Nirmala menjalani hari-harinya dengan bekerja di kantor papa Nuna. Tak butuh waktu lama untuk dirinya bisa berdaptasi dengan lingkungan. Kepandaian dan ketekunan Nirmala membuatnya panen pujian dari atasan dan juga rekan kerja yang lain.
Berangkat pagi dan pulang sore menjadi rutinitas keseharian Nirma, namun tidak dengan sabtu dan minggu. Dua hari itu dia bebas melakukan kegiatan apa pun. Nirma mengambil kesempatan untuk mencari pemasukan, semua dilakukannya untuk mendapatkan upah dan membayar hutang ayahnya. Nirma menjadi tukang cuci dan setrika panggilan.
Sebelumnya Nirma sudah menyebar pamflet dan juga iklan di beberapa iklan di media sosial. Hari ini ada beberapa orderan, membuat senyum lebar merekah di bibirnya. Tak butuh waktu lama untuk Nirma berangkat menjemput orderan. Mengendarai motornya yang selalu menemani dirinya kemana pun.
Mengeksekusi beberapa baju dan siap untuk dicuci bersih. Nirmala tak punya mesin cuci. Dia membersihkan semuanya dengan kedua tangannya. Letih dirasa, namun semangat juang seakan membara dan tak terkalahkan dengan apa pun.
Ketika semua cucian telah berada di jemuran. Nirmala merebahkan tubuhnya yang lunglai. Tiba-tiba ponselnya berdering. Diambilnya telepon genggam yang tergeletak di atas meja rias, dilihat nama Nuna di layar ponsel. Tombol hijau itu pun segera ditekan dan panggilan suara itu terhubung.
“Hai Nun, apa yang sedang kamu lakukan?”
“Nirma, bantu aku dong.”
“Bantu apa?”
“Sepuluh menit lagi aku akan menjemputmu. Ikutlah denganku!”
“Tapi Nun ...”
Belum selesai Nirma mengungkapkan isi hatinya. Nuna sudah mematikan sambungan telepon itu. Nuna memang selalu begitu. Penuh dengan misteri. Nirma pun bergegas mempersiapkan diri, memilih baju yang pas untuk dikenakan, dibukanya lemari yang terlihat bertumpuk-tumpuk baju terlipat rapi. Dipandang, dipilih lalu dicoba untuk ditempelkan di tubuhnya. “Tapi akan kemana aku? Memilih baju kan pastinya harus sesuai kemana tempat yang akan dituju”, gumam Nirma pelan. Diletakkannya kembali baju itu lalu dia pun menggulingkan kembali tubuhnya di atas kasur sambil menunggu Nuna datang menjemputnya.
Tak lama suara mobil Nuna terdengar telah sampai di depan kos Nirma, dibuka pintu kamarnya dan sejurus Nuna pun langsung masuk tanpa dipersilahkan.
“Nirma, aku punya kabar gembira buat kamu,” cerita Nuna.
“Kabar apa itu?”
“Aku diterima di perusahaan yang sangat aku idam-idamkan, Ma.”
“Sungguh? Selamat ya.”
Euforia membumbung dengan tawa yang terus saja mengiringi hingar bingar kebahagiaan. Dekapan erat sebagai wujud kasih antar keduanya.
“Ayo ikut aku ke butik Ma, antarkan aku untuk membeli gaun atau apa gitu,”
“Gaun? Kamu mau lamaran?” tanya Nirma dengan kernyitan dahinya.
“Bukan Ma, lagian aku tidak terlalu cantik begini, siapa yang mau melamar aku.”
Nirma tertawa menimpali, meledek Nuna yang seketika wajahnya cemberut padam.
“Sudah, aku hanya bercanda”
“Aku tidak seperti kamu Ma, dari semester satu aja kamu sudah banyak memikat hati laki-laki tapi aku tahu seleramu tinggi.”
“Bukan masalah selera, untuk apa menjajaki hubungan kalau endingnya tidak ke arah pernikahan.”
Keduanya saling berargumen, Nuna yang notabene adalah jomblo sejati, mulai dari awal berteman dengan Nirma tak satu pun laki-laki mau dekat dengannya, meski wajah Nuna tak begitu jelek, kulit hitam dengan rambut ikal, tapi keistimewaannya dia punya kepercayaan diri yang tinggi hingga dalam konteks apa pun dia bisa menjadi pribadi yang humble, sedangkan Nirma adalah gadis cantik dengan segala rendah hatinya, dia cenderung introvert daripada Nuna, banyak sekali laki-laki yang menaruh hati padanya, tapi semua tak berarti apapun di hati Nirma, dia berkomitmen akan melabuhkan cintanya hanya untuk satu orang kelak di waktu yang tepat.
“Jadi untuk apa kamu mau beli gaun baru?”
“Bosku mau menikah, direktur utama di kantorku.”
“Harus pakai gaun baru ya kalau menghadiri acara pernikahan bosmu?”
“Badanku semakin mengembang Ma, tak ada yang pas saat kucoba tadi”
“Baiklah, akan kuantar princess ini”
“Tidak hanya itu, besok kamu juga harus ikut bersamaku ke pernikahan itu”
Nirma terkejut dengan ajakan terakhir yang keluar dari mulut Nuna, sama sekali dia tak menduga jika harus pergi bersama dalam sebuah pernikahan bosnya itu, dia pun menolak dengan segera, Nuna memaksa. Tiada yang bisa Nirma tolak jika Nuna sudah memohon dengan wajah melasnya, dengan sedikit keraguan dia pun mengangguk tanda menyetujui ajakan Nuna.
Butik yang berada sekitar tiga kilometer dari kos Nirma adalah tempat langganan keluarga Nuna, sederet pakaian dipamerkan dan siap untuk dipinang oleh pembeli. Nuna yang tengah sibuk memilih satu persatu tampilan busana yang dipampang itu terlihat begitu kebingungan, di sisi lain Nirma duduk di sebuah sofa berwarna kopi s**u dan menikmati sajian majalah fashion yang terletak di atas meja kaca itu.
“Ma, sini...bantu aku”
Nirma memandang ke arah Nuna yang sepertinya telah kalut dengan pilihan busana yang terpampang dengan estetikanya. Dihampirinya dengan penuh keterpaksaan.
“Aku tidak begitu tahu tentang tren sekarang Nun, minta bantuan saja sama mbak-mbak yang bertugas membantu di sini” Nirma memberikan ide seraya melirik petugas butik yang berdiri di samping deretan busana itu.
“Aku sudah minta bantuannya, tapi aku juga mau pendapat darimu Ma” jawab Nuna meyakinkan.
Setelah lebih dari satu jam ke duanya memilih, berdebat satu sama lain dalam sebuah pilihan. Akhirnya busana berwarna peach dan berhiaskan mutiara itu pun telah memikat hati Nuna, dibelinya segera dan Nirma seakan bernapas lega.
Keluar dari butik terlihat matahari terjatuh di langit barat, sore telah tiba. Cahaya sang raja itu pun terlihat hadir sepenuh hati, meski samar-samar masih terasa di kulit. Nuna mengemudi mobilnya dan berhenti di sebuah kedai es krim, Nuna sangat menyukai minuman krimer itu, dibelinya dan keduanya pun menikmati dengan penuh kesukaan.
“Besok aku akan menjemputmu jam 6 sore, gedung pernikahannya tidak jauh dari kosmu.”
Nirma mengangguk tanpa berkata apapun, dia masih terfokus pada es krim di tangannya dan terus m******t rasa vanilla itu.
#
Pesta pernikahan seorang direktur utama terlihat begitu sangat mewah, banyak rangkaian bunga sebagai tanda hormat dan ucapan selamat terpampang di sepanjang jalan menuju gedung tempat resepsi diadakan, tamu undangan datang dengan paras wajah tak seperti biasanya saat berada di tempat kerja, begitu pun dengan Nuna, eyeshadow dan eyeliner menghiasi matanya serta dua buah bulu mata palsu terpasang menghiasi mata indahnya, ukiran alisnya bak bulan sabit, blush on berwarna pink itu turut hadir menyikat pipinya, dan goresan lipstik berwarna senada dengan gaunnya membuat orang yang memandang seakan tak mengenali jika itu adalah Nuna.
“Kenapa kamu tak berhias sedikit pun Ma,” protes Nuna melihat Nirma dengan wajah polos tanpa sentuhan make up sedikit pun.
“Sudahlah, aku lebih suka begini”
“Setidaknya pakailah sedikit lisptik agar kau tak terlihat pucat, Ma”
Nuna mengeluarkan pouch make up nya dan mengambil lipstik berwarna peach itu untuk diberikan kepada Nirma, dengan bujuk rayuan Nirma pun menurut. Setelah semua siap keduanya pun turun dari mobil dan menuju gedung yang telah ramai dengan tamu undangan yang datang. Gempita meriah acara dengan jamuan yang luar biasa, sederet hiasan bunga terletak di setiap penjuru gedung, iringan senandung cinta menambah keakraban bagi tamu yang datang, alunan merdu suara penyanyi dengan syair cintanya membuat tubuh ingin ikut serta menikmati alunan nada yang begitu enak didengar telinga.
Memasuki ruangan mata Nirma tertuju pada kedua mempelai dengan seksama, serasa dia telah mengenal pengantin itu, dipikirnya berulang-ulang hingga dia pun teringat sosok lelaki yang menabraknya saat mengantar Nuna interview di kantor papanya itu, tidak salah lagi tebakannya, setelah ia menanyakan pada Nuna dia adalah Leo Mahendra, pemilik jabatan tertinggi di kantor Nuna. Pandangan itu masih tetap tertuju pada laki-laki yang memiliki tubuh gagah dengan senyum indah yang dipamerkan pada seluruh tamu undangan. Nirma membisu, seolah tiada kata-kata yang ingin dia katakan lagi tentang pengantin laki-laki itu. Nuna menyenggolnya dan membuyarkan seluruh perasaannya yang berlabuh tanpa muara.
“Wanita bernama Rosmalina itu begitu beruntung mendapatkan pak Hendra”
Nirma menoleh ke arah suara yang sangat jelas terdengar di telinganya, mendengar untaian cerita dari Nuna yang mash terputus dan segera dilanjutkannya kembali.
“Laki-laki yang sangat sopan, berjuta wanita menggoda tapi cintanya tetap untuk Rosmalina, tampan, mapan dan yang paling penting selalu baik dengan karyawan, tidak pernah membedakan, selalu bersikap rendah hati dengan semuanya.”
Nuna menghentikan ceritanya, diambilnya sebuah piring kosong lengkap dengan sendok dan garpu, berjejer makanan yang sudah siap untuk disantap. Diambilnya spagetti dan beberapa daging di sana, Nuna menikmati sajian itu dengan tetap berdiri di samping Nirma.
“Apa perempuan itu juga bekerja satu kantor denganmu?”
“Iya, bahkan dia juga sepantaran dengan kita, hanya saja dia tidak kuliah dan nasibnya begitu beruntung, mendapatkan laki-laki seperti Romeo itu.”
“Pasti wanita itu juga punya banyak kelebihan.”
“Aku rasa dia hanya pandai berkomunikasi, dari segi prestasi kerja pun sama dengan karyawan yang lain, mungkin pak Hendra mencintainya karena Rosma wanita tercantik di kantor, tak ada yang bisa menandingi kecantikannya”
“Sepertinya kamu tahu semuanya tentang istri bosmu itu?”
“Maklum saja satu kantor itu ramai membicarakan mereka.”
Sesekali Nirma menatap wajah laki-laki itu dari kejauhan, mungkin cerita Nuna benar adanya, guratan senyum dan sikap yang ditunjukkan menandakan dia adalah seorang bos yang berkharismatik.
“Suatu saat jika Tuhan mengijinkan, aku ingin menikah dengan laki-laki seperti pak Hendra.”
“Sebegitu istimewakah dia di matamu.”
“Iya, dia bagai burung merpati, banyak wanita menggoda dia tetap pada pilihannya, seperti juga kupu-kupu yang hanya setia dengan satu pilihannya.”
Nuna memandang pak Hendra dengan penuh kekaguman, bibir tipisnya tersenyum, dia seperti telah berimajinasi tentang pasangan idaman.
“Sudah jangan berkhayal terus, kapan kamu santap makananmu itu?”
Kebahagiaan kedua mempelai terlihat begitu jelas, memamerkan senyum terindah, memberikan dekap hangat bagi siapa pun yang memberikan selamat, cahaya lampu berwarna putih terang memberikan nuansa pesta menjadi begitu sempurna, dekorasi penuh dengan bunga setaman memberikan semerbak keharuman di seluruh ruangan. Pangeran dan permaisurinya kini telah berbahagia.
Menikmati hidangan yang telah disediakan. Tiba-tiba saja Nirma merasa ingin ke kamar mandi. Dia pun segera menuju ke tempat yang ditujunya. Nirma menyelesaikan keinginan hatinya. Saat semua selesai. Nirma pun segera beranjak untuk keluar dan menatap ke cermin sebentar. Membenahi pakaiannya yang kurang pas dirasa.
Nirma melangkah dengan pelan, dia masih berfokus dengan pakaiannya yang sedikit basah. berjalan dengan sedikit menunduk dan memegang sebagian kain yang belum kering itu. Saat akan berbelok arah dia tak sengaja menabrak seorang laki-laki. Nirma pun terjatuh seketika, dan laki-laki itu dengan sigap menolongnya. Sehingga tubuh Nirma tak sampai ke lantai.
Nirma dalam dekap laki-laki itu. Tatapan mata mereka bertemu. Tak berkedip sedikit pun. Entah mengapa seolah ada detak jantung yang mengalun syahdu, seperti untaian melodi dengan nadanya. Nirmala masih diam dan terus menatap. Napasnya seakan terputus. Dan tubuhnya melandai tanpa bisa melakukan apa pun.
Tatapan laki-laki itu sungguh membuat Nirmala membisu. Kelu bibirnya dan menjeda seluruh aktivitas matanya. Keduanya hanya menatap dan diam. Genggaman tangan laki-laki itu membius rasa yang tak bisa diungkapkan. Mengalir partikel-partikel di setiap inci peredaran darah. Nirma tertegun dan memejamkan mata sejenak.