Sebuah Program Menuju Perpisahan

2011 Words
Mungkin semua orang akan berpikir kalau aku sudah gila. Benar, aku sudah gila sekarang, berada di bawah tekanan orang yang paling egois dan tidak lain adalah suamiku sendiri. Menuruti keinginannya untuk memiliki anak padahal aku tahu kalau berhasil nanti aku akan ditinggal olehnya. Mengurus Evan dan satu anakku yang lain sendirian saat mata pencaharianku di kantor yang lama sudah tidak ada. “Hari ini mau pergi ke mana, Bu?” tanya seorang asisten rumah tangga di depanku. Dia adalah Bi Minah yang membantuku mengurus rumah yang sangat besar ini. Dia juga yang tahu semua permasalahan di dalam rumah tangga termasuk Mas Ardan yang meminta pisah sejak bertahun-tahun yang lalu. “Pergi ke mana? Saya nggak ingin pergi ke mana-mana, Bi.” Aku menjawab. Aku letakkan juga barang keramik itu di tempat asal setelah aku bersihkan. Bi Minah langsung curiga kepadaku. “Tadi si Rudi bilang untuk tahan Ibu biar jangan sampai ke mana-mana. Soalnya Pak Ardan mau jemput Ibu nanti siang. Katanya mau pergi,” sahutnya. “Jadi, yang bener yang mana, sih?” Aku langsung terdiam mendengarnya. Sejenak aku mengingat-ingat, ada hal yang aku lupakan apa kemarin? Apa aku lupa kalau ada janji dengan Mas Ardan? Sepertinya aku belum terlalu tua untuk menderita kepikunan. “Mas Ardan mau jemput aku siang ini? Mas Ardan nggak bilang apa-apa,” jawabku. “Ya makanya Bibi juga nggak tahu. Mungkin Ibu lupa kali kalau ada pesan dari Pak Ardan. Coba aja telepon!” kata Bibi. Aku pun pergi ke atas untuk mengambil ponsel di kamar. Lalu, aku Kembali lagi ke tempat Bi Minah sembari mencari nomor Mas Ardan. Namun, tidak perlu menunggu waktu yang lama, Mas Ardan pun muncul dari balik pintu rumah. Dia benar-benar datang siang ini. Dia berjalan dengan santai ke arahku sambil wajahnya dia tekuk. “Kok belum siap? Ayo rapi-rapi! Kita ke dokter,” ajaknya. “Dari tadi di rumah, bukannya bersih badan dan siap-siap. Kok malah santai?” Aku mulai paham apa maksud dari kedatangannya siang ini. “Ke dokter ngapain?” tanyaku tidak peduli, sambil membantu Bi Minah di ruang tengah yang sedang mengelap debu. “Nanti guci yang itu dibersihin dalamnya, Bi. Udah lama nggak dibersihin soalnya.” “El, kalau ada orang yang lagi bicara itu dilihat, bukan dibelakangin!” tegurnya. “Ya udah bilang aja mau ngapain? Tinggal jawab aja susah banget, sih.” Bi Minah tidak merasa risih sama sekali. Dia tampak terbiasa, mendengar perdebatan kami yang berujung Bi Minah yang kabur karena tidak mau tahu terlalu banyak. “Kita program hamil,” katanya. Aku sempat fokus kea rah Bi Minah yang sangat terkejut. Tatapan wajahnya sampai melongo karena terlalu terkejut. “Bibi ke dapur aja, ya, Bu,” jawabnya yang aku jawab dengan anggukkan. Kemudian, aku berbalik dan melihatnya. Dia sudah sangat tenang sekarang, tidak seperti semalam yang marah dan kesal. “Ayo! Kita persiapkan dari sekarang agar cepat.” “Di mana?” tanyaku. Ya, benar. Aku sudah malas untuk berdebat, mungkin pisah adalah jalan terbaik sekarang. “Kamu sudah pikirkan tempatnya?” “Tenang aja. Semuanya sudah siap. Kamu hanya tinggal ikut dan diam,” jawabnya. Aku pun mengangguk. “Oke. Tunggu di depan! Lima belas menit lagi aku siap.” Setelah itu, aku mempersiapkan diri dan ikut Mas Ardan ke sebuah rumah sakit di dekat kantornya. Rumah sakit besar yang pastinya aku tidak pernah ke sini. Dia begitu yakin untuk masuk ke dalamnya saat rasa malu dan rasa sakit hati di dalam diriku kian membesar. Anehnya, Mas Ardan langsung masuk ke sebuah ruangan tanpa menunggu antrean lagi. Di dalamnya sudah ada seorang dokter perempuan yang cantik, dan tidak lain adalah temanku semasa SMA, Nindi. “Loh, istrimu Eliana?” tanya Nindi yang tidak percaya. Aku pun langsung memeluknya, seperti teaman lama yang baru bertemu saja. Aku tidak mungkin bersikap sombong apalagi dengan Nindi, teman yang pernah satu kelas juga. “Kesampaian juga jadi dokter,” kataku meledeknya. “Gimana? Nyaman jadi dokter?” “Ya Alhamdulillah kesampaian. Selama ini kamu tahu sendiri, semua guru sampai orangtua aja meragukan, under estimate seorang Nindi yang bodoh ini untuk masuk ke fakultas kedokteran. Sekarang pada mangap dah tuh liat aku jadi dokter, spesialis lagi,” sahutnya dengan nada riang. Sempat beberapa detik kami tertawa, lalu hening dan Nindi menjawab pertanyaan yang tadi. “Kalau dibilang nyaman, ya lumayan nyaman karena impian sendiri. Cuma ya ada sisi nggak nyamanna.” “Ehem!” Perhatian kami berdua lansung teralih saat Mas Ardan bergumam keras. Dia menatap nyalang ke arahku. “Maaf,” kataku. “Silakan duduk!” kata Nindi. Kami pun duduk di bangku yang sudah disediakan. Terutama Mas Ardan, dia memang sudah duduk sejak tadi. “Kamu sudah tahu apa yang saya inginkan. Jadi, tidak perlu penjelasan lagi.” “Oh tentu aku perlu. Kalau kamu tahu, aku belum tahu untuk sekarang,” balasku yang menatapnya dengan kesal. Aku lihat ke arah Nindi dan mengatakan, “Apa yang akan kami lakukan sekarang?” “Pak Ardan ingin melakukan program In Virto Fertilization untuk program kehamilan sekarang,” sahut Nindi dengan tenang. Tanpa menjelaskan apa itu, sebab aku sendiri tidak mengerti. “Jelaskan secara rinci, itu apa dan apa yang kami lakukan untuk melakukan program itu,” titahku. Nindi mengambil sebuah buku kecil yang ada di depannya. Dia buka halaman yang ingin dia jelaskan dan dia berikan kepada kami. “Secara mudah, In Virto Fertilization adalah program kehamilan bayi tabung—” “Bayi tabung?!” pekikku lantang. Aku tatap Mas Ardan di sebelah yang terdiam, sambil kedua tangannya disilangkan di dadanya dan satu tangannya dia gunakan untuk memegang pipinya. “Kamu tidak salah?” “Itu program yang bisa dipercaya untuk punya keturunan. Kenapa kamu terkejut?” tanya Mas Ardan. “Kamu tidak mau program itu?” “Program itu untuk orang-orang yang mengalami gangguan Kesehatan alat kelamin atau mandul, Mas! Kamu lupa kalau aku pernah hamil? Kamu lupa kalau aku benar-benar hamil Evan saat itu apa kamu tidak ingat betapa besarnya perut aku saat itu sampai aku hamil dan Evan sekarang sudah besar loh. Kamu ini bodoh atau bagaimana?” Tidak peduli di depanku adalah teman lama, sebab pria satu ini sudah keterlaluan memang. Aku tidak bisa lagi memenuhi jalan pikirnya yang sangat ekstrim. “Dokter, silakan jelaskan!” titah Mas Ardan. Nindi tidak langsung mengikuti perintah Mas Ardan. Dia menatapku dulu dengan penuh selidik, seolah ada hal yang ingin dia tahu lebih lanjut dariku. “Kamu punya anak, El? Berapa tahun usia dia?” tanya Nindi. “Dokter, jelaskan sekarang! Jangan tanya hal lain!” pekik Mas Ardan dengan lantang. Aku tahan Nindi untuk menjawab sebab aku ingin menjawab pertanyaannya. “Mas, kamu bisa diam sebentar, tidak? Aku sedang ditanya, kamu lebih baik diam dulu!” ucapku kemudian menoleh ke Nindi. “Dia berusia tujuh tahun, sebentar lagi akan berusia delapan tahun.” Nindi tampak melihat Mas Ardan sekilas, tetapi kemudian dia menatap ke arahku. Mas Ardan menatapnya dengan nyalang, mungkin itu yang membuat Nindi sempat takut. “Mengingat usiamu yang sudah menginjak 33 tahun, lumayan sulit untuk memiliki keturunan secara perkawinan normal, El. Kamu tahu hal itu karena kesuburanmu mungkin akan berkurang,” ucap Nindi. “Kesuburan aku tidak ada yang mengetahui kecuali Tuhan. Kalau kamu tidak percaya, periksa sendiri! Kenapa tidak periksa dia sekalian? Siapa tahu dia sering bermain di luar sana dengan perempuan lain sampai membuat dia mandul!” sahutku dengan ringan. Masa bodoh kalau Mas Ardan marah. “Aku sudah periksa dan hasilnya normal. Aku normal, kamu yang mandul! Kamu pikir tidak ada efek dari minum pil KB sebanyak itu selama bertahun-tahun? Ada, El! Kamu jangan bodoh!” jawabnya. Nindi di depanku hanya bisa diam. Aku tidak mungkin membeberkan semua permasalahan rumah tangga kami di hadapan teman lamaku. Sejauh ini saja sudah sangat jauh menurutku, tidak boleh ada yang lain lagi. “Apa bisa kami coba kawin seperti biasa dulu sebelum program bayi tabung? Apa memang harus bayi tabung sejak sekarang?” tanyaku pada Nindi. Sementara Nindi menjawabnya dengan mudah. “Semua keputusan ada di tangan kalian. Aku tidak mungkin mencampurinya.” Aku lihat Mas Ardan sekilas, dia tampak mengacuhkanku sekarang. Namun, dia sempat menjawab, “Lakukan program itu sejak sekarang! Kamu sudah janji kepadaku semalam, El! Jangan lupakan perjanjian itu!” Nindi di depan kami pun mengangguk. Tangannya sudah mengelus punggung tanganku sejak awal. Kemudian, aku mengangguk juga. “Oke. Jadi bagaimana programnya?” “Nanti aku akan berikan obat untuk kamu, El. Tenang aja, itu hanya obat untuk menghasilkan sel telur lebih banyak. Agar aku bisa memeriksanya lebih lanjut mengenai sel telur kamu. Kemudian aku akan meminta sel s****a dari Pak Ardan. Tentunya aku mau sel s****a yang fresh. Ada ruangan untuk mengeluarkan sel itu di sini, tenang saja. Pak Ardan bisa meminta bantuan El jika mengalami kesusahan untuk mengeluarkannya.” “Dia bisa melakukannya sendiri,” jawabku yang ternyata memotong pembicaraan. “Lanjutkan!” “Sisanya serahkan kepada aku dan tim. Nanti jika sel telur berhasil dibuahi, embrionya akan kami transfer ke dalam Rahim kamu, El. Tenang, mungkin akan sedikit merasa kram kecil, atau mungkin tidak sakit juga. Nanti kamu akan merasakannya. Setelah itu, embrio akan berkembang dan seperti kehamilan pada umumnnya, berubah menjadi janin dan akhirnya lahir,” sambung Nindi menjelaskan. Mendengarnya saja sudah tidak enak, apalagi menjalaninya. Aku sangat tidak ingin melakukan ini semua. “Itu semua tidak kita lakukan hari ini, kan?” tanyaku. “Tidak. Perlu waktu untuk proses itu. Tidak mungkin semuanya selesai hari ini. Sekarang aku akan berikan obat untuk kalian berdua agar besok saat pemberian sampel sel telur dan s****a, keduanya sangat bagus hasilnya dan programnya bisa dengan mudah dilakukan,” kata Nindi. “Jadi, kami datang lagi esok hari?” tanyaku. “Apa kamu yakin hanya ini yang bisa kami lakukan untuk memiliki keturunan lagi?” “Mengingat kamu yang sudah berusia lanjut dan selama ini kamu meminum pil KB, aku tidak yakin jalan kawin biasa bisa membuat kalian berhasil.” Nindi tampak melihat ke arah Mas Ardan sepanjang berbicara. “Aku sarankan program ini karena Pak Ardan memintanya dalam waktu singkat,” jawabnya. Kembali lagi ke permasalahan Mas Ardan, permintaan dia lagi yang menjadi alasan. Aku sampai muak mendengarnya. Kemudian, aku menoleh ke arahnya dan sekarang dia membuang tatapannya ke arah lain. “Oke. Kita lakukan besok,” ucapku. Mudah-mudahan ini berhasil dan membuat kami pisah. Aku harap perpisahan kami bisa membawa keberuntungan dan membuatku lega. Selagi Nindi mengurus keperluan, tersisalah aku dan Mas Ardan. Dia tidak mengajakku berbicara, mungkin masih tersinggung karena aku bilang mandul. Namun, aku juga sakit hati karena dia mengatakan aku lah yang mandul. “Seharusnya kita periksa kesuburan, agar tahu siapa yang mandul di antara kita.” “Hanya orang bodoh yang mau memeriksakan kesuburannya dua kali dalam satu minggu. Aku sudah diperiksa dan hasilnya bagus. Kamu yang harus periksa!” kata Mas Ardan. “Aku harap kamu bisa cepat hamil dalam waktu singkat agar bulan depan kita bisa pisah.” “Bulan depan?!” pekikku. “Aku hamil dan kamu merencanakan perpisahan saat aku hamil?” “Kenapa? Kamu keberatan? Bukannya lebih cepat itu lebih baik? Kamu tidak suka kalau kita pisah dalam waktu yang sangat cepat?” tanya Mas Ardan. Aku tidak mau lagi berdebat masalah itu. Setelah mendapatkan obat dari Nindi, kami pun keluar dari ruangan. Hal yang mengejutkan lagi untukku, Ayah dan ibuku di luar ruangan, sedang duduk menunggu kami. Sesampainya aku di luar ruangan, mereka berdiri dan menghampiri kami berdua. “Bagaimana? Apa dokternya bilang bisa?” tanya Ayah. Ternyata Ayah juga turut andil dalam permasalahan ini. Benar kata Mas Ardan, Ayah yang meminta anak lagi. Pantas saja Mas Ardan begitu ingin melakukannya segera. “Bisa. Kami akan lakukan itu besok,” jawab Mas Ardan. “Apa hasilnya bisa keluar dalam waktu singkat?” tanya ibuku. “Bu! Sadar sama omongannya?” tanyaku dengan heran. “Ibu juga ingin semua terjadi?” “Kalau itu hal yang bagus untuk kamu, Ibu setuju.” Aku begitu muak dengan mereka semua sampai akhirnya aku pergi meninggalkan mereka di sana. Biar saja panggilan dan teriakkan untukku bergema di rumah sakit, asalkan aku bisa terbebas dari mereka semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD