Mas Kaca

1003 Words
Zahra berjalan gontai, menyusurin jalan trotoar, yang terlihat sepi. Semua orang memenuhi jalan raya dengan kendara bermotor, sehingga trotoar khusus penjalan sangat-sangat luas. Mungkin kalo Zahra berminat membangun taman mengaji, bisa saja. Hem mungkin... entah kenapa Zahra malah berpikir seperti itu. Zahra tidak tahu mau ke mana langkah kakinya membawa. Ia hanya ingin menghirup udara segar. Zahra sumpek seharian di dalam rumah layaknya orang pesakit, karena itu Zahra memutuskan untuk keluar. Tapi Sebelum itu Zahra meminta izin terlebih dahulu pada bulek melalui sambungan telepon. Bulek mengizinkan, asal Zahra tidak pergi ke tempat yang sepi dan tidak lebih dari satu jam di luar. “Hem....” Zahra bergumam pelan. Ia memutar otak untuk melakukan sesuatu di luar. Dan langkah kakinya membawa ia ke depan sebuah toko. Zahra memutuskan untuk masuk ke dalamnya, mungkin dia akan membeli sesuatu. Kring. Bel pintu berbunyi begitu Zahra masuk. Zahra tersenyum sumringah “Selamat pagi, selamat datang...,” sapa kasir seperti biasanya. Ia tersenyum lebar pada Zahra dan tentu saja Zahra akan membalas senyum hangat itu dengan sedikit canggung lantaran Zahra sedikit malu. Zahra lalu memutar langkahnya ke rak camilan. Ia memilih-milih camilan yang mampu menarik perhatiannya namun sampai ke ujung rak, belum Zahra dapatkan camilan yang pas. Yang dia sukai dan kantongnya sukai. Ada camilan yang ia sukai, tapi kantongnya bilang tidak. Zahra hanya membawa uang seadanya. Zahra berjalan ke rak kecantikan, melihat-lihat beragam skin care yang di pajang. Dan perhatian Zahra tertarik pada masker bengkuang. Zahra jadi teringat Maryam yang suka sekali maskeran. Zahra berjongkok untuk membaca komposisi masker itu. Masker itu berada di rak paling bahwa. “Nanti malam maskeran bareng Maryam, asik kali ya...,” gumam Zahra. Ia mengambil satu bungkus masker bubuk dan refleks Zahra berdiri tiba-tiba, orang yang sedang mengambil sesuatu di rak atas kaget dan benda itu jatuh tepat di kepala Zahra. “Au,” adu Zahra, merasakan kepalanya terkena benda yang cukup membuat ia meringgis. “Maaf....” Zahra menoleh. “Mas, kaca...? “ ujar Zahra spontan. “Itu, kacanya gak saya bawa, Mas. Besok aja saya bawa ya... Mas nya tinggal di mana? Biar nanti saya ba—“ “Tidak perlu,” Pria itu berbalik dan berjalan menjauh dari Zahra. “Mas, jadi kacanya? Eh, Mas, tunggu....” Zahra gibrit, mengikuti langkah pria bertubuh tinggi itu. “Mas, jadi gimana? “ kejar Zahra. “Simpan atau buang, terserah kamu saja.” “Eh, kalo dibuang sayang tahu, Mas. Ya udah, kalo gitu buat saya aja ya, Mas. Masnya ikhlaskan? “ “Jangan panggil saya, Mas. Saya tidak setua itu untuk dipanggil Mas.” “Terus mau saya panggil apa, Mas? “ “Tidak perlu panggil apa-apa. Toh kita mungkin tidak akan bertemu lagi.” “Siapa tahu ketemu lagi, Mas. Kan takdir gak ada yang tahu.” “Saya gak suka tahu. Apalagi gak di goreng." itu joke, seharusnya Zahra tertawa, taoi Zahra hanya melempeng. Pria itu salah melemparkan joke berbobot pada Zahra. Terkadang otak Zahra suka lambat dalam menangkap segalanya dengan cepat. Ya.. hanya terkadang. Pria itu keluar dari toko setelah membayar, bunyi bel terdengar tanda pria itu keluar. lalu tidak lama terdengar kembali bunyi bel, kali ini ada yang masuk. “Oi, Kak. Ngapain kak di sini? “ “Eh, Maryam. Kok dah pulang jam segini? “ tanya Zahra dengan tatapan menyelidik. “Ada rapat guru, Kak. Makanya pulang cepat. Ngapain di sini, Kak? Bukannya istirahat di rumah.” “Aku beli masker bengkuang, entar malem kita maskeran yuk.. “ “Kuylah ..gratis kan? “ Zahra memutar bola matanya, memangnya sejak kapan dia pernah mengambil biaya untuk makhluk bernama Maryam ini. “Sejak kapan sih, aku baik sama kamu.” Zahra tersenyum simpul. “Khusus buat Maryam yang baik hati dan suka menabung, HARUS BAYAR.” Maryam terkekeh. “Kak tahu gak, bagi aku, kakak Zahra tuh kakak yang paling baik, pengertian, lucu dan the bestlah pokoknya.” Maryam tersenyum simpul, menunggunya reaksi Zahra yang sepertinya ingin muntah. “Dek kesambet apa dah? Merinding gue dengarnya,” sahut Zahra. “Hahahahha, mau muntah gak Kak?” Maryam terkekeh. “Alhamdulillah, gak.” “Eh, padahal aku mau beliin kakak es cream kalo seandainya kak mau muntah.” “Eh serius.. Kuy lah.” “No. Big No.. “ “Idih..” “Tiket es creamnya udah abis. Nih makan permen aja, free dari Maryam yang baik hati dan tidak sombong.” “Permen apa nih? “ “Permen penumbuh otak, Kak.” “Ha? Serius? “ “Percaya Kak? “ “Gak lah.” “Kakak masih normal berarti.” “Apaan sih, gaje banget.” “Eh, emang dari dulu. Baru tahu ya....” ‘Tahu' tunggu Zahra jadi ingat perkataan pria tadi. “ Saya gak suka tahu.” Zahra terkekeh. “Idih, kenapa ketawa tiba-tiba, Kak? ” Maryam geleng-geleng dramatis. “Ckckckc... Mana masih muda lagi.” “ Saya gak suka tahu, apalagi gak di goreng. Kalimatnya lucu kan ya.. “sahut Zahra disela tawanya. “Terus....? “ Maryam memutar otak untuk mencari titik lucu dari kalimat itu. “Terserah deh Kak. Sebahagianya, Lo aja, Kak. Gue akan tetap berjalan sampai ke rumah. Harapan masih membentang, samudra masih terus bergemuruh dan ombak pantai masih terus menerjang, aku akan terus melangkah, meski batu karang ada di pinggir bibir pantai. Aku akan terus berjalan meski terhalang kerikil kecil. Aku akan terus berjalan—“ “Apa sih, Dek. Kambuh lagi deh penyakitnya.” “Habisnya Kakak sih mancing. Kenapa coba tadi ketawa kek orang paan ja dah..” “Itu loh, Dek. Kakak gak sengaja ketemu mas kaca.” “Ha serius Kak? Terus gimana? “ “Dia udah ikhlasin kacanya.” “Bagus kalo gitu, Kak.” "Right." Setelah mengatakan itu, Zahra memilih diam sembari terus berjalan, beriringan dengan Maryam. “Kak, tumben diam... “ “Hem..., kakak bosen di rumah ihh.” “Ouch... iya sih, bosen banget pasti di rumah seharian.” “Hem. Bantuin kakak dong. Kamu bujuk bulek biar bolehin kakak sekolah sekarang,” pinta Zahra. “Tapi Kak... “ “Kakak udah sehat kok, Yam. Beneran deh. Malah seharian di rumah buat otak kakak berembun. Kakak bisa jadi sakit beneran.” Bukannya iba, Maryam malah terkekeh geli mendengar keluh kesah kakaknya itu. “Hem, ya udah, entar aku kasih testimoni kalo kakak udah sehat, biar bisa sekolah lagi. Oke...” Wajah Zahra seketika menjadi terang. Senyum lebar terbit di wajah Zahra. “Makasih, adikku yang paling... paling... “ “Jangan puji aku, Kak. Aku gak punya sayap buat terbang.” “Yang paling... nyebelin,” sambung Zahra, terkekeh. Maryam menghela nafas lega. Sejak dulu, ia tidak suka pujian. Menurutnya pujian merupakan kata-kata indah yang membuatnya takut. Entahlah kenapa. “Kak, ngerasain sesuatu gak? “ tanya Maryam tiba-tiba. “Ngerasain apa? “ “Di belakang.” “Ha? “ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD