bc

Cengkir

book_age12+
179
FOLLOW
1.0K
READ
family
HE
time-travel
bxg
heavy
betrayal
affair
like
intro-logo
Blurb

Hidup sebatang kara bukanlah perkara mudah. Dunia dengan segala polemik yang ada membuat Nirmala harus bisa berdiri sendiri, meski badai berkali-kali mengadang dirinya tak boleh tumbang.

Tuhan menghadirkan cinta yang masih belum sempurna. Dia bersabar hingga cinta itu menyapa dan menginkannya. “Aku mencintaimu hanya karena putriku, jangan berharap lebih dari itu!!” kata-kata itu mencabik hatinya. Menikah hanya karena kebahagiaan sang anak, membuat Nirmala merasakan sedih yang harus ditutup dengan topeng kebahagiaan.

Nirmala tetap saja berdiri. Menanti cinta sejati yang akan didapatkannya suatu saat nanti, walau terjal selalu datang tapi senyum tak pernah ditinggalkan. Hidup Nirmala hanya untuk Mahendra, namun akankah Mahendra memberikan hatinya untuk Nirmala?

chap-preview
Free preview
Part 1 - Senyum kesedihan
Gema ikrar wisudawan berkumandang, alunan instrumen piano nan merdu menghiasi sejuta kebahagiaan para calon kebanggaan Bangsa dan Negara. Beribu ilmuwan kini telah memadati gedung dengan penuh khidmad. Serangkaian acara demi acara berlangsung sangat tertib. Euforia membunmbung tinggi bersatu dalam butiran cinta yang bersemayam dalam senyum setiap insan, momen wisuda dihadiri banyak orang terkasih, mulai dari orang tua, sahabat, kekasih dan keluarga besar. Tapi semua itu tidak dengan Nirmala, gadis yang dinobatkan sebagai wisudawati terbaik tahun ini hanya menikmati kebahagiaan itu sendiri, tanpa keluarga apalagi kekasih hati. Nirmala, gadis berumur dua puluh satu tahun berasal dari Banyuwangi, menempuh pendidikan S1 karena kepandaian dan kegigihannya hingga memperoleh beasiswa gratis. Yatim piatu tanpa ayah dan ibu, mengadu nasib di Ibu kota dengan sejuta mimpi yang ia gantungkan, paras yang sederhana, kulit putih bersih, senyum yang selalu ia pampang membuat semua mata yang memandangnya terasa begitu merasakan kesejukan. Tutur bahasa yang santun membuat Nirmala mudah diterima di lingkungannya. Hari ini, Nirmala Maheswari mendapatkan berjuta ucapan selamat dan juga kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ucap syukur tak henti-hentinya ia panjatkan, lewat setetes air mata ia persembahkan kebahagiaan yang ia rasa tanpa disangka. Perjuangan selama 4 tahun kini terbayar dengan hasil manis dan membanggakan. Saat beberapa penghargaan untuk dirinya disebutkan oleh pemandu acara, serasa hatinya melambung tinggi untuk kembali mengucap terima kasih pada Tuhan yang membuat ia bisa menjadi seperti apa yang diinginkan setiap orang. Berdiri di atas podium dan memberi sambutan di depan para wisudawan dan tamu undangan, sejuta senyum Nirmala hadirkan dengan segala kata mutiara penuh semangat, ia suguhkan untuk generasi penerus yang akan menjadi tumpuan negara. Pidato singkat Nirmala menghadirkan tepuk tangan antusias sebagai wujud apresiasi yang luar biasa untuk dirinya. Selesai upacara wisuda, semua berfoto bersama sebagai tanda kenang untuk keluarga, tapi Nirmala hanya foto seorang diri. Hatinya pilu, matanya sayu dan wajahnya seperti bunga layu merindukan sentuhan air. Pikiran Nirmala tertuju pada ke dua orang tua Nirmala yang telah almarhum lima tahun yang lalu. Nirmala harus berjuang sendiri di bumi ini, tiada sanak saudara, Ayah dan Ibu Nirmala sama-sama anak tunggal dan tak memiliki keluarga lagi. Kecelakaan yang mengakibatkan dua sayapnya menghadap sang Tuhan, Nirmala harus menguatkan diri saat semua yang dicintainya meninggalkan untuk selamanya. Kini dia berjuang hidup dengan berhiaskan cinta kasih dari sahabat, teman-teman, guru-guru bahkan dari orang-orang disekitarnya. Setelah berfoto, Nirmala duduk termenung di sebuah kursi panjang di bawah pohon yang begitu rindang, beberapa temannya pun turut serta memberikan selamat padanya, dengan ditandai senyum manisnya, Nirmala pun menyambutnya dengan begitu hangat. Tapi hatinya masih kelu, sedikit rasa yang ia tangguhkan, rasa yang sebenarnya ia ingin memberontak pada pemilik alam, tapi itu hanya ilusi yang tak sanggup ia lakukan. Diam dalam kata, Nirmala menikmati keramaian tapi sejatinya sunyi yang ia rasakan. Kerinduan membelenggu. Dimensi yang kini memisahkan. Teringat beberapa tahun ke belakang. Nirmala adalah anak yang paling di sayang. Saat ini, di tempat yang paling Nirmala cintai. Membuat hatinya seolah menjerit tak terdengar. Semua yang hadir ditemani sanak keluarga. Tapi Nirmala harus menerima takdir. Hidup sebatang kara memang tak semudah berbicara, tak seindah saat semua saling berbagi keluh kesah. Pikiran Nirmala terdesak keadaan. Tak bisa membendung riuhnya hati. Air mata itu pun menggenangi pipinya. Nirmala dengan sekuat tenaga menahan. Tapi tak bisa dengan mudah untuk tetap menjaga hati agar tetap merasa baik-baik saja. “Jangan menangis lagi, ayo foto bersamaku,” kata Nuna. Nirmala terkejut dan menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu, didapatinya sosok seorang sahabat yang selalu menjadi tumpuan baginya. Nuna, teman rasa saudara yang sudah melewati suka duka bersama di kampus pergerakan ini. Ia tersenyum tipis lalu menarik uluran tangannya. Berpose lalu mengambil gambar dengan penuh gaya. “Orang tuamu mana, Nun?” tanya Nirma “Tadi sebenarnya mereka nyariin kamu Ma, tapi karena mama lagi kurang enak badan jadi papa langsung ajak mama pulang,” jawab Nuna “Sayang sekali, aku belum berjumpa dengan orang tuamu.” “Sudahlah, tak masalah, ngomong-ngomong selamat ya...kamu sangat pantas menjadi wisudawan terbaik tahun ini” Nirma tersenyum, lalu memegang dadanya, air matanya tiba-tiba menetes dan meludahkan sisa-sisa ratap yang menyelimuti kegundahannya, semua ingatannya masih tertuju pada ayah dan ibunya, ia pun kembali terduduk kaku dan tak bisa lagi membendung perasannya, ia tuangkan kesedihannya lewat tangisan yang jarang sekali ia hadirkan. Dipeluknya sahabat terbaiknya itu dengan dekap penuh kehangatan. “Kamu kuat Ma.” “Apakah aku bisa menjalani semua sendirian, Nun, aku takut.” “Kamu pasti bisa, aku akan selalu berada di sampingmu, meski kita sudah tidak satu kampus lagi, aku berjanji akan selalu menemanimu dalam kondisi apa pun” “Apa aku bisa membuat kedua orang tuaku tersenyum, sedangkan di sini aku masih terseok-seok” “Nirma percayalah, Tuhan tak akan membebani hambanya diluar batas mampunya” “Bantu aku, Nun.” “Pasti.” Nirma masih saja terisak, sesekali ia seka air mata yang menggenangi wajahnya. Kebahagiaan semua sempurna dengan kehadiran orang tua, tapi bias kerapuhan hati kini telah Nirma rasakan dengan penuh kepedihan. Kembali merasakan di mana kesendirian dipertaruhkan, tanpa orang teristimewa, kini ia harus tetap kuat berpijak dengan pemandangan keintiman setiap keluarga yang ada di tempat penuh perjuangan ini. Ia kembali terisak, tubuhnya terasa sangat letih, mungkin karena ia masih belum mengisi perutnya sejak tadi pagi. Hampir ingin pingsan ia rasa, lalu Nuna pun mengajak Nirma untuk mencari makanan yang bisa disantap saat itu juga. “Nun, habis ini aku nitip baju wisudaku ya..aku mau pulang ke Banyuwangi sore ini” “What? Mendadak sekali.” “Sebenarnya gak mendadak sih, aku sudah beli tiket kereta seminggu yang lalu, hanya saja aku tak menceritakan itu padamu, kalau misal aku pulang ke kos waktunya gak keburu soalnya, jadi nitip ya.” Nuna terdiam, sepertinya ia memutar otak untuk kembali menyusun jawaban atas kata-kata sahabatnya itu. Mencari ide yang pas untuk ia keluarkan, memangku dagu dan pandangan matanya tertuju ke langit penuh nan cerah. “Tambah bengong, boleh gak aku nitip toga ini.” “Aku pengen ikut Ma, naik mobilku aja gimana? Kita berangkat bersama.” Nirmala tersenyum penuh tulus, ia pandang wajah sahabatnya itu dengan sangat hangat, permintaan sekaligus usulan dari Nuna tak bisa Nirma terima, ia menganggap jika Banyuwangi tempat yang sangat jauh bila harus ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi, belum lagi biaya akomodasi yang tak semurah jika mengendarai kereta api. Santun kata yang keluar dari alasan Nirma menolak Nuna sungguh dapat diterima Nuna dengan baik. Nuna tetap merayu, bak kata yang ia keluarkan seperti candu yang akan memberikan kekuatan untuk menafsirkan kata hati yang awalnya tak disetujui oleh Nirma. Terdiam dalam sudut yang tak bertepi, berpikir hingga tak bisa lagi menepis sebuah rayuan dari seorang sahabat. Keyakinan hati kini telah bersemayam antar keduanya. “Jadi kita berangkat esok pagi saja, hari ini kita istirahat dulu.” “Apa tidak ijin Om dan Tannte dulu Nun.” “kalau perginya sama wisudawan terbaik tahun ini gak ada kata enggak Ma.” Nirma kembali menyuguhkan senyumnya, kedua orang tua Nuna memang tak pernah memberi larangan jika keduanya akan pergi bersama, Nuna diberi kebebasan penuh selagi apa yang dilakukan memberikan kebaikan. Orang tuanya selalu mendukung, karena Nuna dan Nirma tak pernah sedIkit pun berkata tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka berdua menggunakan kepercayaan yang diberikan sebaik mungkin. Hingga apa pun yang dilakukan selalu diterima dengan tangan terbuka. “Kalau gitu ayo kita pulang, aku antar kamu ke kos terus tidur di rumahku ya, biar besok kita langsung berangkat” Nirma mengangguk tanda setuju, melangkah pasti dalam sebuah harapan yang terselubung dalam niat suci untuk sebuah penghormatan. Menatap sejauh mata memandang tentang sebuah rindu yang bersemayam dalam jiwa, bayangan ke dua orang tua Nirma tampak begitu jelas di pelupuk mata, rindu itu kini mengalun syahdu seperti symponi yang telah dimainkan dengan hati. Berjumpa meski tidak bertatap dengan raga akan sedikit mengobati, meski Nirma tahu bahwa orang tuanya telah berada di bawah tanah dan tak bisa dipandang lagi kedua wajahnya. “Tunggu....” Sebuah panggilan itu terdengar jelas di telinga Nirma dan Nuna, menoleh dengan segera, dilihatnya sosok laki-laki berkacamata. Jalannya berlenggak-lenggok seperti model yang telah bergaya di atas catwalk. Nuna dan Nirma kemudian saling memandang. Tak mengerti dengan laki-laki yang berjalan ke arahnya. Sedikit tanda tanya berkelimat dalam pikirnya. Nirmala tetap menatap laki-laki yang semakin dekat langkahnya. Kurang sepuluh langkah lagi. Laki-laki itu akan segera berdiri tepat di depan Nuna dan Nirma. Pandangannya masih belum beralih. Wajah laki-laki itu membuat Nuna dan Nirma tak bisa berkutik. Berdiri dalam diam. Menunggu laki-laki itu mengeluarkan maksudnya. Meski sebenarnya Nuna dan Nirma sudah sangat ingin melenggang dari tempat itu. Langkah mereka telah ditahan. Laki-laki itu menghadang, lalu menghadirkan sebuah senyuman di bibirnya. Nuna dan Nirma pun seolah tak mengerti. Laki-laki itu masih mengunci bibirnya dan tatapan matanya seolah mengalihkan pandangan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook