Sangat Egois

2087 Words
Waktu yang terus berputar, membuatku teringat tentang kamu yang dulu selalu ada di sampingku. Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap aku ingin berada di dekatmu. Pelukanmu, sentuhanmu, dan setiap perkataan lembut yang keluar dari mulutnya. Apa yang kamu lakukan setelah pernikahan itu adalah hal-hal terindah yang aku rasakan. Mengagumi semua yang kamu lakukan termasuk hal kecil yang dulu pernah kamu beri. Namun, semua berakhir begitu saja tanpa alasan yang membuatku paham apa salahku. Semua keputusan yang telah kamu buat, memang membuatmu tenang dan sesuai keinginanmu. Namun, tidak untukku. Aku sadar kalau semua ini hanya sebuah bentuk pembalasan atas apa yang orangtuaku lakukan. Apa benar kalau semua itu harus kutanggung sendirian saat aku sudah menolak perjodohan ini sejak awal? Dia yang membuatku yakin untuk menikah pada awalnya. Namun, justru dia yang membuatku merasakan kepahitan pernikahan karena dia pikir semua ini salahku. Baik, silakan lakukan semaumu. Asalkan berikan aku kesempatan untuk bertanya. “Apa keputusan orangtua kita dulu adalah murni kesalahanku, Mas? Apa permintaan mereka adalah kesalahanku juga atas pernikahan ini? Apa kamu sudah lupa tentang aku yang menolakmu dan kamu yang memaksaku untuk tetap menikah?” Di hadapanku, Mas Ardan masih dengan pakaian kemeja rapinya dan sedang berdiri. Aku duduk di bibir kasur setelah sekian lama berdiam diri di ruangan yang sangat gelap. Tanpa tahu kalau di luar gedung, Mentari sudah tergantikan dengan rembulan. “Siapa yang bersalah di sini? Aku atau kamu? Kamu yang bilang untuk tetap menikah karena kamu cinta sama aku sampai akhirnya aku juga ikut jatuh cinta. Lalu apa yang terjadi berikutnya? Kamu lupain semua itu tanpa alasan yang jelas.” “Masih kah kita mencari siapa yang salah di sini, El?” tanya Mas Ardan. Seketika aku menoleh. “Kalau tidak mencari siapa yang salah, lantas mengapa kamu terus menghukum aku layaknya aku yang bersalah, Mas? Aku tidak mau dihukum!” “Memang kamu yang bersalah, El! Kalau kamu bisa hamil cepat waktu setelah Evan lahir, mungkin kita tidak akan selarut ini. Mungkin kamu tidak akan pernah jatuh cinta sama aku! Memang kamu yang harus dihukum!” Aku berjalan ke arah dia dan aku beranikan diri untuk menamparnya. Plak! Satu tamparan yang sangat telak, membuatku puas sudah melakukannya. Jika setelah ini dia memberikanku sebuah pukulan, aku tidak peduli. “Apa? Kamu memang jatuh cinta sama aku sampai nggak mau pisah. Itu yang kamu katakan terus-menerus, El! Jangan cinta sama aku! Turuti keinginan aku dan kita akan berpisah. Itu yang harus kamu lakukan, bukannya mencintai aku!” kata dia. “Sekarang kamu menyalahkan aku yang jatuh cinta padahal aku sama sekali tidak meminta untuk jatuh cinta. Terus kamu berpikir alasan aku bertahan hanya cinta? Kamu memang orang paling egois! Evan, itu alasan aku bertahan. Dia butuh sosok ayahnya,” sahutku dengan lantang. “Sekarang aku bisa paham. Nggak ada artinya memperjuangkan ini semua. Aku akan turuti semua keinginanmu.” Mas Ardan langsung membuka laci nakas di sebelah kasurku. Dia ambil satu tabung kecil dan dia buang ke dalam tong sampah. “Kalau begitu kamu harus berhenti meminum pil itu, El! Jangan kamu pikir aku tidak tahu kenapa kamu tidak kunjung hamil. Menjalankan program KB saat aku menginginkan seorang anak.” “Karena memang hanya itu kenginginanmu agar kita bisa pisah. Keinginanmu juga bukan anak, tetapi perpisahan. Aku turuti semuanya, asalkan aku bisa hamil. Kalau aku tidak hamil, tidak ada perceraian,” sahutku. “Tentu kamu akan hamil. Kita akan menjalankan program hamil. Besok pagi kita ke dokter, kita lakukan program agar cepat kamu hamil,” jawabnya. Aku yang berniat pergi dari sana pun dihadang olehnya. Dia mendorongku kembali agar berada di depannya. “Makan malamku belum siap.” “Tidak ada makan malam untuk orang yang sudah mengunciku seharian sehingga aku tidak bisa menyiapkan makanan. Beli makanan sendiri atau tahan sampai besok pagi!” jawabku. Aku berjalan keluar dari kamar. Saat tanganku memegang kenop pintu, dia mengucapkan satu hal yang membuatku sangat kesal. “Jangan kamu ingar dengan janjimu yang memberikan anak. Cukup jadi wanita bodoh yang tidak tahu alasanku melakukan semua ini. Jadilah istri baik yang membantu suaminya, jangan jadi pembangkang, Eliana! Sekali lagi permasalahan ini terjadi, aku yang akan mendidikmu agar paham apa arti menjadi seorang istri.” Aku abaikan omongan dia. Kemudian, aku pergi dari kamar dan memasuki kamar Evan. Pangeran kecilku yang sedang menonton kartun di tengah malam. Aku tahu dia mendengar perdebatan yang aku dan Mas Ardan lakukan. Aku tahu kalau batinnya tersiksa. “Mama baru pulang?” tanya Evan. “Mama ke mana aja? Tadi Evan lihat Mama masuk ke ruangan sebelah kantor Ayah. Cuma Ayah bilang, Mama pulang. Evan sampai di rumah, Mama nggak ada.” Evan ternyata melihat semua itu. Aku peluk anakku dengan erat. “Mama nggak ke mana-mana. Hanya main sama teman lama. Kamu sudah makan malam?” “Tadi Ayah beli banyak makanan. Evan sudah kenyang,” sahutnya. Lantas aku ikut terbaring di sampingnya. Aku habiskan waktu di sini saja. Menenangkan diri dari sebuah keinginan buruk Mas Ardan yang tidak berhenti dia meminta. “Ngapain aja sama Ayah?” tanyaku. “Ayah nyuruh aku duduk aja. Terus Ayah ajak aku ke tempat kerja. Di sana aku ketemu Faiz, temen sekolah. Ayah ketemu sama ibunya terus mereka ngobrol,” kata Evan. Ibunya Faiz, siapa dia? “Terus kamu main sama Faiz? Kenapa Mama nggak pernah tahu siapa ibunya Faiz?” tanyaku kepada Evan. “Ibunya Faiz itu yang suka antar Faiz. Dia galak, makanya sering marah-marah. Cuma kalau sama Evan dia baik,” sahutnya. Akan aku cari tahu esok, siapa dia. Aku harus ketemu dia siapa dan aku harus cari tahu alasan apa mereka bertemu. “Ayah nggak galak hari ini. Ayah udah maafin Evan?” tanya dia lagi. “Ayah nggak pernah marah sama Evan. Ayah hanya kesal kalau Evan jadi anak nakal. Makanya Evan harus baik, nggak boleh nakal.” Kembali aku berbohong kepadanya. Apa yang aku lakukan? Berbohong terus pada anak bukanlah sebuah hal yang bagus. “Kamu bawa laptop Ayah ke sini?” tanyaku pada Evan saat melihat sebuah laptop di dekat buffet besar. “Kenapa tidak kamu balikin?” “Ayah yang taruh di sana. Evan nggak minjam,” kata Evan. “Kata Ayah boleh dipakai untuk nonton kartun yang tadi ditonton di kantor. Evan takut bukanya, takut rusak.” Aku buru-buru mengunci pintu kamar dan kemudian mengotak-atik laptopnya. Tentu aku buka laman pencarian, melihat jejak penelusuran yang mayoritas tentang pekerjaan. Ada satu hal yang membuatku curiga, aplikasi pesan ponsel yang ada di sana. Aku buka aplikasi pesan itu dan ternyata masih aktif. Satu nama yang langsung aku baca, Selly. Perempuan yang sangat cantik jika aku lihat dari profilnya. Aku tidak tahu siapa dia, belum pernah aku lihat sebelumnya. Namun, aku tertarik dengan isi pesannya. Kemudian aku baca satu pesan singkat di halaman depan. “Aku rindu.” Dua kata yang membuatku tersadar kalau sosok Selly merindukan Mas Ardan. Entah mereka pernah berkenalan dulu atau tidak, yang jelas membuatku semakin penasaran. Tidak lama kemudian, dibalas oleh Mas Ardan. “Aku juga rindu kamu. Besok ketemu di Hotel Rexius jam sepuluh malam.” Malam minggu. Tepat sekali Mas Ardan membuat perjanjian di malam minggu. Pasti alasan pekerjaan yang akan dia berikan kepadaku saat dia menemui seorang wanita di hotel mewah. “Sudah lama kita tidak bermain. Kamu masih mau bermain denganku?” Satu pesan baru lagi yang membuatku semakin naik darah. Namun, lamunanku tentang Mas Ardan terbuyar saat Evan mengejutkanku. Dia memanggil namaku terus sampai akhirnya menepuk tanganku. “Mama kenapa?” tanya Evan. “Enggak. Kenapa Evan manggil Mama?” tanyaku. “Tadi Evan tanya, kenapa Evan nggak punya adik?” tanya Evan. Mas Ardan, aku yakin ini ulahnya. Dia benar-benar melakukan yang dia ancam kepadaku. Membuat Evan sebagai pendorong untuknya memiliki anak. “Evan kenapa tanya seperti itu?” “Evan sendiri terus, temen-temen punya adik,” kata Evan. “Jadi, kamu ingin punya adik? Memang sudah tahu kalau punya adik nanti, nggak Cuma Evan yang Mama perhatikan. Mau kalau dipecah perhatiannya?” tanyaku mencoba memancingnya. Dia mengangguk sangat yakin. Aku Tarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan hati yang sangat ingin marah sebenarnya. “Evan akan punya adik suatu saat nanti, Nak. Tunggu, ya.” “Tadi Ayah bilang, Mama nggak mau punya adik soalnya Evan selalu nyusahin Mama. Jadi Mama nggak mau punya adik lagi. Evan salah, ya?” tanya Evan. “Evan minta maaf kalau begitu.” Aku langsung menutup aplikasi di laptop itu dan tentu aku balikkan ke tempat asal. “Sudah malam. Evan harus tidur. Jangan seperti ini lagi yang menonton sampai larut malam, ya! Mama juga mau ke kamar.” *** Langsung aku ke kamarnya Mas Ardan. Ternyata dia sedang melakukan panggilan video dengan bagian atas tubuhnya terbuka, tidak berpakaian. Dia pun langsung tersenyum melihatku masuk ke dalam. “Sebentar, ada istriku.” Aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa, yang penting aku ingin memarahinya. “Gila kamu, Mas! Kamu doktrin Evan sampai ngerasa dia yang salah selama ini. Kalau kamu memang ingin anak ….” “Eliana!” pekik Mas Ardan sambil menutup laptopnya. Bentakan itu membuatku terdiam di dekat pintu dan beberapa saat kemudian, Mas Ardan berjalan mendekat dan terburu-buru. Dia memegang lenganku dengan erat dan dia lempar aku ke atas kasur. “Tidak punya sopan santun masuk ke kamar orang tiba-tiba dan teriak?” “Kamu yang tidak punya akal sampai buat Evan merasa bersalah. Iblis mana yang merasuki kamu hari ini, sih? Cukup aku, jangan sampai Evan kena ibas dari semua permasalahan kita,” sahutku. “Sudah aku bilang kalau aku bisa melakukan apapun untuk keinginan yang satu itu. Apa kamu paham apa arti kata aku bisa melakukan apapun di sini?” Aku sangat paham apa arti kata itu. Namun, semuanya begitu terasa menyeramkan baru-baru ini. “Aku akan terus menolak memiliki anak kalau sampai kamu membuat Evan seperti itu lagi. Sampai berani kamu mengatakan aneh-aneh kepada dia, aku tidak akan berhenti meminum pil KB itu.” Mas Ardan langsung memiringkan senyumnya di hadapanku. “Jangan menantangku, Eliana! Kamu tidak tahu siapa aku. Kamu tidak tahu siapa yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan ayahmu, kan? Jangan sampai seluruh keluarga besarmu bangkrut hanya karena kesalahan yang kamu buat kepadaku.” “Buat mereka bangkrut, aku tidak masalah. Aku tidak ada urusan dengan mereka semua karena urusanku denganmu dan juga tanpa Evan! Jangan bawa-bawa anakku!” “KALAU BEGITU BERIKAN AKU ANAK!” Wajahnya yang memerah dengan tangan yang mengepal sudah siap memukul wajahku. Salahku yang sudah terjatuh ke pesona iblis ini. Salahku yang lupa bagaimana cara berhenti mencintai. “Kalau kamu cinta sama aku, lepasin aku, El! Beri aku anak dan kita berpisah. Itu yang aku minta, hanya itu,” kata dia dengan sedikit lebih tenang. Aku menatapnya dengan penuh kemarahan pula. Apa yang dia lakukan sudah tidak terasa lagi efeknya selain aku yang membencinya. “Sayangnya cinta aku kepada Evan lebih besar sekarang. Aku tidak bisa menuruti keinginanmu kalau kamu terus menyiksanya.” “Kamu tahu efek kamu yang bilang ini, kan? Aku bisa lebih membuatnya menderita, El,” sahut Mas Ardan. “Kamu sudah tahu ancamanku bukan omong kosong dan kamu merasakannya sendiri. Jangan sampai ancamanku yang lain menjadi kenyataan~!” “Komnas perlindungan anak bisa membuatku lebih tenang kalau mereka tahu perlakuan seorang komisaris perusahaan terkenal di kota ini dan penyumbang dana terbesar untuk pembuatan gedung baru di kota metropolitan. Apa yang akan mereka katakan saat tahu kalau pria yang mereka agung-agungkan adalah pria yang sering menyakiti anak dan istrinya sendiri,” jelasku dengan begitu yakin. “Di penjara mungkin kamu akan belajar banyak tentang menjadi seorang yang bertanggung jawab, bukan egois!” Mas Ardan langsung mencekik leherku dengan erat. Tidak ada napas yang bisa aku hirup sampai ke paru-paru, dan perlahan mataku mulai berair. Sementara dia tersenyum miring melihatku seperti ini. “Le-pa-sin!” pintaku. Tetap saja Mas Ardan menikmati permainannya. “To-long.” Mas Ardan menggelengkan kepalanya. “Jangan kobarkan bendera perang kita, El! Aku masih bersikap baik kepada kamu selama ini. Jangan sampai aku perlihatkan batas kesabaranku yang mulai habis. Bukan hanya kamu yang sakit, keluargamu dan anakmu bisa sangat kesakitan kalau kamu berani mencemarkan nama baikku!” Dia lepas dan lempar aku kembali. Aku hirup oksigen banyak-banyak. Setelah itu, aku tatap dia dengan ketakutan. “Kalau bunuh aku itu lebih baik, silakan, Mas! Bunuh aku!” “Sayangnya aku masih membutuhkanmu untuk hamil. Aku tidak akan membunuhmu sebelum kamu melahirkan anak dari benihku!” sahut dia. “Sebelum aku punya anak dari benihku sendiri, tetapi di rahim wanita lain. Kamu paham dampak itu buat Evan, kan? Dia akan menjadi anak broken home yang tersiksa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD