Mendekati Evan

2255 Words
Mencoba untuk bertahan memang tidak pernah ada yang mudah. Mempertahankan pernikahan yang sebenarnya sangat sulit untuk aku jalani sementara orang yang menjadi suamiku adalah orang yang paling ingin menyiksaku setiap malam bahkan setiap menit jika dia bisa. Aku merindukanmu … sungguh. Seandainya dia tetap hidup, mungkin aku akan menikah dengannya dan tidak akan pernah bertemu dengan iblis berwajah tampan seperti Mas Ardan. Pria yang berhasil membuatku terpikat dengan pesonanya sekaligus membuatku menderita karena sikapnya yang sangat jahat. Kak Helmi. Aku tahu ini keinginan yang sangat mustahil, mengharapkan orang yang telah mati untuk hidup kembali dan membuatku tersenyum. Beberapa bulan kami berpacaran saat itu cukup membuktikan kalau Kak Helmi adalah sosok yang aku butuhkan, bukan Mas Ardan. Sayangnya, takdir berkata lain, Kak Helmi dikabarkan meninggal dan aku harus dijodohkan dengan pria tampan berhati iblis. Andai Kak Helmi masih ada, mungkin aku akan menolak perjodohan itu dan memaksa untuk menyetujui pernikahan kami. Evan sedang di kamar sekarang, menikmati sarapan paginya yang baru saja selesai aku buat. Sementara Mas Ardan sedang di meja makan, menunggu aku menghidangkan masakan untuknya. Aku tahu sejak awal dia memperhatikan tubuhku, tetapi aku abaikan saja. Obrolan kami semalam cukup membuat beban pikiranku bertambah hingga aku segan untuk memulai percakapan dengannya. Beberapa menit kemudian, saat aku sedang berdidi di bibir meja sambil menghidangkan makanan, akhirnya dia bersuara dan membuatku kebingungan. “Sampai kapan kamu mau menyembunyikan Evan dariku, El?” tanya Mas Ardan dengan suara beratnya. “Maksudnya?” balasku bertanya. Terdengar suara decakan malas dari mulutnya yang diiringi suara ponsel yang kuncinya terbuka. Aku yakin dia tidak akan mau menjelaskan detail pertanyaannya untuk aku. Gengsi yang terlalu tinggi, padahal tidak sulit untuk dilakukan. “Bawa dia ke sini! Kamu yang minta dia untuk tidak aku sakiti, tetapi kamu yang memulainya. Dia takut karena kamu yang mendoktrinnya untuk takut sama aku,” katanya dengan suara yang mulai meninggi. Kepalaku sontak menoleh ke arahnya dan memberikan wajah yang kebingungan. “Lantas kamu pikir aku yang membuatnya takut sama kamu?” tanyaku sambil menuang makanan ke mangkok yang ada di depannya. “Kamu pikir semua ini salah aku? Kayaknya di kamus hidupmu tidak ada kata bersalah kali, ya? Sampai hal-hal seperti ini saja kamu melimpahkan kesalahan ke orang lain.” “Kamu bukan orang lain,” kata dia menjawabnya dengan tegas. “Kamu istriku dan memang benar kamu yang membuatnya takut sama aku. Kalau kamu tidak menjauhkan kami, mungkin kami bisa sangat dekat. Seperti ayah dan anak yang lainnya.” Aku hentikan pergerakanku untuk menghidangkan makanan. Mas Ardan terlihat tersenyum licik di tempatnya. Aku sangat tahu kalau ini semua adalah bagian dari rencananya. Dia menyudutkanku seolah bersalah dan kemudian dia bisa membawa Evan ke mana pun dia inginkan. “Terus terang saja, Mas! Apa yang kamu inginkan dari mendekati Evan? Kamu ingin mengancam dia agar aku menuruti keinginannya dan kamu ingin dia yang meminta kepadaku untuk mempunyai adik lagi?” tanyaku berterus terang. Mas Ardan pun mengalihkan perhatiannya ke gelas s**u yang baru aku tuang. Dia habiskan hingga setengah penuh sambil terus menatapku dengan penuh niat jahat. Setelah itu, “Tidak ada yang aku inginkan. Hari ini akan ada pertemuan dengan klien dan mereka bawa anaknya masing-masing. Aku ingin bawa Evan. Apa itu salah?” “Jelas salah! Tidak pernah kamu bawa Evan ke kantor sejak dia kecil dan sekarang kamu ingin membawanya tiba-tiba. Aku tidak bisa percaya dengan kamu,” sahutku. Mas Ardan pun tertawa keras hingga aku muak mendengarnya. “Benar kataku, kan? Kamu yang membuat dia jauh denganku, El! Bukannya aku. Kalau kamu ingin aku dekat dengan Evan, biarkan kami terus memiliki waktu berdua. Kamu bilang anakmu butuh sosok Ayah, kan?” tanya dia. “Tidak akan!” tegasku sambil melempas piring berisikan perkedel kepadanya. “Aku tidak akan mau memberikan hal itu kalau hanya untuk memuaskan keinginanmu yang lain.” Tentu saja hal itu membuat Mas Ardan marah. Namun, dia sembunyikan kemarahannya. Aku tidak mungkin membiarkan Evan ikut dengannya. Bukan hanya Evan yang akan ketakutan, tetapi reputasi Mas Ardan juga akan rusak karena Evan yang akan diam dan menunduk sementara anak lainnya akan riang gembira. Apa yang akan teman-temannya katakan pada Mas Ardan nanti? “Kalau begitu aku juga melarangmu membawa dia ke mana pun hari ini. Dia harus di rumah sampai aku pulang dan kamu wajib pergi dari rumah ini untuk ikut aku ke kantor. Bagaimana?” Aku langsung terdiam mendengarnya yang seperti itu. Mungkin ini akan menjadi satu dari sekian banyak masalah hari ini. “Oh jadi kamu berbalik menghukum Evan dengan sendirian di rumah ini?” “Terserah kamu beranggapan apa. Intinya aku mau kamu ikut ke kantor, tetapi Evan di rumah.” Dengan berat hati, aku yang tidak akan tega membiarkan Evan sendirian pun pasrah. “Oke, aku izinin kamu ke pertemuan dan membawa Evan.” Mas Ardan pun tersenyum lebar. “Terima kasih, istriku!” *** Setiap beberapa menit sekali, Evan selalu menoleh ke belakang dengan tatapan yang benar-benar sulit aku lihat. Sangat sulit aku memutuskan hal ini, tetapi tidak ada jalan lain yang bisa dipilih selain ini. Keinginan Mas Ardan seolah tameng besar yang tidak bisa aku lawan. Selalu ada pelapis untuk menahan pemberontakan dariku. Sampai akhirnya kami sampai di kantornya. Sebuah Gedung tinggi yang terletak di pusat kota dan tentunya sangat megah di dalamnya. Mewah dan rapi. Kali pertama aku masuk ke tempat ini dan bagaikan sebuah tempat yang pernah aku lihat sebelumnya. Kapan? Aku juga tidak tahu itu kapan, tetapi ini tidak asing bagiku tentunya. “Kamu tidak perlu ikut ke dalam! Hanya di luar! Evan saja yang masuk.” Mas Ardan menjelaskannya dengan begitu tegas. Aku dapat melihat tatapan matanya yang tidak suka. Aku yakin karena permintaan tadi pagi yang memaksa untuk ikut dan membuat Mas Ardan geram. Akhirnya aku mengangguk dan melihat perginya anakku menjauh. Sementara itu Evan terus memandangku dengan tatapan teduhnya, tetapi aku tahu apa arti tatapan yang itu. “Sabar, El. Aku harus bisa mencari jalan keluar dari semua permasalahan ini. Mungkin pergi lebih baik daripada harus bertahan,” gumamku. Perbincanganku dan Mas Ardan semalam membuatku paham apa arti cinta. Bukan cintaku kepada Mas Ardan, melainkan kepada Evan. Aku tidak mungkin membiarkan Evan tersiksa hanya karena perlawananku terhadap Mas Ardan. Jika aku sendirian pun, mungkin Evan bisa bebas berekspresi ketimbang di rumah. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengannya cepat atau lambat. Air mata mulai turun seiring melihat wajah mungil Evan yang seolah meminta pertolongan tadi. Sambil menunggu, aku terus memandang jam yang begitu lama berputar. Gusar menunggu Evan di sini serta tidak bisa aku tahu apa yang dia lakukan kepada anakku. Jemput aku, Ibu. Tarik aku, Ibu. Seolah itu yang bisa aku dengar dari benak hati Evan. Apa yang terjadi di dalam sana pun aku tidak tahu. Entah apa memang benar pertemuan yang membawa anak atau tidak, aku tidak mengerti. Walau di dalam hati aku terus percaya kalau semua ini tipuan, tidak mungkin ada pertemuan pekerjaan yang membawa anak. Akhirnya aku mencoba untuk bertanya kepada pegawai yang bekerja di depan pintu masuk. “Pagi, Mba! Saya boleh tanya sesuatu?” tanyaku pada pegawai yang Bernama Indah, dapat kulihat Namanya di name tag baju. “Iya, Bu Ardan. Ada apa?” tanya dia dengan ramah. Ternyata dia sudah tahu kalau aku istri Mas Ardan. Aku pikir pria jahat itu tidak mengenalkanku pada pegawainya. “Hari ini Pak Ardan memangnya ada pertemuan dengan klien?” tanyaku dengan berterus terang. Pegawai itu pun menggelengkan kepalanya. Baru saja dia ingin menjawab, aku sudah langsung menyelanya. “Apa saya boleh masuk ke ruangannya?” “Ma-masuk saja, Bu. Tidak ada hak saya untuk melarang,” katanya. Aku langsung berlari ke arah lift dan menekan tombol 24, lantai yang tadi Mas Ardan tuju. Sesampainya di atas, aku langsung berjalan cepat ke ruangannya dan memang satu-satunya ruangan bertulisan jabatan di depan pintu. Tanpa perlu aku ketuk, aku buka pintunya dengan perlahan dan tentunya Mas Ardan langsung melihat ke arah pintu. Dia yang duduk rapi di belakang meja pun terdiam, lalu sedetik kemudian dia memasang wajah marahnya. Aku tahu ini salah, tetapi aku langsung masuk ke dalam sana dan memeriksa keadaan Evan. Dia duduk di sofa ruangan sambil memegang ice cream di tangan kanannya. Sementara di depannya ada laptop yang menyuguhkan tampilan kartun yang sangat Evan suka. Dia menatapku sambil tersenyum dan tangan kirinya melambai kepadaku. “Aku lagi nonton kartun sama makan es krim. Kata Ayah boleh makan es krim, maaf, Ma.” Aku terkejut bukan main melihatnya. Ternyata dugaanku benar-benar salah. Mas Ardan yang aku lihat di sini seolah menjaga Evan dengan sangat amat baik, sementara aku di luar meragukannya. “Iya, Sayang. Makan saja! Mama tidak larang kali ini.” Namun, setelah itu, Mas Ardan pun berjalan ke arahku dan menarik tanganku dengan kasar ke luar ruangan. Dia terus berjalan ke arah ujung Lorong dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang sumpek. Pasti ini Gudang, pikirku. “Apa yang kamu lakuin sebenarnya, sih? Nggak percaya kalau aku akan jaga dia hari ini?” tanya Mas Ardan dengan nada membentak. Ini salahku, sangat salah. Kalau saja aku percaya, mungkin ini semua tidak akan kembali. “Aku hanya ingin memeriksanya, Mas. Telepon aku juga tidak kamu angkat dari tadi. Setidaknya beri kabar agar aku bisa tenang!” “Kamu lupa kalau aku sedang bekerja? Aku melihat pesanmu saja tidak, Eliana! Kenapa kamu begitu curiga?” Mas Ardan terlihat begitu marah sekarang. Entah karena aku yang asal masuk atau dia yang merasa kalau aku tidak mempercayainya. “Sudah puas curiganya? Sudah lihat anakmu sedang apa tadi? Apa dia aku lukai?” tanya dia lagi. Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala ringan sambil menunduk dalam. Takut aku melihat matanya yang nyalang. “Sekarang gantian aku yang berulah, kamu diam di sini sampai aku pulang kerja!” Mas Ardan mendorong tubuhku hingga terjatuh dan saat itu juga dia pergi dari ruangan ini. Terus aku berusaha menggapainya. Buru-buru aku berlari mengejar. “Mas! Tolong jangan tinggalin aku di sini!” Terlambat, pintunya tertutup rapat dan …. Hal yang paling aku benci saat ini, tidak ada kenop pintu dari dalam padahal tadi kulihat ada dari luar. Terdiam aku di belakang pintu, di ruangan yang tidak ada ventilasi sama sekali. Tidak ada cahaya di sini, sehingga aku gunakan ponsel untuk penerangan. Pendingin ruangan pun tidak menyala di sini, aku terjebak. “Mas Ardan, tolong jangan tinggalin aku di sini, Mas ….” Sambil berusaha aku menghubungi nomor Mas Ardan. Aku juga berteriak siapa tahu Mas Ardan masih di luar dan mendengarku. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang masuk ke dalam telinga. Salah aku berurusan dengan dia yang begitu keras kepala. Salah aku menduganya yang tidak benar. Berkali-kali aku hubungi Mas Ardan, tetapi tidak terjawab juga. Hingga akhirnya sinyal menghilang dan aku tidak bisa menghubunginya. *** Evan melihatnya, dia melihat ibunya yang dikunci di sebuah ruangan. Dia melihat ayahnya yang marah kepada ibunya, tetapi Evan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia berbicara sedikit saja, memprotes, pasti akan dimarahi oleh ayahnya. Lantas Evan pun kembali ke dalam ruangan ayahnya. Di dalam kantor Ardan, Evan sedang menikmati es krim dan tontonannya. Dia sudah ada niat untuk berusaha tenang saat ayahnya datang nanti. Dia tidak mau dihukum apalagi sampai terkena tangan Ardan yang kasar. Saat Ardan masuk ke dalam kantor, Evan langsung melihatnya dengan penuh pertanyaan. “Ayah, Mama ke mana?” tanya dia. Padahal Evan sudah tahu ke mana ibunya berada, dihukum oleh ayahnya di dalam sebuah ruangan. Ardan dengan santainya pun berjalan ke arah Evan. Dia duduk di sebelah Evan dan kemudian mengelus lembut rambut anaknya. “Mama lagi nunggu Evan di rumah. Nanti kamu pulang bareng sama Ayah saja, ya?” Begitu lembut dia berbicara dengan Evan, seolah hilang sosok Ardan yang jahat kepada anaknya dulu. Apa yang sedang dia lakukan saat ini pun sebenarnya tidak ada yang tahu. Menjalankan rencana apa sebenarnya dia? “Iya. Es krimnya udah, Evan nggak mau lagi,” katanya sambil menyodorkan gelas es krim tadi. Dia sudah tidak mau melakukan apa-apa karena sekarang yang Evan inginkan adalah ibunya, dia ingin menyelamatkan ibunya, tetapi bagaimana? Ardan pun menerimanya tanpa ada decakan seperti dulu. Dia kemudian berjalan ke arah satu ruangan di sebelah pintu keluar dan mengambil sebuah makanan ringan lagi untuk anaknya. Selagi itu, Evan mencari-cari kunci pintu ruangan yang tadi ayahnya gunakan. Tidak ada juga di dalam ruangan itu. Aksi Evan pun terhenti saat pintu ruangan mulai terbuka. Dia berlari dan duduk di belakang laptop kembali. “Apa itu?” tanya Evan dengan sok polos. “Hanya ada kue ini di sini. Kamu jangan minta macem-macem, ya!” tegur Ardan. “Jangan sentuh peralatan milik Ayah!” Sorotan mata Ardan yang mulai nyalang membuat Evan semakin takut. Dia akhirnya mengangguk saja. Lalu, Ardan pun berjalan mendekat dan memberikan kue untuknya. “Jangan pernah mau kalau dilarang Mama untuk dekat sama Ayah! Ayah nggak jahat sama Evan, kan?” tanya Ardan. “Hari ini Ayah kasih kamu es krim dan kue. Kalau Ayah jahat, nggak mungkin Ayah kasih kamu es krim.” Anggukan Evan yang polos itu memang benar terjadi. Evan benar-benar melupakan ibunya yang dikurung oleh ayahnya. Yang dia pikirkan adalah nikmatnya kue yang baru saja dia makan. “Apa kamu kesepian di rumah?” tanya Ardan. Evan pun menoleh singkat dan menatap ayahnya. Pandangan terkejut itu disertai gendikan di kedua bahu Evan. “Tidak tahu? Kenapa kamu tidak tahu kalau kamu kesepian atau tidak?” tanya Ardan lagi. “Kenapa?” tanya Evan kembali. “Kalau mau ada teman, Evan mau punya adik?” tanya Ardan lagi. “Kamu bisa punya teman main sama adik. Suatu saat Mama akan sibuk, kamu mau sendirian?” Evan menggeleng singkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD