Suara azan salat ashar terdengar berkumandang. Aktivitas latihan drama dihentikan sejenak.
“Minum? “ Kelvin memberikan sebotol air mineral pada Zahra.
“Kamu gak minum? “
“Tidak. Kamu pasti tahu alasannya.” .” Kelvin tersenyum. “Dan air minum ini bisa mubazir kalo tidak saya berikan pada kamu.”
“Kenapa untuk saya? “
“Karena kamu membutuhkannya. Air minum milikmu sudah habis sejak tadi, iyakan? “
“Hem....” Zahra mengangguk seraya tersenyum dan mengambil botol mineral itu. Kelvin bergerak duduk di samping Zahra dengan sebuah jarak di antara keduanya.
“Kata Maryam, kamu seperti galon berjalan, apa artinya? “
“Maryam bilang gitu? “
Kelvin dengan polos mengangguk.
“Itu kata sindiran karena saya suka minum air.”
“Jadi itu kalimat sindiran?” Mata Kelvin melebar.
Zahra mengangguk.
“Apa kamu marah pada saya? “
“Tidak.”
“Huft, syukurlah, saya pikir kamu akan marah.”
“Memangnya saya semudah itu marah? “
“Hem,” Kelvin mengangguk polos. Raut wajah Zahra seketika berubah.
“Dulu. Tapi sekarang tidak lagi,” ralat Kelvin.
“Hem, maaf, karena dulu saya menjaga jarak darimu. Karena... “
“Saya jin kafir? “
Zahra mengangguk.
“Tapi sekarang pun saya masih sama.”
“Tapi saya yakin kamu mulai berubah.”
“Kamu yakin Zahr?” gumam Kelvin.
“Zahr, kamu gak salat ashar? “ tanya Sarah.
“Astagfirullah! Aku lupa.” Zahra langsung bangkit. Ia buru-buru pergi disusul Kerly ia mengekor Zahra di belakang. Di musholah sekolah, salat ashar berjamaah sudah dimulai. Zahra masbuk, ia mengikuti salat berjamaah setelah tiga rakaat.
“Zahra, dari tadi gue liat Kelvin di luar mushola,” kata Kerly.
Kerly dan Zahra tengah mengantungkan kembali mukena yang sudah mereka pakai, di rak mukena milik musholah sekolah.
“Tahu dari mana? Kamukan salat tadi.”
“Hem, g-gue gak sengaja liat pas lagi salat.” Kerly tersenyum lebar. Jawabanya barusan jelas akan memancing petuah dan wejangan keluar dari mulut princess muslimah.
“Salat itu harus fokus, Kerl. Sempat-sempatnya kamu liat keluar.”
“Iya Zahr. Tadi Khilaf,” ujar Kerly. “Gue heran deh, Zahr, padahal lagi salat kok masih ada aja setan yang bisikin ?”
“Saat salat, setan yang ada semakin banyak dari samping, depan, belakang, setan berusaha buat kita gak fokus dalam salat. Pernah ngalamin, lupa taruh barang terus pas salat langsung keingat di mana barangnya, pada hal dari tadi gak ingat-ingat, jadinya gak fokus salat dan ingin cepat-cepat, gak tumaknina.”
“Serius, gue sering gitu.”
“Sama, aku juga. Intinya setan tuh bakal selalu berusaha buat kita menjauh dari jalan yang lurus, bahkan sampai detik terakhir manusia aja setan masih berusaha membuat manusia kafir.”
“Hem, gue ngerasa gak pantas buat mohon ampun sama Allah. Gue malu sama Allah, dosa gue udah banyak banget.”
“Nah, ini juga salah satu bisikan setan, tipu daya setan biar kita gak bertaubat. Sesuatu yang baik malah di buat seolah gak baik dengan banyak dalil yang kalo menurut logika kita sebagai manusia ‘benar ‘. Sebelas dua belas sama alasan, ‘belum siapa hijab, mau memperbaiki hati dulu, masih gak pantas pake Jilbab' ini alasan dari setan, membuat yang salah terlihat benar dengan untaian kata yang jadi tampeng atas pembangkang.
“Malu sama Allah terus gak berani mohon ampun sama Allah. Ini salah besar, Kerl. Ini malah bentuk dari kesombongan, udah salah gak minta maaf, alibi karena malu punya banyak dosa. Terus pas buat dosa, kenapa gak malu sama Allah ?”
“Allah SWT punya sifat Ar-Rahman, Ar-Rahim, kalo buat dosa, jangan ragu buat mohon ampun sama Allah, jangan bilang terlambat atau percuma dosa gue udah banyak, gak ada yang percuma, selagi nafas belum diujung tenggorokan maka Allah akan selalu membuka pintu taubat sebesar-besarnya.”
“Jadi rasa malu itu salah ?”
“Salah, Kerl. Kita gak boleh malu buat bertaubat. Gak boleh. Jangan dengarin bisikkan yang bilang, ‘percuman taubat, dosa udah banyak, gak akan di ampunin’. Semua itu hoax terbesar dari para iblis dan ateknya.”
Setelah mengatakan itu, Kerly dan Zahra keluar dari musholah tanpa bercengkerama, Kerly terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri, beberapa kali Zahra melihat Kerly menghela nafas, panjang. Zahra tidak ingin mengganggu Kerly dengan ruang pikirnya. Sampai di ambang pintu musholah, Kerly dan Zahra melihat Sarah, Sarah terlihat mencari sesuatu di atas pohon beringin yang rindang.
“Sar, ngapain di sini?”
“Gue tadi mau ke kantin tapi gue gak sengaja liat sesuatu yang gerakannya cepat banget, manjat pohon ini, terus jatuh. Gue bingung itu manusia atau bukan? “
“Mungkin salah liat, mungkin kucing yang lewat. Lagian Lo udah tahu mata minus tapi terus paksain gak pakai kacamata.”
“Hem, tapi gue yakin itu bukan kucing. Kalo kalian gak percaya gue ada buktinya.” Sarah memperlihatkan foto yang tidak sengaja ia dapatkan.
Zahra memperhatikan gambar itu, jelas pada gambar itu bukanlah seekor kucing. Terlihat Seperti postur manusia, namun tidak terlalu jelas karena foto yang diambil sedikit goyang, sehingga terlihat bergelombang.
“Masa kucing sebesar ini,” kata Sarah menambahkan.
“Hem, emang gak kayak kucing. Tapi ya udahlah, gak ada faedahnya juga kalo kita tahu itu apaan.”
“Iya sih, tapi aku kepo.”
“Udahlah dari pada kepo mending kita jajan di kantin. Bu katin masih bukakan? “
“Hem, ide bagus tuh. Gue rada lapar dari tadi latihan terus.”
“Yuk, Zahr.”
“Kalian duluan aja ya, Aku mau ke kelas dulu bentar.”
“Oke. Kita tunggu di kantinnya.”
“Iya.”
Zarah tahu bahwa itu Kelvin. Zarah mencari Kelvin di pohon beringin.
“Kelvin, kamu di sini? “ panggil Zahra.
Tidak lama terlihat sesuatu yang bergerak cepat. Itu Kelvin.
“Apa kamu memperhatikan saya salat, sampai terjatuh seperti itu?”
Kelvin menangguk.
“Kenapa ?”
“Karena saya tidak bisa masuk ke sana untuk menjagamu.”
***
“Zahr, jauhin Kelvin! “
“Sebenarnya apa sih masalah kamu sama saya? Kenapa kalo saya dekat sama Kelvin? Kamu takut dia berpaling dari jalan yang salah? “
“Kamu terlalu percaya diri !” Stefani tersenyum miring.
“Saya memang percaya itu, bahkan kamu juga percaya. Kamu bahkan terus mengatakan hal yang sama. Jelas kamu takut!”
Stefani mendengus. “Kamu bodoh!”
“Saya tidak peduli.”
“Dia bukan jin baik! “
“Lalu apa kamu jin baik, sehingga saya harus percaya?” Zahra berbalik.
“Kamu akan menyesal, Zahr.”
Zahra pergi dan tidak sengaja berpapasan dengan Kelvin.
“Zahr, maaf.”
“Untuk? Stefani? “
“Hem.”
Zahra mengangguk, seraya tersenyum tipis.
“Kamu sudah siap akan tampil? “
“Insyallah. Saya hanya sedikit gugup.”
“Tenangkah dirimu. Atau lebih baik kamu mengambil wudu dulu di musholah agar sedikit rileks.”
“Ide bagus. “ Zahra tersenyum. “Terima kasih sarannya. Kalo gitu saya ke musholah dulu ya. “
“Iya.”
Gemercik air wudu, membasahi wajah Zahra, membuat gadis itu menjadi lebih rileks.
“Alhamdulillah, sedikit berkurang rasa gugupnya.” Zahra menghirup nafas dalam-dalam, menikmati angin malam yang teras sejuk dari jendela musholah. Tanpa sengaja mata Zahra melihat siluet Kelvin yang berdiri tidak jauh darinya. Kelvin tidak sadar Zahra menyadari kehadirannya.
“Saya ingin masuk ke sana, tapi kenapa sulit sekali.” Suara itu terbawa angin hingga sampai di telinga Zahra.
“Masuk aja,” sahut Zahra.
“Zahra.” Kelvin berbalik.
“Tidak. Saya tidak bisa.”
“Masuk aja.”
“Tidak.”
“Masuk aja, di musholah banyak murid berkumpul. Mereka juga sedang latihan tilawah.”
“Benarkah? “
“Iya.”
“Kenapa setiap dekat ke sana, saya merasakan sesuatu.”
“Apa? “
“Tenang.”
“Ayo ke sana.”
“Hem.”
Suara merdu mengalun dari seorang murid yang sudah terkenal keahliannya dalam tilawah Al-Quran, dia mengklam tidak ada orang yang bersuara merdu melebihi dirinya, dan menurut Zahra suaranya memang merdu. SmKelvin mendengarkan tilawah Al-Qur'an dengan khidmat, dan untuk pertama kalinya dia tidak merasa terbakar.
“Apa kamu tidak merasa terbakar saat mendengar suara mengaji?”
“Iya. Saya tidak merasa terbakar.”
“Kabar baik. Alhamdulillah.” Harapan Zahra tentang mendapatkan hidayah makin melambung. “Masih ada waktu sebelum tampil. Saya ingin salat wudu dulu ya. Kamu gak masalahkan di tinggal? “
“Iya tidak masalah. Saya tunggu di sini. Saya masih ingin menikmati lantunan ayat Al-Quran.”
Selesai salat, Zahra melihat Kelvin berbicara dengan murid yang tadi melantunkan ayat suci Al-Qur’an
“Kelvin keliatan benar-benar serius untuk menjemput hidayahnya. Ya Allah, permudah langkahnya untuk mengenalmu,” gumam Zahra. Ia mendekati keduanya.
“Kelvin.”
“Sudah selesai Zahr? “
“Iya.”
“Oke kalo gitu. Saya permisi ya. Terima kasih untuk bacaannya yang indah. Suaraku sangat indah, tidak ada yang bisa menandingi.”
“Thank bro.”
“Saya pergi.”
“Yap.”
“Sedang berbicara apa tadi? “
“Hem, hanya mengobrol ringan.”
Zahra tersenyum lebar. Mereka berjalan berjauh-jauhan.
“Apa saya salah liat, sepertinya kamu tersenyum.”
“Ehm.”
“Apa yang membuat kamu begitu bahagia?”
“Kamu.”
“Ha?”
“Hem maksudnya, hidayah, hem, bukan, hem.” Zahra sadar kalimatnya sangat berantakan, kenapa dia seperti ini. Zahra menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.
“Maksudnya, kamu yang semakin dekat dengan hidayah. Saya senang dengan kabar itu.” Zahra mencoba menutupi kegugupannya dengan senyum, berharap Kelvin tidak menyadari hal itu.
Kelvin membalas senyum sekilas, lalu keduanya berjalan dalam keheningan. Zahra terus membatin, memarahi mulutnya yang asal bicara saja. Ia jadi makin tidak nyaman karena setelah percakapan tadi malah terjadi keheningan yang membuat Zahra terus menerka-nerka apa yang Kelvin pikirkan.
Zahra menghela nafas panjang. Ia menoleh ke samping. “Kelvin, saya tadi gak maksud, hem...”
“Zahr, awas, di depan kamu ada batu.”