Masalah Yang Belum Selesai

1944 Words
Sejak perkataan Mas Ardan tentang Evan dan dia, aku jadi semakin penasaran untuk menyelidiki semuanya. Dia yang bilang kalau Evan adalah anakku, tetapi tidak mengatakan Evan anaknya juga, membuatku berpikir keras, apa maksud dari perkataan itu? Apa artinya Evan bukan anaknya? Lantas, siapa yang menghamiliku dulu jika memang benar perkataannya. Di meja dapur, seperti biasa, dia sedang menunggu hidangan sarapan yang sedang aku buat. Setelah Evan berangkat sekolah, aku langsung fokus kepada Mas Ardan. Rutinitas setiap hari. Walaupun dia sudah tidak menganggapku sebagai istri, setidaknya aku menjalankan tugas yang Mas Ardan berikan. “Aku mau bicara,” kata Mas Ardan. Yang diajak berbicara saja tidak peduli. Aku masih fokus ke wajan tanpa berbalik menatapnya. “Iya, ngomong aja. Ada apa?” tanyaku. Mas Ardan pun bergumam, selayaknya membersihkan tenggorokan sebelum berbicara. “Tentang program hamil itu. Jika program itu berhasil, aku akan membawa anakku dan kamu bisa bawa Evan.” Seketika aku menoleh. Dia tidak memberikan sedikit ekspresi wajah walaupun sebatas senyum. Dia menatap datar ke arahku, menandakan kalau semua perkataannya benar dan dia sangat serius. “Sudah sejauh itu kamu memikirkan kehidupan pasca aku melahirkan?” tanyaku seraya menggelengkan kepala. “Tidak waras,” gumamku sangat pelan. “Iya. Aku bahkan sudah memikirkan nanti kami berdua akan tinggal di rumahku, di Swiss. Kenapa? Kamu belum memikirkan apa-apa setelah kita berpisah?” tanya Mas Ardan. Setelah itu, dia tertawa. “Aku lupa kalau kamu tidak bisa hidup tanpa aku.” “Terima kasih atas pujiannya,” jawabku. Tidak perlu aku lanjutkan obrolan itu, tidak ada gunanya. Lebih baik aku mempertanyakan hal yang lebih penting. “Kenapa kamu tidak ikut membawa Evan juga?” “Aku tidak bawa Evan, tidak mau. Biar kamu saja yang urus. Lagian dia sudah sangat dekat sama kamu, berbeda denganku yang dia pikir aku adalah Ayah yang galak. Kamu yang doktrin dia untuk takut kepada ayahnya sendiri. Lalu, untuk apa aku bawa dia? Biar saja kamu puas dengan anak itu,” jawabnya. “Masih saja permasalahan doktrin-mendoktrin. Kamu lupa? Siapa yang dulu ngurung dia di Gudang saat dipanggil oleh guru BK sekolah? Kamu lupa juga siapa yang pernah buat dia ketakutan karena kamu ancam mau dibuang ke hutan saat dia buat salah ke kamu? Itu semua perbuatan kamu, jangan sering-sering melimpahkan kesalahan kepada orang lain! Itu nggak baik!” timpalku. Aku berikan satu buah burger isi daging olah yang baru aku buat untuknya. Kemudian, dia mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya sehingga aku ikuti. “Aku tahu, kamu belum sarapan. Makan sini bareng aku, biar kamu nggak sakit,” katanya. Jawaban yang membuat satu sudut bibirku terangkat sebelah. “Sangat jijik mendengar hal itu dari kamu.” “Tenang aja. Aku nggak mau kamu sakit bukan karena aku perhatian. Aku tidak mau kamu sakit lama terus embrio yang nanti sudah jadi, tidak bisa dipindahkan ke Rahim kamu. Yang ada program aku gagal,” balasnya. Sungguh, rasanya aku ingin membuang soup yang tadi kubuat ke wajahnya. Biar saja sekalian melepuh terkena air panas. “Aku tebak. Kamu tidak mau bawa Evan karena dia bukan anakmu, kan?” “Kata siapa yang mengatakan itu?” tanya Mas Ardan. Matanya yang menyipit seolah mengisyaratkan dia sedang penasaran. “Apa aku pernah berkata seperti itu?” “Tidak perlu tanya kata siapa! Kamu hanya cukup jawab, itu benar atau salah!” timpalku. “Kata siapa kalau Evan bukan anakku? Kamu jangan bodoh! Kamu lupa kalau dia itu sangat mirip dengan wajahku?” tanya Mas Ardan lagi. Benar juga …. Wajah mereka bisa dibilang lumayan mirip. Besar kemungkinan memang anak Mas Ardan. Aduh! Aku semakin gila dibuatnya. “Kamu percaya yang waktu itu? Omongan yang aku keluarkan saat aku emosi?” Mas Ardan tertawa keras sambil mengunyah makanannya. Aku harap dia tersedak, mudah-mudahan juga sekalian tewas. “Tidak mungkin kamu sepolos itu, Eliana! Kamu ini bodoh banget rupanya. Pantas saja kamu bisa aku bohongi dengan mudah,” kata dia. “Cuma, boleh juga diusut dia anak siapa. Sebab waktu itu, saya rasa kamu tidak perawan lagi.” Brak! Aku pukul meja dengan keras. Mas Ardan sampai terdiam untuk beberapa detik karena gebrakan tanganku tadi. “Kenapa? Kamu tidak percaya yang satu itu? Ya sudah. Aku tidak minta kamu percaya juga.” Tidak perawan? Lantas dengan siapa pengalaman pertamaku saat itu kalau bukan dengan Mas Ardan? “Hari ini saya ingin bertemu dengan Selly. Kamu harus hemat sel telurmu, berjaga-jaga jika percobaan pertama kita tidak berhasil, kamu bisa memberikan sel telur yang lebih bagus!” kata dia. Setelah menenggak habis s**u hangatnya, dia berbisik ke arahku. “Makanya jangan mandul!” “b******k! Pergi sana!” pekikku. Mas Ardan pun langsung berlari ke luar rumah sambil membawa tas laptopnya. Dia meninggalkan aku dengan segudang pertanyaan, kapan aku melakukan itu pertama kali dan dengan siapa? Satu nama yang terlintas di benakku, Bella. Sepertinya ini ada sangkut pautnya dengan kejadian farewell party di kantor yang lama dan itu terjadi delapan tahun yang lalu, kurang lebih. Namun, bagaimana aku bisa menghubunginya? *** Hari ini, sesuai janjiku kepada Axel, kami akan ke daerah Purwakarta. Tempat di mana Pak Farid tinggal Bersama dengan istrinya dan juga anaknya yang paling bungsu bernama Yoga. Aku harap Pak Farid dapat membantuku untuk mengurus permasalahan ini. Tidak bisa aku urus lagi karena semuanya di luar kendali dan juga pengetahuanku. Saat di perjalanan tadi, aku sempat mencari di daftar kontak di ponsel. Sayangnya, kontak Bella sudah tidak ada. Beruntunglah aku masih mengikuti IG-nya. Aku langsung kirim dia direct message agar nanti kita bisa berbincang-bincang. Sekarang, Axel sudah mengendarai mobilku dan sedang berada di daerah yang aku sendiri tidak mengetahui ini di mana. Yang jelas, Axel sudah tahu ke arah mana dia berbelok sehingga sampai juga kami di rumah yang lumayan luas dan rapi, rumah Pak Farid. “Kamu yakin mau ikut masuk ke dalam?” tanyaku yang khawatir. Aku takut kalau Axel masih menyimpan ketakutan untuk bertemu dengan ayahnya sendiri atau mungkin sekedar kecanggungan. “Saya bisa menemuinya seorang diri.” Axel tersenyum dan menyentuh punggung tanganku. “Kamu tunggu di mobil dulu. Nanti aku ke sini kalau semua permasalahan sudah selesai.” Aku pun mengangguk. Sementara dia keluar dari mobil, sangat kebetulan Bella sudah menjawabnya. Dia menjawab, Ayo main! Kita udah lama nggak main. Malam ini? Evan pasti punya banyak PR dan aku tidak mungkin membiarkannya sendirian. Aku juga tidak mau melewatkan kesempatan ini. Eliana: Ada waktu kosong kapan? Mau juga nih main. Aku terus mengingat-ingat kejadian pesta saat itu. Namun, terhenti di kejadian aku yang bangun pagi di sebelah Bima. Sementara aku tidak mengingat apa yang kami lakukan semalam. Apa benar aku dan Bima melakukannya? Tidak! Pakaianku utuh tidak terlepas. Tidak mungkin Bima yang melakukannya aku sangat yakin. Tok Tok Axel di samping mobil sudah tersenyum lebar. Dia menganggukkan kepalanya dan sontak membuatku bersemangat. “Jangan lupa dengan janjimu!” “Iya. Akhir bulan dan hanya makan malam, bukan ke mana-mana,” jawabku. “Makan malam di hotel, bukan di kafe,” sanggahnya. “Oke.” Langsung aku mengikutinya masuk ke dalam rumah dan akhirnya aku menemukan sosok supir pribadi Ayah yang telah lama berhenti bertugas. Pak Farid, sosok kurus pendek yang sejak dulu sangat peduli dengan Ayah. “Pak Farid!” Aku berjalan ke arahnya dan aku cium punggung tangannya. “Bagaimana kabarnya, Pak?” “Alhamdulillah sehat, Neng. Neng El sendiri bagaimana? Kelihatannya sehat banget, makin gemuk sekarang,” jawabnya. Kalau aku bisa jujur, beberapa bulan terakhir ini aku mengalami penurunan berat bedan. Mungkin ada efek dari beban pikiran juga sehingga membuatku kehilangan berat badan tanpa sebab. “Tadi kata Axel, kamu mau ngomongin sesuatu. Ada urusan katanya. Ada apa, Neng?” tanya dia. Aku lirik Axel sebentar, kemudian aku mengangguk. “Iya, Pak. Mungkin ini terdengar aneh karena hal yang seharusnya saya tanya ke Ayah, justru saya tanya ke Pak Farid. Ini semua tentang perjodohan antara saya dan Mas Ardan.” Baru aku berikan satu kalimat penjelas, wajah riang Pak Farid berubah menjadi tertekuk. “Lalu?” “Saya baru tahu kalau ternyata orang yang dijodohkan dengan saya itu bukan Mas Ardan, melainkan kakaknya yang bernama Theo. Saya yakin Pak Farid tahu jelas permasalahan ini, makanya saya ingin tanya ke Bapak terkait kebenaran hal itu dan terkait perjanjian apa saja yang Ayah buat dengan Mas Ardan saat itu? Sebab semuanya berdampak sekarang,” lanjutku. Pak Farid menundukkan wajahnya, menyembunyikan raut wajahnya yang entah aku pun tidak tahu. Namun, dia Kembali menegakkan wajahnya dan menjawab, “Untuk masalah Theo, itu benar. Kamu ingin dijodohkan dengan kakaknya yang bernama Ardan. Terus apa lagi yang kamu ingin tahu? Bukannya itu sudah jelas untuk membuktikan kalau kamu benar dijodohkan?” “Saya ingin tahu apa perjanjian yang Mas Ardan dan Ayah buat dulu? Lalu, kenapa mereka menjodohkan aku dengan adiknya saat tahu kalau Theo sudah meninggal?” “Tidak semudah itu permasalahanna.” Pak Farid menyanggah opiniku dengan tegas sekaligus keras. Dia seperti berteriak dan tidak suka jika aku menyederhanakan permasalahan. “Kamu tidak mengerti permasalahan bisnis ayahmu, El. Ada begitu banyak kerugian yang kalian dapat pada saat itu dan memang hanya keluarga ayahnya Ardan yang bisa menolong kalian. Berkat jasa ibumu yang baik, mereka semua mau untuk menjodohkan Theo dengan kamu agar perusahaan ayahmu nanti bisa dipimpin olehnya. Dengan begitu perusahaan itu akan Kembali bangkit perlahan demi perlahan. Namun, sayang sekali, Theo tewas, kan?” Sudah aku duga, permasalahan tentang bisnis lagi. Apalagi sejak Mas Ardan yang bilang kalau perusahaan Ayah bangkrut karena dia. Tunggu sebentar. Mengapa pernyataan Mas Ardan dan Pak Farid sangat berbeda? “Lalu sekarang? Bisnis Ayah dipegang Mas Ardan? Apa semua itu sudah sesuai rencana?” tanyaku lagi. Pak Farid menggelengkan kepalanya. “Saya tidak bisa memberikan jawaban lebih. Semua jawaban, lebih baik kamu tanya ke suami kamu sendiri. Dia yang lebih tahu permasalahannya daripada saya.” Tanpa menunggu jawaban dariku, Pak Farid langsung kabur begitu saja. Masuk ke dalam kamar tanpa mengindahkan teriakan dariku. “Pak Farid! Jangan masuk dulu! Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan terkait Mas Ardan, Pak. Kalau saya bisa tanya ke dia, tidak perlu saya bertemu Bapak untuk menanyakan masalah ini.” Hingga Axel akhirnya menarikku keluar dari rumah dan memasukanku ke dalam mobil. Dia ikut masuk juga dan berusaha menenangkanku yang sangat marah. Semuanya sama saja! Menjadikanku sebagai umpan, padahal mereka lupa kalau umpannya selalu dimakan oleh hewan buruan dan berujung kesakitan. “Kamu tenangin diri kamu dulu, El! Jangan teriak-teriak seperti itu!” kata Axel. “Gimana aku bisa tenang kalau omongan bapakmu dan Mas Ardan berbeda? Tadi kamu dengan sendiri kalau pernikahan kami untuk memperbaiki perusahaan ayahku, kan?” tanyaku yang dibalas anggukan oleh Axel. “Beberapa hari yang lalu, Mas Ardan yang mengaku sendiri kalau dia yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan ayahku dan kerabatku. Apa dengan begitu aku bisa tenang? Kenapa Ayah tetap menikahkanku dengan Mas Ardan kalau dia yang menyebabkan kehancuran Ayah?” “Tenang dulu! Coba pikirin baik-baik. Siapa tahu ayahmu sudah tahu tentang hal itu dan mungkin karena hal itu juga yang membuat dia mengizinkan untuk nikah dengan Ardan. Pasti ingin Ardan untuk tanggung jawab setidaknya dengan anak perempuannya,” sahut Axel. Aku menggelengkan kepala berusaha untuk meyakinkan Axel. “Nggak mungkin Ayah bisa semudah itu memberikan izin, Xel. Pasti ada satu permasalahan lain yang mereka sembunyikan dan aku ingin tahu apa alasannya.” Ting! Satu pemberitahuan pesan yang masuk dari Bella membuatku teralihkan dari permasalahan Mas Ardan. Belle: Bima dan Rangga mau ikut kalau kita main. Jadi gimana? Kesempatan besarku untuk menyelidiki masalah Bima. Mungkin ini juga bisa menjadi cara agar aku menemukan siapa ayah biologis Evan yang sebenarnya. Aku harap memang Mas Ardan ayah biologisnya, dan semua yang dia katakan sebelumnya hanya sebuah emosi sesaat yang membuatnya ngelantur. Sebab jika bukan dia ayah biologisnya, siapa lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD