Melakukan Itu

1709 Words
Sudah setengah jam aku menunggu Mas Ardan di sebuah ruangan Nindi. Dia sedang berusaha untuk mengeluarkan sel spermanya untuk keperluan program kami. Aku sedikit khawatir meninggalkannya sendirian di dalam bilik itu, sebab … aku tidak yakin Mas Ardan dapat melakukannya sendiri mengingat dia orang yang susah untuk mengeluarkan cairan itu. Sampai akhirnya aku beranikan diri untuk mengintip ke dalam bilik dan ternyata dia baru selesai melakukannya. Aku buru-buru masuk ke dalam lagi dan duduk di depan Nindi. “Kamu yakin ini bisa berhasil, Nindi?” “Semoga saja. Kita usahakan yang terbaik agar keinginan kalian terpenuhi,” jawab Nindi. Beberapa saat kemudian, Mas Ardan keluar dari bilik itu dengan wajah yang memerah. Dia menatap tajam ke arahku, mungkin karena dia marah. Lalu, dia berikan sampel tabung itu ke Nindi. “Semoga itu cukup.” Sedikit sekali. Pasti akibat dia bermain dengan wanita bernama Selly. “Apa lagi yang dibutuhkan untuk program ini?” tanya Mas Ardan. Nindi pun tersenyum sebelum menjawab. “Sudah itu saja dulu. Nanti kami yang mengusahakan kelanjutannya. Kalian berdua hanya tinggal menunggu informasi dari kami.” Tanpa berpamitan dengan Nindi, Mas Ardan menarik tanganku keluar dari ruangan itu dengan tergesa-gesa. Sampai sakit pergelanganku akibatnya. Lalu, kami masuk ke mobil Mas Ardan. “Kita pulang,” katanya. Aku tidak menyahut. Di pertengahan jalan, aku mulai mempermasalahkan perihal sampel tadi. “Kalau sampai programnya gagal, itu berarti karena kamu yang kasihnya sedikit. Itu juga karena kamu bermain dengan wanita bernama Selly itu. Main berapa ronde kalian?” Mas Ardan melirikku sedikit, kemudian mengalihkan tatapan ke jalanan. Dia tidak menjawabku untuk sesaat. Pasti dia juga paham kalau tadi merupakan permulaan yang salah. “Kenapa kamu begitu penasaran dengan kami semalam? Kamu menginginkannya juga?” tanya Mas Ardan. Pertanyaan yang begitu bodoh untuk diajukan. Aku sungguh muak mendengarnya. “Jangan alihkan pembicaraan! Seharusnya kamu jaga Kesehatan kalau mau aku cepat hamil, jangan banyak main celap-celup ke mana-mana. Tidak bosan kamu ganti wanita?” “Sejauh mana kamu menyelidiku? Kamu tahu siapa saja wanita yang bermain denganku? Hebat sekali, kamu begitu handal menjadi detektif. Kamu penasaran atau cemburu, El?” Mas Ardan menertawaiku. Sungguh senjata makan tuan. Aku jadi menyesal mengatakan hal itu. Beruntung, satu pesan masuk ke dalam ponselku. Axel: Oke. Kita ketemu di sana. Semalaman aku berusaha mencari seseorang yang aku yakin bisa membantuku untuk mendapatkan jawaban atas semua kejanggalan selama ini. Pak Farid, supir pribadi ayahku dulu. Dia yang tahu seluk beluk permasalahan karena ayahku tidak mungkin tidak bercerita. Tipe manusia yang suka berbicara itu sangat anti untuk menyembunyikan sesuatu, apalagi dengan supir pribadinya. Namun, aku tidak dapat menemukan keberadaan Pak Farid. Yang aku temukan adalah kontak anaknya, itu pun baru kuingat setelah hamper putus asa. Dulu aku pernah dijemput oleh Axel setelah pulang kuliah karena Pak Farid sedang mengantar Ayah sementara aku tidak mungkin naik ojek motor karena hujan deras. “Hari ini aku tidak masuk kerja,” kata Mas Ardan di sela lamunanku. “Kamu temani aku di rumah. Aku ingin di rumah.” “Nggak bisa. Aku ada acara di luar hari ini. Toko beras harus aku control juga. Sudah hamper seminggu aku tidak datang, tidak boleh seperti itu kalau berusaha,” jawabku. Mas Ardan pun berdecak kesal. “Kamu itu nggak ngerti banget kemauan suami, sih? Kamu benar-benar ingin membuatku marah atau bagaimana? Aku ini suami kamu, loh!” “Untuk saat ini, ya. Jangan lupa program yang tadi kita usahakan itu bentuk usaha agar kita berpisah. Artinya usaha ini juga termasuk permasalahan perpisahan kita. Jangan plin-plan! Kalau kamu mau pisah, bersikap seolah aku bukan istrimu!” “Sudahlah! Capek saya sama kamu. Selalu ada saja balasannya,” kata Mas Ardan. Dalam hatiku terus bersorak kegirangan. Biar dia tahu rasa, jangan suka merasa seenaknya saja kepada diriku. Sekarang giliran aku lawan, baru dia merasa tidak senang. “Kalau begitu aku ke kantor saja hari ini,” katanya. Aku jadi semakin heran. “Ya sudah terserah. Kamu mau kerja ya silakan, mau di rumah juga nggak masalah. Toh aku nggak bisa buat apa-apa,” ucapku sambil menahan tawa. Setelah itu, kami berdua terdiam. Tidak ada yang memulai pembicaraan, apalagi perdebatan. Aku sudah muak juga berbicara dengannya yang tidak jauh dari ancaman untukku. *** Mas Ardan sudah berangkat ke kantornya. Aku sudah di kafe yang tadi kami bicarakan. Hari ini akan menjadi hari yang mungkin sangat Panjang bagiku. Mengelabui Mas Ardan yang tadi sempat membuntuti kepergianku dan nanti akan bertemu dengan Axel, anak dari Pak Farid. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, Axel terlihat berjalan dari pintu kaca buram dengan senyum yang merekah. Sudah lama aku tidak melihatnya. Terakhir saat aku berusia dua puluh tahun dan itu dua belas tahun yang lalu. Entah sudah berapa umurnya sekarang, mungkin sudah 35 tahun. “Halo, Eliana! Sudah lama kita tidak bertemu!” katanya yang kemudian duduk di hadapanku. Aku sodorkan kopi yang tadi sempat aku pesan untuk dia minum. “Thank you.” “Sama-sama. Terima kasih sudah mau datang. Aku nggak tahu lagi kalau kamu menolak untuk membantu, mungkin aku akan pasrah sama keadaan. Kamu banyak berubah, jadi banyak brewok begini wajahnya,” kataku yang berusaha mencairkan suasana. “Ya, katanya wanita banyak yang tertarik dengan brewok. Soalnya lebih menggairahkan katanya,” kata dia sambil tertawa. Sebenarnya tidak. Aku lebih tertarik kepada pria yang wajahnya mulus tanpa bulu seperti Mas Ardan atau mantan pacarku Helmi. Aduh! Kenapa aku jadi memikirkan Mas Ardan lagi, sih?! “Kamu sudah beristri, kan? Sudah izin untuk ketemu sama aku hari ini?” tanyaku untuk berjaga-jaga. “Kalau belum, izin aja dulu!” Dia langsung tersenyum. “Istriku sudah tiga tahun yang lalu pergi, dipanggil Tuhan. Kamu tidak perlu khawatir.” “Oh, kamu itu duda sekarang?” tanyaku sambil tertawa. “Yang penting banyak duit, nanti janda pada dateng.” “Yah, buktinya sampai sekarang masih belum dapat. Kamu sendiri, kenapa minta bantuan ke aku? Suami kamu nggak bisa bantuin?” tanya dia. Sangat memalukan kalau aku menjawab suamiku tidak bisa membantu. Namun, apa daya lagi? Memang dia tidak bisa membantu dan memang dia sumber masalahnya. “Permasalahannya di dia, Xel. Aku ingin menyelidiki masa lalu kami berdua dulu,” jawabku. Pembicaraan kami mulai serius sekarang. Axel pun membungkukkan tubuhnya sambil mendengarkan ceritaku. “Jadi gimana?” “Kamu mungkin tahu kalau pernikahanku dan Mas Ardan bukanlah pernikahan saling suka seperti yang lainnya. Memang kesalahan ini pada orangtua aku dan Mas Ardan yang menginginkan kami berdua menikah. Zaman apa sekarang? Memangnya ada perjodohan begitu? Cuma mau bagaimana pun, aku penasaran dengan perjanjian Mas Ardan dulu dengan Ayah sampai dia mau menerima perjodohan kami,” jelasku. Axel yang mendengar sambil mengangguk pun mungkin bingung dengan permasalahannya. Dia tahu kalau aku sudah menikah sejak lama dan kenapa baru sekarang dipermasalahkan. Ya, itu pun pertanyaan yang aku ingin tanyakan kepada diriku sendiri juga. Untuk apa aku menyelidiki jika setelah hamil, kita akan berpisah? Namun, aku tangkis pertanyaan itu dengan kata-kata dan semua keinginan yang Mas Ardan minta sejak dulu. “Lalu permasalahan kalian ada di mana, El? Kalian berantem sampai mau pisah?” tanya Axel. “Kalau permasalahannya sesimpel itu, mungkin aku akan memutuskan untuk pisah juga. Yang ini lain, ada syarat khusus sebelum kami pisah,” jawabku dengan pasrah. “Apa syaratnya?” Axel Kembali bertanya. Dia begitu penasaran. “Aku harus hamil sebelum kita berpisah,” ujarku sambil menunduk. “Maaf, kalian berdua belum punya keturunan sampai sekarang sampai dia menginginkan anak sebelum pisah?” tanya Axel yang berhati-hati. “Kami sudah punya anak, tetapi dia ingin satu anak lagi sebelum kami berpisah,” jawabku. “Mungkin dia ingin bersikap adil. Kamu bawa anak yang baru lahir sementara dia akan membawa anak yang sudah besar,” kata Axel sambil menyimpulkan. Alasan itu mungkin aku bisa simpulkan sendiri jauh sebelum hari ini. Namun, Kembali lagi, aku seperti tidak percaya kalau hanya alasan itu. Bagaimana dengan perlakuan Mas Ardan yang kasar terhadap Evan? Sepertinya itu tidak mungkin. “Tidak, aku yakin itu bukan alasannya. Aku tidak bisa menjelaskan alasannya karena itu yang ingin aku selidiki. Untuk apa dia terlalu terobsesi dengan dua anak saat satu anak saja sudah cukup? Aku sudah berusaha meminta cerai, tetapi dia bilang ayahku meminta satu anak lagi baru kami boleh berpisah. Sayangnya, Ayah nggak mau kasih tahu alasan yang sebenarnya dari dia meminta anak lain,” jawabku lagi. Axel mengernyitkan dahinya hingga berlapis-lapis. Sama sepertiku, sangat pusing untuk menemukan jawabannya. Mungkin terdengar sepele, tetapi aku bisa yakin bukan sesimpel itu alasannya. Apalagi saat Mas Ardan pernah mengatakan kalau Evan bukan anaknya. “Sekarang kamu mau aku bantu apa? Aku sendiri tidak yakin bisa membantumu,” kata Axel. Aku akan masukkan permasalahan Evan dan Mas Ardan setelah penyelidikan ini menemukan hasil. Aku juga penasaran, apa aku pernah bermain di luar sana dengan pria lain sampai hamil? Aku harap tidak. “Aku ingin ketemu ayahmu, Xel. Aku ingin bertanya banyak hal sama dia termasuk perjodohan kami berdua,” jawabku. Axel menggelengkan kepalanya setelah aku mengucapkan keinginanku. “Seandainya aku bisa bantu kamu, mungkin aku akan bantu kamu. Cuma kalau permasalahan Ayah, aku tidak bisa bantu, El. Kami berdua bertengkar karena … karena dia tidak mengizinkanku menikah dengan perempuan yang dulu menjadi istriku. Sampai akhirnya aku sadar kalau semua ucapan pria tua itu benar, tetapi terlambat karena istriku meninggal karena kelebihan dosis.” “Astaga! Kamu temukan di mana wanita itu sampai dia bisa melakukan hal itu?” tanyaku tanpa ragu. Setelah beberapa saat aku tersadar kalau itu bukan sebuah pertanyaan yang wajib diajukan. “Maaf, aku salah bertanya. Aku harap kamu tidak tersinggung karena ucapanku tadi.” “Tenang saja, aku juga sudah tidak masalah dengan hal itu. Jadi, bagaimana? Kamu sungguh ingin bertemu dengan ayahku?” tanya dia. Aku pun mengangguk. “Iya, aku ingin bertemu dengannya, Xel. Apa kamu tidak bisa memberikan alamatnya saja?” Axel begitu berat untuk membantuku. Aku sadar telah memaksanya, tetapi aku begitu ingin bertemu dengan Pak Farid. “Aku mohon. Tolong aku untuk ketemu sama Pak Farid. Beri aku alamatnya saja, selebihnya biar aku yang berusaha mencarinya sendiri.” Axel menarik napas Panjang di depanku. Kemudian, dia tersenyum tipis. “Baiklah, kita akan ke rumahnya besok. Mungkin ini saatnya aku bermaafan dengannya juga. Namun, ada syaratnya. Kamu harus mau kencan denganku di akhir bulan. Kalau kamu tidak mau, aku tidak akan membantumu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD