menoleh ke arah tadi. Orang yang ada di balik pohon itu berjalan pergi dari sana. Dan itu ...
Amina.
**