Usaha untuk mendapatkan pekerjaan seolah tak semudah membalikkan telapak tangan. Nirmala tak diterima, penolakan itu membuatnya terdiam cukup lama. Nilai indeks prestasi kumulatif yang cukup tinggi tak menjamin dirinya langsung diterima.
Nirmala membuka sosial medianya. Dilihatnya sebuah pesan yang membuat dirinya penasaran. Tak lama dia pun membacanya perlahan.
Hai Nirmala
Aku pak Robby
Tuan tanah yang dulu menjadi majikan ayah dan ibumu
Nirmala, bisakah aku menemuimu
Ada hal penting tentang sebuah tanggung jawab orang tuamu
Yang sampai saat ini belum terselesaikan
Pesan itu membuat pikiran Nirmala terbang kesana-kemari. Menerka satu demi satu hal yang bisa dicerna oleh pikirannya sendiri. Nirmala mencoba mengingat tentang pak Robby dalam batas ingatannya.
Lima menit kemudian Nirmala pun menjawab pesan itu. Dia bersedia bertemu dengan pak Robby. Nirmala baru sadar bila pak Robby adalah tetangganya di kampung, seorang juragan kaya raya yang memiliki banyak tanah.
Setelah mendapat jawaban, Pak Robby akan datang ke Jakarta untuk menemui Nirmala. Sore ini juga pak Robby akan terbang dari Banyuwangi ke Jakarta. Keduanya pun akan bertemu di sebuah restoran yang tak jauh dari tempat Nirmala tinggal.
***
Mobil berjejer di parkir dengan rapi. Nirmala tak datang seorang diri. Dia mengajak sahabatnya, Nuna. Untuk menemaninya agar dirinya tak merasa canggung atau bahkan merasa tak bisa menguasai keadaan.
Sejenak, Nirmala melihat laki-laki bertopi dengan sebatang rokok di tangannya. Meja nomor sembilan belas menjadi tempat untuk mereka bertemu. Nirmala bergegas dengan langkah kaki yang lebih cepat.
“Selamat malam, benar dengan pak Robby?” sapa Nirmala.
“Iya, kamu Nirmala?” sahut pak Robby.
“Iya, saya Nirmala dan ini teman saya, Nuna.”
Mereka bergantian bersalaman. Nirmala berbalut senyum, meski hatinya berdebar. Menunggu sebuah kalimat yang akan engantarkan sebuah informasi untuknya. Mereka pun duduk dan server segera datang untuk menawarkan menu.
Nirmala dan Nuna hanya memesan minum. Meski pak Robby berulang kali menawarkan tambahan menu lain. namun keduanya menolak dengan halus. Nirmala seperti tak sabar untuk segera mendengar apa yang menjadi pertanyaan dalam pikirannya.
“Pak Robby, apa yang sebenarnya ingin Bapak sampaikan? Sampai Bapak jauh-jauh dari Banyuwangi ke Jakarta.”
“Kapan hari kamu sempat pulang ke Banyuwangi untuk menengok makam orang tuamu?” tukas pak Robby.
Nirmala mengangguk pasti. Lalu kembali menunggu kata demi kata yang membuanya merasa sangat penasaran.
“Nirmala, aku hanya mau bilang, orang tuamu memiliki hutang denganku senilai lima ratus juta rupiah.”
Mendengar ucapan pak Robby, Nirmala terkejut bukan main. Pandangannya nanar. Menatap laki-laki berkumis dengan topi koboynya. Bibir Nirmala terasa kelu. Seakan mengunyah perkataan yang di dengarnya terasa sangat susah untuk ditelan.
“Ayahmu berjanji akan melunasinya sebulan sebelum dia meninggal, karena aku tak tega melihatmu sebatang kara, maka aku pun tidak menagih hutangnya.”
Nirmala terus mendengarkan dengan degup jantungnya yang berkobar. matanya menatap penuh ke arah pak Robby. Tanggannya mendadak basah penuh keringat dingin. Nirmala kembali memasang telinganya, menunggu lanjutan sebuah pernyataan dari laki-laki bernama Robby itu.
“Ada anak buahku yang melihatmu datang ke kampung, dia mendengar semua percakapanmu di pemakan orang tuamu, aku pikir kamu sudah sukses dan pastinya bisa membayar semua hutang ayahmu.”
Nirmala menelan ludah. Kenyataan ini terasa sangat sulit untuk dipercaya akal sehatnya. Nirmala tak cepat percaya. Banyak sekali sesuatu yang mengganjal di hatinya. Mendengar dan mencerna dilakukannya terlebih dahulu, sebelum dirinya memtuskan untuk mengeluarkan kata-kata.
“Terima kasih pak Robby sudah mengatakan hal ini pada saya, mohon maaf bisakah Bapak tunjukkan bukti agar saya bisa lebih mempercayai hal tersebut?” pinta Nirmala.
“Tentu bisa, Nirmala.”
Pak Robby segera mengeluarkan ssuatu dari dalam tasnya. Secarik map yang berisi kertas itu segera ditunjukkan pada Nirmala. Tak butuh waktu lama, Nirmala pun meraihnya segera. Kedua matanya tertancap pada sebuah perjanjian yang tertandangan bermeterai.
Seketika dadaa Nirmala sesak. Kenyataan pahit ini membuat jantungnya seakan luruh dengan, menyesaki partikel di setiap inci. Nirmala seperti tertampar dalam lamunan. Kesedihan pun hinggap dalam sanubari yang riuh meratapi.
Kertas itu kembali ditutup. Nirmala mengembalikan lagi kepada tuan tanah yang ada di depannya. bibirnya kelu, tubuhnya pun seakan kaku. Berontak nestapa hanya sebuah kesia-siaan yang tak bisa merubah keadaan.
“Nirmala, Aku memberimu waktu tiga bulan, untuk melunasi semua hutang-hutang Ayahmu,” tukas pak Robby.
Nirmala dengan pandangan kosong itu terkejut seketika. Kedua bola matanya tertancap pada sosok laki-laki paruh baya di depannya. Nirmala hanya bisa menelan ludah.
“Tolong berikan saya tambahan waktu, Pak!”
Nirmala memohon dengan sungguh. Binar matanya penuh dengan pengharapan. Detak jantung yang berdegup, menyelaraskan dengan getar nadi yang riuh dalam balutan tubuh.
“Tidak bisa, Nirmala. Aku sudah memberikan waktu lebih dari cukup.”
“Lima bulan, Pak. Bolehkah?”
Tuan tanah itu menggeleng. Tak ada persetujuan darinya. Nirmala semakin menciut, tak bisa menawar lagi, selain diam dengan pandangan yang sangat menyakitkan.
“Jika dalam waktu tiga bulan kamu belum bisa membayar hutang ayahmu, maka aku akan ...”
Tuan tanah itu menghentikan perkataannya. Nirmala pun merasa sungguh penasaran. Dia tak tahu apa maksud dari ucapan laki-laki berkumis tebal itu.
“Akan apa, Pak?” ujar Nirmala.
“Kita lihat saja nanti, aku harus pergi, Nirmala.”
Pak Robby mengambil tas kerjanya, lalu segera berbalik badan, membayar tagihan untuk pesanan dirinya, Nirmala dan juga Nuna. Kemudian tak lama pak Robby sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.
Mata Nirmala basah, membanjiri pipi dengan kesedihan yang bertambah, menyesaki pemikirannya. Nuna, sang sahabat segera menarik tubuh dan menengadahkan sebuah pelukan hangat. Didekapnya Nirmala dengan penuh kasih, sembari berusaha mengusap kedua mata yang semakin berkaca-kaca.
“Nirmala, menangislah sejenak, luapkan semua agar dirimu bisa menyusun kekuatan dari air matamu yang jatuh itu,” ucap Nuna.
“Bagaimana aku bisa mendapatkan uang lima ratus juta dalam waktu singkat, tiga bulan saja, Nun.”
“Kita akan pikirkan caranya bersama, Nirmala.”
Kedua gadis yang penuh dengan mimpi itu segera berdiri dan meninggalkan restoran. Nirmala dengan kosong pemikirannya. Dia seakan tak menemukan jalan. Tersudut di sebuah jalan buntu yang tak bisa memberikannya jalan keluar.
***
Nirmala berkutat dengan komputernya. Dia yang gagal dan kini tengah terpuruk dengan sebuah kabar yang sangat mengejutkan, menggerogoti sedikit demi sedikit kemampuannya. Nirmala tak pantang menyerah sebelum semuanya berada di titik akhir.
Tatapan matanya tertuju pada sebuah kalender duduk yang berada di samping laptopnya. Nirmala mengambil pena. Dia segera melingkari tanggal hari itu juga. Menghitung mundur dalam waktu tiga bulan yang sudah ditentukan.
Dia akan berusaha lebih giat. Entah bagaimana saja dirinya akan terus mencoba. Kini internet menjadi sasaran empuknya. Mencari referensi dan peluang yang ada. Saat dirinya sedang fokus tiba-tiba ponselnya berdering.
“Ada apa, Nun?”
“Nirma, kamu mau bekerja di kantor Papaku?”
Suara Nuna di ujung panggilan pesawat telepon itu begitu mengharukan Nirmala. Pikirannya yang masih terlihat bingung itu pun terdiam cukup lama.
“Nirma, apa kamu dengar kata-kataku?” cetus Nuna.
“Iya, aku mendengarkanmu.”
“Bagaimana?”
“Aku akan kabari besok pagi, ya.”
“Baiklah.”
Pembicaraan itu berakhir. Nirmala menatap langit-langit. Lalu merebahkan tubuhnya yang sudah mulai letih dan ingin menikmati tempat tidur. Tengah malam, dirinya masih sibuk dengan pikiran-pikiran yang sangat mengganggu.
Menjadi pegawai kantoran bukanlah cita-citanya. Sejak kecil dirinya ingin seperti ibunya yang menjadi seorang guru. Namun mimpinya itu seakan tak mudah untuk diwujudkan. Bahkan saat ini dirinya harus menanggung sebuah kesalahan yang tak dimengerti olehnya.
Pikiran Nirmala terus saja berputar, seperti kaset yang sedang dimainkan. Beberapa kemungkinan dan konsekwensi yang akan diambilnya. Mencoba menalar dengan pemahaman dan kemantapan hatinya. Hingga tak sadar letih tubuhnya membuat Nirmala mendayung di pulau mimpi.
***
“Ayah, apa engkau sudah bertemu Nirmala?” tanya Brodin.
“Tak usah khawatir, semua sudah Ayah rencanakan dengan cukup baik,” jawab pak Robby.
Brodin adalah anak semata wayang Robby. Dirinyalah yang pertama kali menatap Nirmala saat berada di bumi Banyuwangi. Menikmati kecantikan sang gadis dari jauh, dengan senyum yang terus saja mengiringi pijakan kaki Nirmala.
“Ayah yakin, ini akan berhasil?” tanya Brodin kemudian.
“Jangan panggil Ayah, jika hal sekecil ini Ayah tak bisa mewujudkannya.”
Kedua laki-laki itu tertawa dengan sangat keras. Hingga terdengar di halaman rumahnya, membuat beberapa tetangga yang lewat pun terheran dengan geleng kepala.
***
Nuna pagi-pagi ketika matahari baju saja sejengkal menampakkan senyumnya. Dirinya sudah berada di depan kos Nirmala. Mengetuk pintu tanpa diminta. Membuat Nirmala yang baru saja memebuka mata pun terkejut tak terhingga.
“Nuna, pagi sekali kamu datang.”
“Nirmala, aku butuh jawab sekarang.”
Nirmala masih terdiam, dia meninggalkan Nuna ke kamar mandi. Nuna yang melihat tingkah Nirmala pun merasa kesal. Mengambil remot televisi dan menyalakannya, agar bisa untuk mengurangi kebosanannya menunggu Nirmala dari kamar mandi.
Acara televisi membuat Nuna tersenyum tak kunjung selesai. Hingga saat Nirmala keluar dari mengguyur badannya dengan air, membuat Nuna tak sadar.
“Kamu kenapa pagi-pagi ke sini?” celetuk Nirmala.
Nuna segera mematikan televisi dan berbalik padan menatap Nirmala. Dengan wajah tertekut, Nirmala masih berkutat dengan peralatan tubuh yang baru saja diraihnya dari atas meja.
“Papaku butuh jawaban segera, Nirma.”
“Posisinya apa?”
“Sekretaris Papaku.”
“Tapi aku ingin jadi guru, Nun.”
“Tenang, ini hanya tiga bulan saja, sekretaris papuku cuti karena mau lahiran, sambil menunggu dirimu dapat tempat ngajar, kan?”
Nirmala bergeming, sembari pikirannya terus berputar. Mengingat nilai rupiah yang sangat banyak yang harus dibayarkannya dengan tempo yang sangat singkat.
“Kamu benar, Nun, tapi tiga bulan kerja di kantor Papamu apa bisa dapat lima ratus juta?”
Nuna menggeleng lesu. Tapi sejenak dia tersenyum lebar dengan memegang bahu sahabat karibnya itu.
“Kamu tenang saja, kita pasti akan dapat sumber rupiah dari jalan lain, Nirma.”
“Dari mana?”
“Jangan dipaksa untuk berpikir, otak akan merespon saat dirinya tidak tertekan,” gurau Nuna.
“Kata siapa?”
“Kata Nuna Ananda Dilma.”
Ucapan Nuna diiringi tawa. Membuat Nirmala sedikit bisa tersenyum tanpa beban. Guratan bibirnya tertarik dengan lepas. Menandakan Nirmala terhibur dengan celoteh Nuna.
“Kalau begitu, hari ini juga kamu ke kantor Papa, Aku akan mengantarkanmu.”
“Serius kamu?”
“Iya, Nirma.”
“Kenapa gak kamu manfaatkan kesempatan ini untukmu saja, Nuna? Bukankah kamu ingin menjadi pegawai kantoran?”
“Sudahlah jangan banyak tanya, aku pasti akan menjadi pegawai kantoran, tapi di waktu yang tepat dan di tempat yang aku inginkan.”
“Gaya banget sih kamu!”
Nirmala pun bersiap. Tak butuh waktu lama untuk dirinya. keduanya pun segera meninggalkan kos Nirmala dan menuju ke kantor Papa Nuna.
***
Saat dijelaskan mengenai hak dan kewajiban, hati Nuna kembali berdesir. Di depan Papa Nuna dia sembat terdiam untuk berpikir. Bekerja di sebuah perusahaan itu tak menjamin dirinya mendapatkan uang banyak untuk membayar hutang ayahnya.
Bahkan tak sampai seperempat dari jumlah tagihan hutang itu. Nirma tak mau mengecewakan Nuna. Dia pun menerima tawaran dari papa Nuna dengan gaji yang telah ditentukan, meski hanya sebagai sekretaris pengganti.
Disela-sela Nirmala membaca kontrak kerja, pikirannya melayang. Jika dirinya tak bisa membayar hutang, pastilah tuan tanah akan melakukan hal lain pada dirinya. Nirmala bergeming, akankah dirinya dipenjarakan atau bahkan dirinya harus dinikahi oleh tuan tanah yang sudah mulai keriput itu, seperti adegan di sinetron-sinetron yang pernah ditontonnya. Nirmala memejamkan mata, ingin menjauhkan pikirannya dengan yang namanya pernikahan. Dia tak sanggup dan dia tak mau. Tapi lagi-lagi pikirannya seolah menyeleweng dengan kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.
Bersambung.....
Yuk dukung terus Nirmala dengan tap love dan komennya, supaya gak sepi kayak kuburan dan bikin semangat diriku untuk melanjutkan ceritanya.
Lope u seindonesia raya... J