Part 31 – Memainkan Peran

2043 Words
Hati Nirmala seakan bergidik tak ingin hanya diam dan bersembunyi di dalam kamarnya. Nirmala terus saja membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di ruang tamu itu. Pikirannya melayang tanpa henti. Nirmala bergidik, memutar otaknya untuk bisa mengikuti apa yang diinginkan hatinya. “Asila, ini bisa diwarnai dulu ya, mama mau ke belakang sebentar.” “Mama mau ke mana?” “Emmm ... mama buatkan s**u Asila dulu, ya.” “Baik, Ma.” “Ingat ya, Asila harus mengerjakan Prnya di dalam kamar, tidak keluar kamar sebelum mama kembali, karena anak pintar selalu mengerjakan sesuatu dengan tanggung jawab.” “Iya, Ma.” Nirmala segera keluar dari kamar Asila. Langkah kakinya dengan cepat menuju ke ruang tamu. Pandangan matanya nanar. Manik matanya terasa sangat basah. Apa yang dilihatnya itu sangat menyayat hatinya. Hendra telah bersanding Rosmalina. Penghulu dan para saksi menjadi saksi akan pernikahan mereka. Termasuk mama Rose dan juga pak Yusron. Nirmala melihat pandangan itu begitu sangat menyakitkan. Dibalik tembok putih itu, Nirmala menghentikan harapan-harapannya. Bahkan yang ada kini hanya sebuah sesak yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bola mata Nirmala masih basah. Melihat senyum Rosmalina yang kini terus saja mengembang. Tak ada alasan lagi yang membuat Nirmala untuk berdiri di tempat itu. Dirinya dengan cepat berlari menuju ke dapur. Menyeduh s**u untuk putri kecilnya. Hati Nirmala seakan dipermainkan oleh keadaan. Dia tak tahu harus bagaimana menghadapi hari itu. sesekali air matanya kembali jatuh, dan dengan cepat dirinya mengusapnya agar tak ada yang mengetahuinya. “Nirmala.” Suara itu begitu mengagetkan. Mama Rose telah datang menemuinya. Namun Nirmala tetap saja fokus dengan minuman hangat yang sedang dibuatkan untuk bidadari kecilnya itu. Nirmala mencoba menguatkan hatinya sendiri. Dia tak mau jika mama mertuanya itu dapat mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. “Semua pasti terasa berat untukmu, tapi mama yakin, kamu bisa melaluinya, Nirmala.” “Nirma tidak apa-apa, Ma. Nirma antarkan ini dulu ke Asila, ya.” Nirmala mencoba menghadirkan senyumnya, namun hal itu terasa begitu pahit di depan pandang mata sang mama. Mama Rose pun seolah tak bisa membendung hati kecilnya sendiri. mendekap Nirmala dengan erat. “Maafkan Mama, nak. Mama yang membuatmu berada dalam keadaan sulit seperti ini.” Nirmala tak bisa berkata dengan apa yang dirasakannya. Hanya air matalah yang tersajikan. Berkicak dalam gejolak hati yang tak mudah untuk ditepis. Isak tangisnya membuat wajahnya seakan sayu. Nirmala tak bisa membendung lagi. Segala kesedihan itu ditumpahkan dalam dekapan mama Rose. Hati yang tak bisa menerima dengan lapang dadaa, seakan kesedihan pun tak kunjung untuk segera pergi dalam benaknya. Nirmala ingin mengakhiri namun dirinya sangat sadar bahwa masih ada tanggung jawab yang harus ditunaikan. “Bertahan ya, demi Asila.” Kata-kata itu selalu ditancapkan dalam benaknya. Memang sangat tak mudah untuk mencoba memahami bahwa kondisi saat ini, benar-benar menguras hati dan pikiran. Namun semua harus tetap dijalani. Tak boleh menyerah dengan keadaan, namun harus bisa menaklukkan keadaan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Nirmala melangkah meninggalkan mama Rose. Dirinya menuju ke kamar Asila. Nirmala seolah tak ingin melihat lagi apa yang terjadi di rumah itu. tatapan matanya lurus. Membuka pintu kamar Asila. Nirma mencari Asila, namun nyatanya gadis kecil itu sedang tak berada di kamar. Nirmala pun merasa sangat bingung. Dia yang suda berpesan agar Asila tidak keluar kamar. Namun nyatanya pesan itu tak ditunaikan dengan baik. Asila terpaksa menutup pintu kembali. Mencari di mana keberadaan Asila. Namun betapa terkejutnya Nirmala. Dia melihat Asila sedang berada du tengah-tengah Hendra dan juga Rosma. Nirmala hanya diam dengan pandangannya itu. segelas s**u yang masih digenggam dengan tangan kanannya, tak sengaja terjatuh tumpah dan membuat suara riuh karena gesekan dengan lantai itu. Rosmalina menatap Nirmala yang hanya berdiri dengan pandangan nanar. Senyum Rosmalina masih mengembang. Dirinya melangkah mendekati Nirmala. Namun langkah itu didahului Asila yang berlari lebih dahulu ke arah Nirmala. “Mama, kenapa gelasnya jatuh?” “Mama tidak sengaja sayang.” “Ma, Asila tadi keluar kamar karena Asila baru ingat dapat surat dari bu guru untuk diberikan ke papa, jadi Asila keluar kamar untuk memberikan surat ke papa, mama jangan marah ya, Asila salah.” Nirmala hanya tersenyum sembari menahan rasa yang bergejolak riuh dalam dadaanya. Rasa sayang yang tulus itu membuat Nirmala sama sekali tak pernah memarahi Asila. Jika Asila salah, Nirmala hanya mengingatkan dengan kelembutan tutur katanya. Dan kali ini pun Nirmala melakukan hal yang sama. Senyum dan juga belaian kasihnya tetap saja terhadirkan. Mata Nirmala mendekat menuju wanita yang berjalan ke arahnya. Nirmala seolah ingin menghindar. Nirmala segera memungut pecahan gelas yang tercecer di lantai. Dia terburu-buru sebelum Rosmalina semakin dekat dengannya. Namun sayangnya pecahan gelas itu melukai tangan kanan Nirmala. Sedetik kemudian darah pun keluar menghiasi tangannya. Asila yang melihat itu menjerit dengar sangat keras. Dia berlari menuju ke arah papanya. Meminta bantuan dengan segera. “Pa, tolong bantu mama Nirma, pa.” Hendra terdiam dengan tetap berdiri tak jauh dari Nirmala. Namun Nirmala seolah sadar diri, dirinya tak suka merepotkan siapa pun. Nirmala segera berlari ke belekang, namun semua pecahan itu belum selesai dibersihkannya. Asila menangis tersedu. Dia pun segera berlari mengejar Nirmala. Rasa empatinya begitu tinggi. Nirmala segera mengambil kotak obat dan segera mengobatinya. Setelah luka itu diplester. Nirmala segera mengambil sapu dan juga tempat sampah. “Mama, sakit ya tangannya?” tanya Asila. “Tidak apa-apa sayang, sudah membaik, sudah mama obati.” Nirmala berhias senyum palsu. dihadapan Asila dirinya selalu riang. Tak pernah menampakkan sebuah kesedihan sedikit pun. Kemudian Nirmala kembali melangkah untuk membersihkan pecahan gelas kaca tadi. “Kenapa Nirmala, kamu sedang meratapi nasibmu?” Kata-kata Rosma membuatnya harus menunduk dan tak menatap wajahnya. Dia seakan enggan berdebat. Hendra berlari menuju kamarnya. Tak lama Rosmalina pun menyusul di belakangnya. Nirmala merasa hancur sehancur-hancurnya. Duri itu seakan telah menusuk kulitnya, sangat sakit dan belum diketemukan obatnya. Asila hanya diam memandang tanpa lepas. Sejenak terlihat Hendra turun dari anak tangga. Mengenakan jas dan tas kerjanya menghiasi tangan kanannya. Asila yang berdiri diam itu hanya menemani Nirmala. Dia tak berkomentar apa pun, selain menatap penuh empati. “Asila sayang. Papa berangkat kerja dulu, ya.” “Iya, pa.” Hendra mengecup kening Asila penuh hangat. Memeluknya erat lalu segera melangkah untuk meninggalkan rumah. Tiba-tiba saja Asila berceloteh dengan sangat mudahnya. “Papa, kenapa tidak pamit mama? Tidak juga memeluk dan mencium seperti apa yang papa lakukan padaku?” Hendra bergidik dengan menghentikan langkahnya. Suara Asila membuatnya harus berusaha menyajikan drama yang baik tanpa harus merasa curiga. “Papa buru-buru.” Hendra berlari dengan begitu cepat. Nirmala yang mendengar kata-kata sang anak merasa begitu terenyuh. Selama menjadi suami istri, Nirmala memang belum pernah sekalipun disentuh Hendra. Hubungan mereka tak ayal seperti bawahan dan majikan, bukan seperti pasangan suami istri. Nirmala tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Dia menatap ke langit-langit. Berusaha untuk menahan air mata agar tak menetes dengan mudah. Nirmala tak mau bila Asila berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan juga Mahendra. “Mama, aku bisa bantu mama apa?” “Mama bisa sendiri, sayang. Asila ke kamar saja, ya.” “Tapi, Ma. Asila ingin menamanu mama.” “PR Asila kan belum selesai, mama masih akan mengerjakan pekerjaan lain sayang.” Asila pun menurut dengan wajah tertekuk sayu. Dirinya dengan cepat melangkah dan meninggalkan Nirmala seorang diri. Nirmala air matanya segera menetes. Saat siapa pun tak melihat akan kesedihan yang kembali mengguncang hatinya. Nirmala berusaha dengan cepat mengusap air mata itu, sebalum ada yang melihatnya. “Nirmala, cepat kesini!” Suara Rosma melengking dari lantai atas. Nirmala pun menoleh, dia segera membuang pecahan gelas itu lalu segera beranjak untuk memenuhi panggilan Rosma yang sangat keras terdengar suaranya itu. *** “Pa, mama tak tega dengan Nirmala.” “Papa sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, ma.” “Keadaan ini pasti teramat sulit baginya.” “Mama tak mau bila Nirmala mundur perlahan, Hendra sepertinya juga belum menaruh hati pada Nirmala.” “sabar, ma. Ada pepatah mengatakan bahwa cinta datang karena seringnya bersama, semoga saja cinta Hendra tumbuh untuk Nirmala.” “Bersama? lalu bagaima jika Hendra sering bersama Rosma, apa dia juga akan kembali jatuh cinta lagi dengan wanita super tega itu?” Pak Yusron terdiam. Dirinya mencoba berpikir tentang apa yang telah dikatakannya. Tiba-tiba saja bayangan kelakuan Rosma di masa lalu terekam begitu kuat. Pergi meninggalkan keluarga tanpa adanya kabar. Menikah dengan orang lain dan sekarang bercerai. Kembali lagi pada kehidupan sang anak yang berusaha susah payah untuk mengubur sebuah kenangan tentang cinta. Namun sekarang, cinta yang sudah ternoda itu pun kembali hadir. Memaksa keadaan untuk menerima dengan tangan terbuka. Meskipun semua hanya berdasar rasa terpaksa, namun tak dapat dipungkiri akan ada hati yang tersakiti. “Pa, kenapa diam?” Pak Yusron menghela napas panjang. Dirinya seakan bertambah resah. Dua istri dalam ikatan yang sulit untuk dibicarakan. *** “Ada apa memanggilku?” tanya Nirmala. Rosma menatap dengan wajah beringasnya. Dia seakan merasa menjadi pemenang dalam permainan itu. semua barang-barang Nirmala segera dikeluarkan dari kamar Hendra. Nirmala yang melihat itu pun merasa sangat terkejut. Dia sama sekali tak menyangka bila Rosma dengan mudah melakukan hal itu padanya. Beberapa pakaian tergeletak di lantai. Nirmala hanya melihatnya dengan tetap berdiri tepat di hadapan Rosma. Tatapan mata Nirmala nanar. Penuh dengan rasa sakit yang kian menganga. Dia berusaha sekuat tenaga untuk kuat di depan Rosma. Nirmala masih menjadi pemain yang akan memainkan perannya dalam setiap episode. “Kamu sudah kalah Nirmala, aku pastikan Hendra akan menceraikan kamu seperti Rpy menceraikan aku.” “Sepertinya kamu perlu dibawa ke dokter jiwa, Rosma. Pikiranmu sungguh tak waras.” Rosmalina kembali tertawa. Menatap wajah Nirmala dengan wajah datarnya itu. rosmalina bergidik, merasa dirinya selangkah lebih maju daripada Nirmala. “Apa pun akan kulakukan, aku tak terima Roy menceraikan aku karena kamu, dan aku akan pastikan Hendra juga akan melakukan hal yang sama padamu, seperti apa yang dilakukan Roy padaku.” “Cukup Rosma, pernikahan itu bukan perkara main-main. Seharusnya kamu sadar, kamu tal bisa mempermainka sebuah pernikahan suci, apalagi hanya untuk membalas dendam padaku.” “Diam Nirmala, aku tak perlu pendapatmu.” Rosma segera membanting pintu. Menguncinya dari dalam kamar. Nirmala hanya bisa diam menatap barang-barangnya yang kini berada di depan matanya itu. Dia kemudian memunguti satu persatu barangnya untuk dibawa ke kamarnya yang dulu. *** Malam ini meja makan telah ditambah satu anggota keluarga lagi. Rosmalina kini duduk di samping Hendra, sedangkan Nirmala tempatnya berada di samping Asila dan berada tepat di hadapan Rosmalina. Nirmala harus menahan godaan kecemburuan. Rosmalina menyiapkan semua keperluan makan Hendra. Mengambilkan nasi dan juga lauk. Sedangkan Nirmala hanya melakukan itu pada Asila. Lagi-lagi mama Rose menatap Asila memang hanya seperti pengasuh cucunya. Bukan seperti istri sah dari anaknya. “Papa, Tante ini sebenarnya siapa?” “Mulai hari ini Asila panggil Mama ya ke Tante.” “Kenapa harus begitu?” “Ya karena Tante ini adalah Mama Asila, jadi Asila juga harus memanggil Tante dengan sebutan Mama.” “Tapi kan mama Asila itu mama Nirma.” Semua mata memandang dengan kediaman yang tak tercurahkan. Namun Nirmala yang mendengar kata-kata Rosma itu tak bisa diam begitu saja. Dirinya segera andil dalam pembicaraan itu. “Rosma, tolong jangan dipaksa dulu untuk mengerti, semua butuh proses.” Rosma terlihat begitu geram dengan ucapan Nirma. Makan malam pun berlanjut. Setelah itu Nirmala pergi ke kamar Asila dan menidurkannya dengan segera. Setelah selesai, Nirmala pun keluar kamar. Dia seakan melupakan sesuatu. Nirmala melangkah ke kamar Hendra. Dirinya mengetuk pintu dan Rosmalina yang membukakan pintu itu. “Untuk apa kamu kemari?” Melihat wajah Rosma, Nirmala seakan baru sadar bahwa malam ini dia tidak tidur di kamar Hendra. Kediaman Nirmala memunculkan suatu ide yang tegas. Dia memperoleh sebuah kekuatan agar tak diperlakukan lemah. “Aku mau bicara dengan mas Hendra.” “Tidak bisa, mas Hendra sudah tidur.” “Jangan halangi aku Rosma, aku juga istri sah daripada mas Hendra.” Mendengar sesuatu yang berisi di pintu kamarnya. Hendra pun segera membangunkan tubuhnya dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa ini?” tanya Hendra. “Ini, dia mau minta aku untuk pergi dari kamar ini, Mas,” jawab Rosma penuh dengan drama. “Aku tidak melakukan itu, Mas Hendra. Aku mau kamu berlaku adil.” Hendra masih mengunci mulutnya. Menatap dua wanita yang seakan masih berseteru tentang isi hati masing-masing. ^Cengkir^  "Witing tresno jalaran soko kulino.” (Bahwa cinta itu tumbuh lantaran ada kebiasaan)  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD