Pertanyaan

2264 Words
“Zahr, awas, di depan kamu ada batu.” Zahra terlambat menoleh. Kakinya sudah berciuman dengan batu yang berukuran sedang. “Aww...!” Zahra meringis, jempol kakinya yang berbalut kaos kaki, terasa berdenyut. Ia menyesal menanggalkan sepatu dan hanya menggunakan sendal jepit milik Sarah. “Kayaknya kaki kamu berdarah. Coba di lepas dulu kaos kakinya.” Zahra menuruti perkataan Kelvin, ia membuka kaus kakinya. “Kaki kamu berdarah. Biar saya obat. Kamu tunggu di sini dulu sebentar.” “Tidak perlu, Kel—” Kelvin sudah pergi berlari sebelum Zahra menyelesaikan perkataannya. Kelvin tidak dapat menghilangkan atau menggunakannya kekuatannya karena banyak orang di sana. Zahra mencoba mengabaikan jempolnya dan memilih berjalan, sembari menunggu Kelvin kembali. Kelvin datang membawa sesuatu di dalam botol kaca, berukuran sedang yang di tutup dengan daun kering yang digulung agar isi serbuk berwarna kuning tidak keluar dari botol kaca itu. “Sini biar saya obati.” Kelvin langsung jongkok di hadapan Zahra, tangannya baru saja hendak terjulur ke jempol Zahra. “Tidak perlu.” Zahra langsung menjauhkan kakinya dari jangkauan tangan Kelvin. Kelvin mendongak, bingung. “Biar saya saja yang olesin sendiri. Hem, bolehkan? “ “Hem, boleh.” Kelvin bangkit, memberi botol itu pada Zahra. “Ini obat khusus yang waktu itu saya janjikan.” “Bissmilah...” Zahra mengoleskan serbuk itu setelah mengatakan hal itu dan tiba-tiba serbuk itu mengkilap, mengeluarkan cahaya kecil yang duduk bersinar satu detik lalu redup kembali. Dan secara ajaib luka di jempol kaki Zahra langsung menghilang. “Masyaallah, lukanya hilang.” Zahra takjub. Kelvin tersenyum. Ia tidak kalah terkejutnya sama seperti Zahra. “Biasanya obat itu hanya beraksi setelah satu hari, tapi kali ini cuman dalam hitungan detik. Apa yang kamu ucapkan sebelum mengoleskannya? Apa kamu membaca mantra? “ Zahra terkekeh. “Mantra? Apa kamu pikir saya penyihir? “ Kelvin menggeleng. “Apa karena saya mengucap bismillah sebelum mengoleskan serbuk ini ?” “Iyakah? Jadi itu rahasianya? “ Zahra mengangguk pelan. “Saya rasa begitu.” “Bagus. Kamu juga bisa mengoleskan serbuk itu di luka bekas cakaran Stefani.” “Kamu benar.” Zahra mengoleskan serbuk itu dan tiga luka goresan di tangannya seketika hilang. “Alhamdulillah hilang.” “Bawalah obat ini juga untuk Maryam.” “Benarkah? Apa kamu tidak membutuhkannya? “ “Percuma, karena obat itu hanya digunakan orang yang beriman.” “Maryam, pasti senang mendapat serbuk ini.” “Tapi, jangan berikan serbuk ini saat, dia sedang terjaga. Berikan saat dia tidur.” “Iya, kamu benar. Maryam bisa kaget jika serbuk ini tiba-tiba menghilangkan lukanya dalam sekejap.” Keduanya sudah sampai di belakang panggung, semua orang sudah sibuk dengan dekor di panggung. Ada sebagian yang melakukan latihan sebelum mulai acara. “Zahr, ayo siap-siap. Bu Prity sudah meminta semua pemeran untuk mengganti kostum.” Sarah menghampiri Zahra. Gadis itu sudah menata rambutnya ala-ala gadis desa sesuai perannya sebagai teman princess muslimah. “Iya baiklah.” “Oh iya, Kelvin, jas dan kostum kamu ada di Ilham,” kata Sarah. “Ilham tadi ada di ruang seni.” “Iya.” . . “Suaramu sangat bagus.” “Terima kasih.” “Apa saya boleh duduk di sini? “ “Duduk saja.” “Apa perasaanmu saat sedang membaca tilawah tadi? “ “Memangnya kenapa? “ “Untuk pertama kalinya saya bisa mendengar bacaan itu. Saya sangat suka.” “Semua orang pasti suka. Suara saya memang sangat bagus. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Al-Qur’an yang aku bacakan akan makin indah karena suaraku.” “Kamu benar.” Kelvin tersenyum lebar. “Saya tidak terbakar karena kamu.” *** Zahra sedang mengganti kostum, Stefani di ruang sebelah. Zahra melepas mangset yang menutupi punggung tangannya, secara tiba-tiba Stefani langsung membuka tirai penghalang antara mereka. “Kamu menyembuhkan luka itu? “ Mata Stefani membelalak. “Iya.” Zahra tersenyum, simpul. “TIDAK! ITU TIDAK BOLEH! “ teriak Stefani. Zahra kaget. Stefani bergerak maju hendak menyerang Zahra. Zahra langsung menghindar. Stefani terjatuh. “Zahra! “geram Stefani. Ia bangkit, kembali hendak menyerang Zahra. “Zahr, kamu dipanggil—“ Kerly menatap bingung Stefani yang terlihat marah. “Ada apa? “tanya Kerly. “Tidak ada apa-apa,” jawab Zahra cepat. “Kamu bilang tadi aku dipanggil, dipanggil siapa? “ “Oh, hem, kamu dipanggil bu Prity untuk latihan akhir sebelum tampil,” jawab Sarah. “Oke.” “Stefani, kamu juga dipanggil.” “Hem. Kalian duluan saja.” Stefani malah berbalik pergi ke arah yang berbeda. Ia keluar dari gedung, gelap malam langsung menyapanya. “Jadi benar dugaan kita? “ Stefani mengangguk. Sepasang mata itu menyalak tajam. “Cakar itu tidak boleh hilang! “ “Saya tahu, saya akan mengatasi semua ini.” “Dengan cara apa? “ * * Saat di pentas, Stefani yang berperan sebagai penyihir. “Saya akan menyihir kamu!” Stefani menggayungkan tongkatnya pada Zahra lalu seketika lampu di gedung mati. Semua orang hening, mengira itu bagian dari pertunjukkan. Kelvin segera berlari ke atas panggung, dia tahu Stefani akan berbuat sesuatu. Zahra kebingungan, ia tidak bisa melihat apa pun di kegelapan. Zahra mencoba meraba jalan untuk turun dari panggung. Tiba-tiba lampu kembali menyala bersamaan dengan benda yang melayang jatuh tepat di tempat Zahra berdiri. Zahra tidak sadar, matanya silau terkenal flash lampu panggung. “Zahra, awas! “teriakan itu bersamaan dengan tubuh Zahra yang di dorong dan bunyi ‘prak', benda jatuh tepat di tempat Zahra berdiri dua detik yang lalu. Zahra kaget, dia mengamati apa yang sebenarnya terjadi. Kelvin langsung mendekati Zahra yang terlihat masih kaget. Stefani dengan cepat mencangkar pergelangan tangan Zarah. Kelvin tidak berhasil menghalangi Stefani. Darah keluar dari tangan Zarah. “Saya tidak akan membiarkan luka itu sembuh, Zahr! “bisik Stefani. Semua orang mengira hal itu hanya akting dan improvisasi yang terlihat sangat real. “Stefani....” Kelvin mengeram. “Kelvin, tenang, kembali ke drama. Semua orang tidak sadar apa yang terjadi,” bisik Zahra. Kelvin menahan amarahnya. “Tidak akan saya biarkan bahaya mencelakai kamu. Itu bukti cinta saya, cinta yang tidak akan pernah bersatu. Saya sadar diri, cintamu membuat saya mengerti, memiliki bukan tujuan dari mencintai, mungkin saja semesta mempertemukan kita agar saya bisa jadi yang beruntung untuk menjagamu. Itu sudah cukup bagi saya.” Zahra terkesiap. Itu bukan dialog akhir. Kelvin tidak mengatakan itu sesuai dialog. “Bagaimana bisa, saya mencintai hamba dari Tuhan yang saya ingkari? “ “Kembalilah pada Sang pencipta, kembalilah ke jalan yang lurus.” Zahra terbius suasana, hingga ia mengeluarkan apa yang ada di hati kecilnya. “Guide me! “ “Insyallah, with you.” Zahra ini diluar dialog! —batin Zahra bersuara menyadarkan Zahra. “Apa Tuhanmu mau menerima saya, yang sangat mencintai hambanya? “ “Selamat tinggal. Saya senang jika kamu sudah mengerti segalanya. Kembalilah ke alammu.” Zahra kembali ke dialog asli. Ia melihat Kelvin nampak menghela nafas panjang. Ada apa dengan Kelvin—batin Zahra terus suara. Apa dia lupa dialog? Zahra memberi kode pada Kelvin agar menjawab dialog sesuai naskah. Kelvin mengerti. “Baiklah. Sampai bertemu lagi.” Suara Kelvin gemetar. Zahra tidak sengaja melihat Kelvin menghapus dengan kasar sesuatu dari wajahnya. Ia lalu pura-pura menghilang dari panggung sesuai rencana. Kerly muncul kembali membacakan narasi. Tirai ditutup. Zahra dan Stefani berada di belakang panggung. “Stefani! Kamu sudah kelewatan batas! “Kelvin mengeram, ia hendak menerkam Stefani. Zahra menghentikan aksinya itu. “Kalian ini semua orang tahu yang sebenarnya dengan bertengkar di sini? “ Kelvin meredam kemarahannya, tangannya yang terkepal kembali terbuka. Ia membuang pandangan kesembarang arah. “Stefani sudah membuat saya sangat marah! Dia melukaimu lagi! “ Zahra melihat punggung tangannya yang kembali memperlihatkan tiga cakaran dari Stefani. “Kali ini saya tidak akan memaafkan dia! “ Mata Kelvin kembali menyalak tajam. “Tidak masalah, Kelvin. Serbuk obat dari kamu masih banyak, saya bisa menggunakannya untuk menyembuhkan ini. Jangan bertengkar di sini! “ “Dia telah melukaimu, Zahr! Saya tidak akan terima.” “Lalu apa yang akan kamu lakukan, prince vampire terhormat? Saya tidak pernah takut padamu sedikit pun! “ rahang Stefani mengeras. “Kamu—“ “Apa!!! Dulu kamu memang bisa mengatur saya ! Tapi sekarang tidak lagi!” “STEF—“ “BERHENTI! “ pekik Zahra, lantang tanpa sadar. Beruntung suara teriakan Zahra tersamarkan oleh suara musik yang sekarang mengalun di panggung. “Lebih baik kalian kembali ke dunia kalian. Dunia jin! Ini bukan tempat kalian! Pergilah dari sini! “ “Apa kalimat itu juga untuk saya? Saya yang selama ini ingin selalu menjagamu? ” Hening. “Zahr, Kelvin selamat ya, akting kalian dipuji semua orang,” ucap Kerly yang tiba-tiba muncul dari balik tirai, menghentikan perdebatan ketiganya, namun suasana tegang masih terasa di sana, Kerly tidak menyadari hal itu. “Tapi kalian improvisasinya keren banget deh, tangan Lo lukanya kelihatan natural gitu. Terus kekuatan Stefani kayak nyata banget. Awalnya gue kira cerita ini bakal cringe abis, ternyata sebagai itu. Tadi juga ada yang video biar bisa di unggah ke sosial media.” . . Drama selesai. Semua orang seketika langsung memberikan tepukan ramai untuk mereka. Semua pemeran, di ajak menaiki panggung untuk perpisahan. “Di mana Kelvin? “ tanya Zahra bingung. “Gak liat. Terakhir sama kamukan, Zahr,” jawab Sarah. “Iya tadi, tapi....” Zahra teringat perkataan tadi. “Ayo, naik ke panggung.” Sarah menggandeng lengan Zahra. Di mana Kelvin? Mata Zahra malah sibuk mencari ke sana- ke sini keberadaan Kelvin, tapi Zahra tidak melihat Kelvin di mana-mana. Mungkin dia ada di kamar mandi—batin Zahra, mencoba menenangkan hatinya. Positif thinking, gak mungkin dia pergikan? Karena aku usir tadi? Bukannya sudah biasa aku ngusir ? Dia gak akan marah dan pergikan? Terus kenapa kalo dia pergi? Bukannya itu yang aku inginkan dari dulu? Mereka turun setelah memberikan salam perpisahan yang di sambut tepuk meriah dan sorak gemuruh. Saat turun, Zahra dan Stefani langsung dikerumuni. “Zahr, foto bareng yuk.” “Kak, boleh Foto bareng gak? “ “Lukanya kayak asli ya, Kak.” “Deg-degan gak sih kak, dialog bareng kak Kelvin yang tampan banget itu? “ “Kak Stefani cantik banget deh, gak pakai make up lagi.” “Akting kakak keren banget! Ekspresi wajah kamu, bagus banget.” “Kita minta fotonya ya, kak Fani? “ “Kak, foto.. “ “Kak, aku ya.” “Eh, ngantri dong! “ “Tapi gue duluan! “ Keduanya terus diburu foto hampir satu jam lebih dan belum juga selesai, jika saja Sarah tidak membubarkan mereka. “Eh, udah dulu ya, Zahra sama Stefani dipanggil bu Prity.” “Bentar dulu dong kak, sekali lagi, mumpung kak Zahra sama kak Stefani masih pakai kostum,” kekeh mereka. “Gak bisa! Udah sekarang kalian bubar dari sini!” usir Sarah. “Heran deh, semua orang sibuk banget sih, mau foto aja susah.” “Sar, kamu liat Kelvin? “tanya Zahra. “Gak. Gue kira bareng kalian.” “Setelah pentas tadi dia langsung pergi.” “Mungkin dia kamar mandi kali Zahr.” “Hem.” “Eh, Stefani, Lo. Mau ke mana? Bu Pritty minta kita semua kumpul ke ruang seni.” Sarah mencegat langkah Stefani. Stefani mendengus tidak suka. “Saya akan menyusul. Kalian pergi saja duluan! “ “Kok ngegas sih?! Biasa aja dong!” “Saya mau pergi, bisa minggir gak?!” Sarah memutar bola mata, kesal. Lalu memberikan jalan untuk Stefani lewat. “Tuh orang kenapa deh?! “ “Hem, kita langsung ke ruangan seni aja.” *** “Kak, mau ke mana? “tanya Maryam di ambang pintu. “Mau jalan ke mall ya ?” “Gak. Mau ke rumah pohon.” “Hem, mau ngapain? “ “Main aja.” Zahra meraih tas selempang yang akan dia bawa, Zahra merogoh tas sekolah mengambil sesuatu di sana lalu tidak sengaja ia malah mengeluarkan botol serbuk obat yang waktu itu diberikan Kelvin. Zahra baru ingat, ia lupa mengoleskan serbuk itu diluka Maryam semalam. “Apa itu, Kak? “ “Hah? Hem, ini, bukan apa-apa.” Zahra spontan memasukkan botol obat itu ke dalam tas selempang. “Mau pergi sekarang, Kak? “ “Hem, iya. Mau ikut? “ “Kalo ke mall sih mau, tapi kalo ke rumah pohon, malas ah panas.” “Ya udah, kakak pergi ya. Nanti bilangin ke bulek ya.” “Sip!” “Kakak pergi dulu, assalamualaikum.” “Waalaikumsalam. Eh, kak entar pas pulang beli jajanan ya...” Maryam cengengesan. “Dah, Kak. Hati-hati di jalan.” Zahra mengeratkan jaketnya, tidak ia sangka ternyata di luar matahari sangat terik bersinar. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ada pesan masuk dari Amina. Afwan Zahra, Kakak gak bisa datang ke rumah pohon. Di pondok, kekurangan tenaga pengajar TPA. Kamu sudah pergi? Gimana kalo kamu ke pondok saja, membantu mengajar. Zahra menimbang-nimbang, dia sudah berada setengah jalan untuk kembali pulang ke rumah. Iya Kak. Zahra kembali melanjutkan langkahnya, ke arah pondok. “Alhamdulillah, kamu datang, Zahr.” Amina menyambut Zahra. “Wah, ramai ya, Kak.” “Iya, biasanya ada dua Ustadzah yang ngajar, tapi hari ini mereka lagi ada urusan di luar pondok.” “Santri di sini juga gak bisa bantu, soalnya lagi ada mumtaz bahasa. Kemungkinan mereka bisa bantu setelah selesai. Tapi untunglah kamu mau datang. Kamu ngajar bagian sana ya.” “Iya.” “Tas kamu taruh di ruangan itu aja.” Amina menunjukkan sebuah ruang kecil yang berada di sudut ruangan. “Itu ruangan khusus buat taruh tas buat pengajar.” Setelahnya Zahra dan Amina mengajar. Zahra mengajar iqro sedangkan Amina mengajar bagian Al-Qur’an. “Kak itu apa? Kenapa luka di tangan kakak warna kuning? “ seorang anak kecil menunjuk punggung telapak tangan Zahra. Zahra baru sadar lengan bajunya tidak sengaja tersingkap hingga punggung tangannya terlihat. “Aku baru liat ada luka warna kuning. Darah kakak kuning ya? Aku pernah dengar ada yang darah biru, ada juga yang darah manis. Emang darah itu sejenis jus ya kak? Kenapa darah aku warna nya merah dan gak manis, kenapa darah aku gak bisa sekeren mereka? “ kata anak kecil itu lugu. “Darah biru, darah manis itu cuman istilah. Semua darah itu merah, yang artinya sehat.” Zahra bangkit, ia berjalan menuju ruangan kecil untuk mengambil tas selempang yang ia letakan di dekat tumpukan meja rendah. Zahra mengeluarkan obat serbuk yang Kelvin berikan, ia baru hendak mengoleskannya di telapak tangan, belum sempat mengoleskan serbuk ke tangganya, tangan Zahra disenggol hingga serbuk itu tumpah berserakan di lantai. “Ya ampun, Zah. Maaf,” kata Amina, “Kakak, tadi gak liat karena terlalu fokus bawa minum, takut tumpah.” “Gak masalah, Kak. Aku bisa masuki lagi ke dalam botol.” “Biar kakak bantu.” Amina menunduk, spontan air yang dia bawa jatuh mengenai serbuk. “Astagfirullah! “ Zahra kaget. Semua serbuk seketika hilang terkena air. “Astagfirullah, Zahr. Kakak sudah buat dua kesalahan.” Zahra sedih. Ia hanya berhasil menyelamatkan sedikit serbuk obat, dan hanya cukup untuk Maryam saja. “Zahr, maaf....” Amina menunduk dalam. “Gak masalah, Kak.” “Beberan kamu gak marah? “ “Gak, Kak.” Amina tersenyum. “Ayo ngajar lagi, Kak. Kasihan anak-anak nunggu.” Zahra memasukan serbuk itu kembali ke dalam tasnya. Amina memperhatikan serbuk itu, akan aku ambil serbuk itu, batin Amina. “Ayo, Kak.” “Iya.” Keduanya kembali mengajar. “Astagfirullah, aku lupa ninggalin pulpen di dalam tas.” Zahra kembali ke tempat tasnya berada. Langkahnya terhenti saat ternyata Amina ada di sana, sedang membuka tasnya. “Apa yang Kakak cari di tasku? “ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD