Kembali

2234 Words
Zahra tersenyum sumringah, besok dia akan kembali ke sekolah. Banyak hal dari sekolah yang sangat Zahra rindukan. Dan memulai sekolah, Zahra artikan seperti memulai kembali hidup normalnya. Dia akan kembali menjadi remaja berusia 17 tahun yang masih sibuk belajar. Zahra rindu kata semua akan baik-baik saja. Tapi yahh... Zahra sadar bahwa hidup di dunia sama halnya dengan ujian. “Senyum terus nih yee.. Segitu rindunya kah sama sekolah? “ goda Maryam yang berada di sebelah Zahra, gadis itu memilih berdiam diri di dalam kamar Zahra selagi menunggu maskernya kering. Keduanya sedang menghabiskan waktu maskeran time. “Tuh, masker kakak retak. Kelebaran senyum tuh.” Maryam sibuk mengibas-ngibaskan tangannya di wajah, membantu proses pengeringan masker di wajahnya. “Aku gak sabar mau sekolah besok,” sahut Zahra, masih dengan senyum lebarnya. “He ho’oh. Sebahagiannya aja kak.” Maryam bangkit dari tidurnya. Gadis itu bergerak ke rak buku milik Zahra. “Kapan buku-buku ini di bawa, Kak? Kakak, pulang ke rumah?” “Gak. Itu dari polisi. Bulek, minta diambilkan buku-buku milik abi di gudang.” “Oh,” Maryam manggut-manggut. Tangannya lalu meraih sebuah buku. Berjudul ‘dunia itu ujian’. “Ini Paman yang buat, ya, Kak?” “Iya.” “Aku pinjam ya, Kak.” “Iya.” “Kak, lagi mikirin apa sih? Kayak serius banget? “ “Hem, pernah gak kamu kepikiran tentang kenapa kita bisa dipilih jadi penghuni bumi? Maksudnya, dunia inikan ujian, dan itu artinya kita ini peserta ujian kan?” “Hem, iya, terus? “ “Pernah gak kamu kepikiran, kenapa aku gak jadi bidadari aja di surga, kenapa turun ke dunia? “ “Hem, pernah sih, Kak. Dulu.” “Poinnya di situ. Manusia yang beriman derajatnya lebih tinggi dibanding para bidadari di surga, right? “ “Hem, ho’oh...” “Kamu pernah kepikiran perumpamaan ini gak. Nih ya, dunia itu ujian. Dan Allah memilih kita buat jadi penghuni dunia. Itu artinya kita peserta ujian, iyakan? Bisanya orang yang diuji merupakan orang-orang yang sudah siap, iya gak?” “Hanya orang-orang yang sudah siap yang bisa di uji.” Zahra terdiam sejenak. “Dan seluruh manusia yang turun ke dunia, itu artinya sudah siap bukan? Apa mungkin, di surga kita, hem, maksudnya orang-orang yang di turunkan di dunia ini, merupakan orang-orang terpilih yang tingkat keimanannya sudah matang dan siap menerima ujian dari Allah SWT. Hem Gimana ya jelasinya mengenai apa yang aku pikirkan.” Zahra mengambil kertas dan membuat gambar seadanya. “Coba liat. Kakak bakal buat ilustrasi mengenai pemikiran kakak.” “ Ya Allah, hamba telah siap menjadi khalifah di muka bumi.” “Kamu yakin wahai hambaku? Di dunia merupakan tempatnya ujian. Bahkan gunung-gunung pun tidak sanggup memikul tugas itu.” “Insyallah, hamba sanggup ya Allah. Di dunia hamba akan tetap beribadah dan mengesakan Mu.” “Dan kakak pernah dengar katanya, sebelum lahir ke dunia, manusia memiliki perjanjian dengan Allah, manusia mengakui Allah sebagai tuhannya. Terus saat di dunia, manusia melupakan semua janji itu. Dan itu merupakan ujian pertama. Coba bayangin kalo manusia mengingat perjanjian itu, pasti tidak akan ada upaya manusia untuk mencari kebenaran mengenai Allah SWT.” “Jadi, maksudnya, Kak ?” “Kita terlalu percaya diri, akan keimanan kita di surga. Kita merasa bahwa, akan tetap beriman kepada Allah meski godaan di dunia begitu besar.” “Hem...” “Dan satu lagi. Kenapa Allah, membiarkan hambanya lahir di keluarga yang bukan islam?” “Kenapa aku jadi kepikiran, mungkin hamba ini saat di surga memiliki keimanan di atas rata-rata, maksudnya keimanannya tuh yang paling best lah.. Makanya ujiannya lebih besar. Ujian, mencari kebenaran. “ “Yap!! Bisa jadi,” sahut Zahra. Maryam tersenyum sumringah. “Ternyata otak aku konek juga bahas yang beginian, ya, kak... Heheheh... “ “Tapi itu semua hanyalah pemikiran kita sebagai manusia yang akal dan pengetahuannya terbatas. Semua kebenaran hanya Allah SWT yang tahu.” “Wallahualambisallah....,” ucap keduanya bersamaan. “Lagi bahas apa sih?” bulek tiba-tiba muncul dari balik pintu yang setengah terbuka. “Bahas something, Ma...,” Maryam cengar-cengir. “Ya udah, kalo udah selesai, buruan cuci muka dan tidur. Udah malam, besok kalian harus sekolah pagi kan...” “Siap, Ma.” Maryam memberikan hormat ala-ala tentara. “Ya udah, tidur ya.. “ “Iya Bulek.” “Ma, Maryam tidur di kamar, kak Zahra ya, ma...” “Iya.” “Tumben mau tidur sama kakak? “ “Males ke kamar. Mager. Mau langsung sleep abis cuci muka.” “Dasar kaum mager.” “Kisanak, sebaiknya anda berkaca sebelum mengatakan hal itu.” Maryam melemparkan batal guling pada Zahra. Zahra mengelak. Sasaran Maryam berhasil selamat. Zahra tidak ingin kalah. Zahra balik melemparkan guling itu, terjadi perang guling di kamar berukuran sedang itu. Beberapa helai kapas dari dalam guling, menyembul keluar, memeriahkan suasana perang itu. “Huhuhu, gak kena, lwwwwkkk.” Maryam menjulurkan lidahnya. “Kena,” seru Zahra girang. Maryam tidak memperhatikan pergerakan tangan Zahra. Satu timpukan bantal guling sukses mengenai wajah Maryam. Wajah Maryam yang tadi sumringah mendadak suram. “Tidak akan kubiarkan kisanak .....” Maryam meraih bantal guling, ia memegang erat bantal guling dan dengan kekuatan sepenuhnya, Maryam melayangkan bantal itu. Boommm.... “Au...,” Zahra meringis. Bukan wajahnya yang terkena, melainkan punggung tangan yang secara refleks Zahra jadikan tameng. Dan bantal itu menghantam punggung tangan Azzura yang terluka karena Stefani waktu itu. “Ya Allah, maaf, Kak. Kena lukanya ya? Ya Allah...” Maryam buru-buru lari mengambil kotak P3K di atas nakas. “Sini Kak, biar aku obatin lukanya.” “Hem, gak perlu, Yam. Gak kenapa-napa kok, cuman nyeri aja tadi.” “Beneran, Kak? “ “Iya. Buktinya aja gak ada darah kan? “ “Eh, iya ya... btw, luka ini udah beberapa hari yang lalu kan, Kak ? Kok gak kering-kering sih? Terus kenapa luka ini gak kayak goresan karena jatuh, tapi lebih mirip cakaran hewan. Kakak, yakin luka ini karena jatuh? “ **** Zahra menatap dirinya di cermin. Ia tersenyum melihat seragam sekolah yang sudah hampir sebulan ia tidak kenakan. Seragam ini, seragam lama yang umi jahitkan untuk Zahra. Sebenarnya bulek, ingin membelikan Zahra seragam baru. Bulek ingin, Zahra benar-benar memulai kembali kehidupan normal, dan bulek beranggapan baju baru juga akan membawa suasana baru untuk Zahra. Tapi Zahra menolak. Baginya masalah yang terjadi di masa lalu bukanlah hal yang ingin dia hilangkan. Jika masa lalu mu duri, makan biarkan dia ada. Karena tidak selamanya duri itu menusuk. Adakalanya duri juga melindungi. Abi selalu mengatakan hal itu pada Zahra. Apa pun yang terjadi di masa lalu, ia tidak boleh berusaha melupakan, tapi ia harus menyembuhkannya dan mengambil pelajaran atas semua itu. Selain itu, seragam ini buatan tangan uminya dengan mengenakannya, Zahra selalu merasa seolah dipeluk oleh umi. Zahra memejamkan matanya, ia mengirimkan Al-Fatiah untuk kedua orang tuanya, di sambung doa singkat yang Zahra ucapkan dalam hati—ya Allah, lapangan kubur ke dua orang tua hamba, terangkan kubur mereka, terima segala amal ibadah mereka dan ampuni segala dosa mereka. Sesungguhnya Engkau Maha pengasih lagi Maha penyayang.” “Aamiin.” Zahra menarik nafas panjang menguatkan hatinya dan menampilkan senyum yang sebenarnya enggan untuk terbit. “Bissmillah...,” liriknya pelan. Meski wajahnya tersenyum, diam-diam selimut kesedihan masih membungkus hati gadis itu. “Oy, Kak. Dah siap belum ? Kuylah, berangkat.” “Iya. Ayo....” “Uhhh, senyumnya lebar banget. Hati-hati entar ada yang kesem-sem liat senyum kakak yang cetar membahana, ula ula tangga...” “Apaan sih. Gak jelas.” Zahra menanggapi godaan Maryam, dengan langsung menggandeng tangan Maryam yang memiliki tinggi 162 cm. “Ma, kita pergi ya.” Maryam menyalami tangan bulek. “Zahra juga ya, Bulek.” Zahra menyalimi tangan bulek juga. “Hati-hati di jalan ya,” sahut bulek yang nampak sibuk dengan sesuatu di atas meja makan. “Eh, kak.. “ “Kenapa? “ “Eh, tunggu dulu.” Suara bulek menginterupsi keduanya. Maryam dan Zahra berhenti melangkah, bulek berjalan ke arah mereka dengan membawa dua kotak makan di tangannya. “Bawa juga makan ini buat makan siang kalian, ya.” “Makasih, Mama tersayang...” Maryam langsung mengambil satu kotak makan dan memasukkannya ke dalam tas . “Makasih Bulek.” Zahra melakukan hal yang sama. “Jangan makan telat ya.” “Iya bulek,” sahut Zahra dan Maryam kompak. “Ya udah, kalian boleh pergi sekarang.” “Bye Ma, Assalamualaikum..” “Waalaikumsalam.” Bulek tersenyum menatap punggung keduanya yang mulai menjauh dari pintu rumah. “Tadi mau ngomong apa? “tanya Zahra, di sela perjalanan mereka. “Kak, jangan lupa ya.... “ “Lupa apa? Perasaan kamu gak nitip apa-apa.” “Jangan lupa nafas ya, dunia sepi kalo gak ada Kakak.” Zahra refleks tertawa. “Idih nih anak, kebanyakan nonton drakor nih. Gilanya gak ilang-ilang.” “Etdah Bang. Aing dikata gila.” Alis Maryam menukik. “Percaya kok, percaya. Orang waras biasanya ngalah sih.” “Idih...” Maryam geleng-geleng hiperbola. “Anak se-cute dan seunyu ini dibilang gila.. Apa kata dunia.... Ula-ula tangga.” “Apaan sih dek, ula-ula, gak jelas.” “Ini ciri khas aku tahu, Kak. Biar orang mudah ingat aku. Iri...? Bilang bos.. papale ...papale... pale....” Maryam mulai mempraktikkan apa yang tonton di beranda instagramnya. Joget ala anak zaman now. “Apaan sih, dek. Malu tahu entar di liat orang.” “Iri...? bilang bos... “ Mulai lagi. Tanpa aba-aba, Zahra menempelkan tangannya di dahi Maryam, membuat Maryam spontan berhenti bergerak dan mematung seketika. “Ngapain sih, Kak? “ bingung Maryam. “Hem...,” Zahra bergumam pelan. “Kenapa kak? “ Zahra tidak menjawab dan malah menempelkan tangan kirinya di ketiaknya. “Pantes aja,” gumam Zahra, membuat Maryam makin bingung. “Lo, ngapain sih, Kak? “ “Badan kamu panasnya setara sama ketet aku. Pantes agak-agak.” Maryam terkekeh. “Apaan sih Kak, lawakan loh garing, segaring-garingnya kek Kerupuk. Ula-ula tangga.” “Masa bodoh. Yang penting Lo berhenti joget gak jelas kayak tadi. Ingat Maryam, wanita itu aurat. Harus hati-hati jaga aurat. Coba tadi lawan jenis liat Lo joget-joget gitu... apa gak dosa? Gimana kalo ternyata itu memacing nafsu dia, terus dia melampiaskan ke orang lain, terus... “ “Idih serem banget perkataan Lo, Kak. Amit-amit cabang kebo dah... “ sela Maryam. Maryam lebay mode on. Gadis itu mengetuk kepalanya lalu mengetuk ke udara. Kelakuan orang zaman dahulu kala. Sepertinya Maryam ini manusia yang berasal dari abad 10 masehi, batin Zahra. “Ya Allah, Maryam gak maksud apa-apa kok... Ampuni Maryam ya, ya Allah... “ Maryam menengadah wajahnya ke langit. Memasang wajah bersalah. “Makanya jangan gitu lagi. Muslimah itu harus seperti mutiara di dalam laut, kilauannya terjaga dan kemurniannya tersimpan. Dan muslimah itu harus seperti mawar di ujung tebing, bukan mawar di taman yang bisa siapa saja memetiknya. Ingat.” “Wow,” sahut Maryam. Bukan fokus pada nasehat Zahra, Maryam malah fokus ke yang lain. “Itu perkataan paman kan, Kak? Di buku, dunia adalah ujian. Aku baca bagian itu. “ Zahra mengangguk. “Iya.” “Kakak ingat semua perkataan dan tulisan paman? “ “Hem, gak semua. Sebagian mungkin.” “Kapasitas otak Lo, berapa sih Kak? Kok mudah banget ingat kata-kata sepanjang itu. Gue aja ngahafalin rumus Limit aja, gak-gak hafal-hafal.” “Nasehat tuh, bukan dihafal tapi di terapkan dan ditanamkan di hati, biar lengket. Gitu, Maymuna.” “Ouch... Ula-ula tangga.” “Berhenti deh bilang gitu. Gue geli tahu...” “Iri...? Bi—“ Zahra mendelik. Maryam malah tersenyum lebar. “Iya, Kak. Gak mulai lagi,” kata Maryam seraya nyengir kuda. Keduanya lalu mengobrol ringan hingga sampai ke sekolah. Mereka berpisah, setelah melewati lorong kelas satu. Maryam bebelok ke sana, menuju kelasnya. Sedangkan Zahra terus berjalan hingga sampai di lorong kelas dua. XI IPS 2. Sebenarnya banyak yang tidak mengenal Zahra sebagai anak IPS, sebagian orang yang mengenal Zahra, mereka pikir manusia tipe seperti Zahra pastinya anak IPA. Zahra yang gak banyak ulah, baju rapi, mengikuti semua tata tertib sekolah, bahwa untuk detail sepatu pun sangat Zahra perhatikan. Pihak sekolah tidak memtorerin sepatu yang berlist putih dan Zahra sampai rela sepatunya di semir hitam karena patuh terhadapan peraturan sekolah. Dari luar, Zahra memang bukan definisi yang sering orang sematkan untuk anak IPS. Tapi jauh dari itu, Zahra merasa dirinya ada dalam IPS. Bukan soal gaul, pakaian atau apalah itu. IPS ya IPS, bukan semua lebel itu. Entah kenapa jurusan IPS sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Anggapan bahwa anak-anak IPS adalah anak ‘buangan' atau tidak lebih pintar dari anak IPA, membuat semua orang seolah berbondong-bodong mengejar IPA dan menjauhkan anak mereka dari jurusan IPS. “IPS tuh jurusannya terbatas. Kalo kamu IPS kamu gak akan bisa ambil banyak jurusan. Gak bisa lintas jurusan juga.” “Anak IPS tuh bandel-bandel, urakan , berisik dan GAK PINTAR.” “Nanti kamu jangan masuk jurusan IPS ya, kamu harus IPA pokoknya. Papa malu kalo kamu masuk IPS.” “IPS itu tempatnya anak-anak nakal kumpul. Anak pintar adanya di IPA, gak ada di IPS.” “Ihh kok IPS, sih... Kamu pasti gak pintar matematika ya? “ Dan masih banyak lagi stereotip yang tersemat dan mengakar di kepala sebagian orang. Zahra tidak ambil pusing soal itu. Baginya hidup seperti membangun rumah untuk dirinya sendiri, dia adalah orang yang akan tinggal di dalamnya, bukan orang lain. Orang mungkin akan datang sekali-kali, hanya untuk bertamu. Jadi buat apa repot mengikuti kehendak orang lain? Toh, saat hidup gak baik-baik aja, mereka hanya akan menjadi penonton yang hanya bisa memberi sorak sebagai bentuk iba atau membantu sebisanya. Dan sisanya, kita harus berusaha sendiri dengan usaha dan diiringgi doa tentunya. Zahra berhenti tepat di depan kelas bertuliskan XI IPS 2. Ia menatap saksama kelas itu. Beberapa murid sudah banyak memenuhi kelas. Seperti biasanya, kelas selalu terdengar bising oleh kegaduhan yang mereka buat. Entah itu nyanyi gak jelas, suara ketawa di pagi hari, atau musisi dadak yang lahir dengan meja sebagai gedang. Semua itu sukses menimbulkan suara gaduh yang tentunya menarik perhatian gendang telinga para guru, terutama guru BK. Beruntung pagi ini guru BK, cuti dari kultum atau mungkin lelah memberikan wejangan pagi di kelas ini, seperti sebelum bel berbunyi. Keadaan ini, sangat berbalik dengan kelas di lorong IPA. Mereka terlihat rapi dan tenang. Seperti anak ayam yang berbaris patuh di belakang ekor induknya. Zahra terkekeh pelan. Bagaimana pun kelasnya, dia tetap bangga menjadi anak IPS. Zahra melangkah masuk ke dalam kelas. Dan secara spontan semua menjadi hening, berawal dari gedang dadakan yang seketika berhenti, semua seolah terhipnotis dan diam di tempat. Melonggo, melihat Zahra. Seolah Zahra, merupakan salah satu tujuh keajaiban dunia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD