Pertemuan dua istri dan suaminya. Kini sedang dalam rasa yang kian membelenggu hati. Nirmala tak bisa hanya diam saja dengan keputusan yang sangat tak adil baginya. Dia seakan mendapat kekuatan untuk mendapatkan keadilan dalam sebuah pernikahan itu.
“Nirmala, kamu tahu kan meski kita dulu suami istri, tapi hari ini kita adalah pengantin baru dan kamu seharusnya sadar diri.”
“Iya, aku mengerti.”
“Saya ngantuk, saya mau tidur.”
Hendra seolah tak memperdulikan hati Nirmala. Dia membiarkan Nirmala berada di luar dengan perih hatinya. Hanya sekadar ingin didengar. Namun nyatanya harapan Nirmala sia-sia. Dia sangat mengerti bahwa pernikahannya ini memang tidak sehat. Namun setidaknya Nirmala masih terus berusaha untuk mendapatkan hati suaminya.
Nirmala berbalik badan. Dia segera kembali ke kamarnya. Menahan hati yang tersayat penuh luka. Air matanya memang tak menentes. Namun hatinya menangis pilu dengan apa yang dirasakannya.
***
Hendra menaruh guling di tengah-tengah tempat tidur. Dirinya segera ingin menuju ke alam mimpi. berbaring membelakangi Rosmalina. Dia sama sekali tak tahu apa yang akan dilakukan. Hendra memaksa matanya untuk cepat terpejam.
Rosmalina yang mengetahui sikap suaminya itu terasa begitu aneh. Rosmalina yang membaringkan tubuhnya dengan rasa yang menari-nari, seolah tak bisa menerima dengan apa yang dilakukan Hendra padanya di malam ini.
Rosmalina kembali mengingat malam pertamanya dulu bersama Hendra. Sama sekali tak seperti malam saat ini. Dulu kehangatan cinta seakan menjadikan bumbu-bumbu keindahan di malam pengantin. Namun saat ini sikap dingin menyelimuti keduanya.
Rosmalina hanya diam. Memandang punggung suaminya dalam-dalam. Rosma mengira bahwa Hendra mungkin sudah terlelap. Rosmalina pun tak melakukan apa-apa. Selain diam dan hanya mengikuti apa yang dilakukan Hendra.
Rosmalina berbalik badan. Mencoba untuk cepat memejamkan matanya. Namun terasa sangat sulit dilakukan. Rosmalina kembali memandang Hendra. Entah mengapa tiba-tiba saja wanita itu mengambil guling yang berada di tengah-tengah mereka.
“Boo, apa kamu sudah tidur?” tanya Rosmalina.
Hendra memang sudah memejamkan matanya. Namun pikiran dan hatinya masih on. Hendra pun mendengar pertanyaan Rosmalina padanya. Akan tetapi Hendra tetap mengunci mulutnya. Dia sama sekali tak menjawab pertanyaan dari istrinya itu.
“Boo, aku rindu kamu, bisakah kita memulai semua dari awal?”
Rosmalina terus saja berkata-kata. Namun Hendra masih merasakan sayatan hatinya yang patah. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya. Meski Hendra tahu bahwa dulu Rosmalina adalah satu-satunya ratu dalam istananya.
Akan tetapi saat ini, semua keadaan telah berubah. Cinta tulus Hendra yang dulu hanya dipersembahkan untuk Rosma seorang. Namun kini seolah cinta itu telah mati. Kekecewaan yang dialami membuat hati Hendra seolah membeku.
Namun tak dapat dipungkiri dalam kediamannya itu. Slide demi slide yang pernah dilalui pada saat mereka masih pengantin baru di awal pernikahan dulu. Hendra terbayang-bayang akan keindahan cinta yang sangat diagungkannya dulu.
“Boo, aku memang pernah salah, tapi tak adakah kesempatan untukku memperbaiki semua? Aku tahu jika pernikahan ini mungkin tak berawal dari hatimu, tapi aku masih mencintaimu, Boo.”
Rosmalina terus saja mengungkapkan isi hatinya. Hendra yang mendengar panggilan sayang dari istrinya itu, mengingatkan kembali tentang pemberian panggilan sayang itu. dulu Hendra yang memanggil Rosmalina dengan panggilan yang sama. Namun kini, mulut Hendra terasa sangat berat untuk menjawab semua perkataan Rosma.
Hendra sama sekali tak bergerak. Dia tetap dengan posisinya. Namun kata-kata yang diucapkan Rosmalina itu membuatnya semakin susah untuk menuju ke duani maya. Hendra mengambil bantal yang digunakan untuk menyandarkan kepalanya itu. Dia segera menaruh bantal di atas kepalanya. Dia tak mau mendengar apa pun lagi dari mulut Rosmalina.
“Baiklah Boo, aku akan tetap menunggu jawabanmu.”
Rosmalina mencoba untuk menahan dirinya. Dia tak akan memaksa Hendra untuk menerima keadaan yang kini dirasakan bersama. setidaknya dengan pernikahan yang sudah terjadi itu, membuat Rosmalina sudah puas hati. Dia bisa membalas dendamnya pada Nirmala. Wanita yang dianggapnya telah merusak hubungannya dengan Roy.
Rosmalina tak cepat menutup malamnya. Wajah Roy tiba-tiba datang mengganggu pikirannya. sedikit rasa yang masih tertinggal dalam hatinya. Rosma mengambil ponselnya. Dilihatnya foto sang mantan suami itu yang masih bertengger di album foto yang tersimpan itu.
Rosmalina memandang wajah sang mantan suami yang begitu dirindukan. Namun keadaan kini telah berubah. Rosmalina tak mungkin bisa kembali di pelukan Roy. Mata Rosma berkaca-kaca. Kerinduan yang berada di dalam dadaanya itu membuat Rosma tak tahan dengan perpisahan yang tak diinginkan.
Rosma tak mau terbelenggu lagi dengan cinta yang tak sempurna itu. Rosmalina ingin mencoba melupakan Roy. Dia segera menghapus semua kenangan bersama sang mantan suami. Rosmalina tak menyisakan satu pun foto tentang Roy. Semua pesan pun sudah dihapus olehnya.
Rosmalina pun membuka media sosialnya. Dia ingin segera memblokir semua akun Roy. Namun hatinya seakan bimbang untuk melakukan itu. Entah mengapa, Rosmalina tak cepat meluruskan aksinya. Dia tak membiarkan saja akun media sosialnya berteman dengan Roy.
Rosmalina kemudian meletakkan ponselnya di meja dekat tempat tidur. Pikirannya masih belum tenang. Langkah yang diambilnya kali ini membuatnya semakin berpikir panjang. Rosmalina harus berjuang kembali untuk cinta yang seakan terpaksa dilakukan. Entah karena semesta mengijinkan atau hanya sekadar membalaskan rasa yang terpendam.
Malam semakin larut. Rosmalina harus memaksa dirinya untuk mendekap erat perlukan sang ,alam. Agar mimpi indah cepat hadir dalam tidurnya.
***
Meja makan telah tersedia beberapa menu sarapan. Keluarga Mahendra telah berada di ruang makan. Hendra dan Rosmalina duduk berdampingan. Sedangkan mama Rose dan pak Yusron pun sama psoisinya. Duduk berdampingan.
Tak lama Nirmala dan sla baru saja datang. Asila berlari dan segera duduk di tempat yang biasanya didudukinya. Akan tetapi Nirmala berdiri dengan kediamannya. Memandang tempat duduknya yang telah ditempati oleh Rosmalina.
Mama Rose yang melihat ekspresi Nirmala pun seolah mengerti apa yang dirasakan menantunya itu. Nirmala cukup diam dengan melangkahkan kakinya cukup berat. Dia pun segera menempati kursi yang masih kosong.
“Hendra, kamu duduklah di kursi pusat, kamu kepala keluarga, berlakulah adil.”
Suara mama Rose seolah menentramkan bagi Nirmala. Dirinya tak ingin pernikahan itu menjadi berat sebelah. Mama Rose segera meminta Hendra untuk berpindah posisi.
Hendra mengikuti dengan diam. kini Hendra berada di kursi pusat. Kemudian di samping kirinya tempat duduk Rosmalina dan di kanannya ada Nirmala. Di samping Nirmala duduklah Asila, sedangkan di samping Rosmalina ada mama Rose. Asila duduk di sebelah Nirmala.
Nirmala dan Rosmalina sama-sama mengambil piring untuk Hendra. Mereka secara tak sengaja pun mengambilnya centong nasi secara bersama. Keduanya saling menatap dengan genggaman tangan masih memegang centong nasi itu.
“Nirmala, lepaskan tanganmu, aku mau mengambilkan nasi untuk suamiku,” kata Rosmalina.
Mendengar jawaban itu, Nirmala tak membantah. Dia hanya mengalah agar tak terjadi keributan. Nirmala menjaga suasana agar tetap tenang. Dia tak mau bila Asila menyimpulkan sesuatu yang tak dimengerti olehnya.
Nirmala pun mempersilakan Rosmalina untuk mengambilkan nasi untuk Hendra. Nirmala mencoba untuk tetap tersenyum meski hatinya sendiri sedang sangat merasakan sayatan yang begitu tajam. Sakit namun tak berdarah.
Nirmala pun mencoba mengambilkan makanan untuk Asila. Lalu mereka bersama saling menyantap makan pagi penuh keheningan. Asila yang biasanya penuh dengan celoteh yang menggemaskan. Kali ini dia hanya diam dan menikmati makanan yang sudah diambilkan oleh Nirmala.
Setelah beberapasaat kemdudian, makanan mereka pun telah habis mengisi perut masiing-masing. Nirmala menuang air putih pad gelas Hendra. Apa yang dilakukannya itu membuat pandangan Rosmalina pada Nirmala seakan tajam seperti singa yang akan menyerang mangsanya.
Tiba-tiba saja mama Rose membuka sebuah pembicaraan. Nirmala dan Rosmalina segera menatap mertuanya itu dengan sangat cepat.
“Asila, bantu opa untuk mengambil tas di kamar, ya.”
Asila pun mengikuti anjuran omanya. Asila dan pak Yusron segera meninggalkan ruang makan dan menuju kamar untuk mengambil tas kerja. Kini di meja makan itu ada tiga wanita dan satu laki-laki. Mereka yang tak lain adalah Hendra, Nirmala, Rosmalina dan juga mama Rose.
Suasana nampak hening sejenak. Nirmala terlihat meneguk sedikit air. Hendra memandang lurus ke wajah mamanya. Dan Rosmalina menancapkan pandangan hanya kepada Nirmala.
“Hendra, dua wanita ini adalah istrimu, terlepas karena apa kalian menikah, namun mereka adalah istri sahmu.”
Hendra mencoba menangkap pokok pembicaraan yang kini memenuhi isi ruang makan itu. tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya mendengar dengan seksama. Mama Rose berusaha untuk mengatakan apa yang kini mengusik hatinya.
“Hendra. Bagilah malammu secara adil kepada dua istrimu.”
Hendra tetap saja mengunci mulutnya. Namun Rosmalina seolah tak bisa jika hanya diam san tak mengeluarkan apa yang menjadi pendapatnya.
“Aku minta empat hari dan Nirmala tiga hari,” tukas Rosmalina.
“Jangan egosi kamu, Rosma.”
“Aku dan mas Hendra pengantin baru, jadi punya hak untuk menjalani malam panjang bersama, sedangkan Nirmala, dia istri tua yang pastinya sudah membosankan bagi Mas Hendra.”
Nirmala hanya diam seribu bahasa. Seolah dirinya tak ingin berdebat. Meski Nirmala tahu bahwa hatinya pun seolah tak menerima. Lagian yang dia rasakan, bersama atau tidak dirinya dengan Hendra, sikap Hendra padanya tetap akan sama.
“Jangan seenaknya kamu, Rosma!”
“Kenapa, Ma? Ada yang salah dengan apa yang aku katakan?”
“Cukup! Aku yang akan memutuskan!”
Hendra berucap dengan sangat keras. Dia mengakhiri perdebatan anatara Rosmalina dengan mamanya. Namun Hendra tak memberikan jawaban saat itu juga. Dia malah melangkah pergi dengan langkah kaki cepat. Dia segera menuju kantornya.
Keadaan sekarang memang sedang runyam. Nirmala istri yang tak pernah menuntut apa pun. meski dirinya sendiri sudah pernah mengatakan pada suaminya untuk bersikap adil. Namun Nirmala bukan penentu atas apa yang diinginkan hatinya.
Rosmalina yang melihat suaminya pergi begitu saja, seolah memiliki tantangan tersendiri baginya. Dia akan membuat Hendra mengikuti apa yang dia inginkan. Rosmalina ingin melihat Nirmala menderita. Tak akan pernah dibiarkan untuk merasakan sebuah kebahagiaan.
Hati Nirmala menyisir lembut alunan rasa yang menyelami hatinya. Kali ini dirinya tak bisa berpikir dengan jernih. Malah ada bisikan dalam dirinya, untuk mundur dalam sebuah permainan yang kini sedang dijalankan olehnya. Nirmala dalam kebimbangan. Berhenti atau tetap lanjut dengan pernikahan yang tak membahagiakan itu.
^Cengkir^
"Uripmu koyo wit gedhang duwe jantung tapi ora duwe ati."
(Hidupmu seperti pohon pisang, punya jantung tapi tak punya hati)