Part 33 - Hukuman

1259 Words
Hendra bekerja dengan sangat pikiran terus saja fokus tanpa memikirkan apa pun. Jika dirinya sudah berada di kantor, dapat dipastikan Hendra akan melupakan semua masalahnya, hanya satu yang bisa membuyarkan pikirannya dalam bekerja. Yaitu anak semata wayangnya, Asila dan kedua orang tuanya. Selain tiga orang itu Hendra selalu mengesampingkan semua hal yang membuat otaknya berputar. Dan kali ini dia hanya fokus dengan pekerjaannya saja. Tak lama saat jam makan siang telah datang. Hendra masih saja bergumam dengan layar laptopnya. Pandangannya begitu sangat serius. Seseorang mengetuk pintu ruangannya. Dilihatnya sang sekretaris masuk dengan membawa sesuatu di dalam paper bag. Dia berjalan menuju ke arah sang atasan. Berhias senyum dengan kehati-hatiannya. “Pak Hendra, ini ada kiriman paket untuk bapak.” “Taruh saja di meja.” Hendra sama sekali tak memandang sesuatu yang diantarkan oleh sang sekretaris. Matanya masih saja menatap layar laptopnya dengan penuh keseriusan yang mendalam. “Saya permisi, pak.” “Hendra tak menjawab akan apa yang dikatakan sekretarisnya itu padanya. Baginya paketan tak begitu penting melebihi sebuah pekerjaan yang harus segera diselesaikan tanpa menunda lama lagi. *** “Asila, bagaimana tadi di sekolah?” tanya Rosmalina. “Baik Tante, Asila senang sekali.” “Asila, boleh memanggil Tante dengan sebutan Mama, ya.” “Apa?” “Karena mama Rosma yang dulu melahirkan Asila saat Asila masih bayi.” Asila mendengar pernyataan Rosma terasa begitu membuatnya kebingungan. Dia terdiam seketika. Lalu tanpa sengaja pikirannya berkelibat. Sebuah slide tentang foto yang dilihatnya di kamar sang papa sangat mirip sekali dengan foto Rosmalina. Namun papanya saat itu bilang padanya, jika foto itu adalah foto omanya saat masih muda. Asila seakan masih sulit memahami jika apa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang membuatnya bingung. “Maksudnya apa?” “Aku adalah mama yang melahirkanmu, dulu ketika Asila akan lahir, mama menahan sakit yang luar biasa. Dibantu dokter sehingga mama bisa melahirkan kamu dengan selamat.” “Tapi kata papa, aku tidak punya mama.” “Aku adalah mamamu, yang melahirkanmu dengan perjuangan yang tak mudah.” “Aku tak percaya jika tante adalah mamaku.” Asila berlari menjauhi Rosmalina. Dirinya seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri. Tak mudah percaya dengan kata-kata yang terus saja dilintarkan Rosma padanya. Asila masuk ke dalam kamar dan terdiam dengan pemikiran-pemikiran yang terus saja mengganggu pikirannya. Tak lama, Nirmala datang dengan membawa segelas susuu hangat untuk Asila. Memberikannya dengan segera agar Asila cepat meminumnya. Namun dilihatnya sang anak terasa sangat aneh. Bahkan tak seperti biasanya. Keceriaannya seakan hilang sementera. “Asila, kenapa diam?” “Ma, apa benar tante Rosma itu adalah orang yang melahirkanku?” Mendengar pertanyaan Asila dirinya sangat terkejut penuh ketidakpercayaan. Nirmala seperti terpanah busur dan merasa sangat sulit untuk bernapas. Kediamannya semakin membuat Asila untuk terus menanyakan status tentang dirinya? “Ma, kenapa diam dan tak menjawab pertanyaanku?” Nirmala menatap erat wajah cantik si putri kecil. Membelai mesra rambut panjang yang tergerai dengan indah, lalu mendekapnya dengan mesra. Nirmala lalu menatapkan wajahnya dengan tatapn lurus. Kedua bola matanya saling bertemu. “Asila, Mama Rosmalina memang mama yang telah melahirkan Asila saat bayi.” Mendengar jawaban itu Asila tidak berceloteh macam-macam. Air matanya berlinang. Basah membanjiri pipinya. Nirmala terasa heran melihat air mata yang terjatuh itu. “Asila jangan bersedih, Asila kan anak hebat, kenapa harus menangis?” “Asila tidak bersedih Ma, tapi Asila bersyukur Tuhan mengembalikan mama Asila yang telah hilang pada Asila.” Nirmala mendenga jawaban itu pun segera memeluk Asila dengan kasih sayang yang tak terhingga. Dirinya sama sekali tak menyangka. Bila Asila memiliki pemikiran sedemikian rupa. Tak ada kemarahan yang mengiringi, namun sebuah keikhlasan itu seolah terpancar dengan begitu indah. *** Rosmaline melihat ponselnya lamat-lamat. Seolah menunggu sesuatu yang terdengar dari alat komunikasi itu. Namun nyatanya Rosmalina terasa sangat lelah menunggu hal yang tak pasti. Dirinya pun segera membanting ponselnya di atas tempat tidur. Tak lama Hendra datang dari kantornya. Dirinya yang terbiasa selalu membersihkan badan sepulang dari aktivitas itu. Belum ada waktu untuk Rosmalina bercengkerama dengan Hendra sesegera mungkin. Rosmalina ingin membantu suaminya untuk membuka jas kerjanya. Namun sayangnya Hendra telah menolaknya. Dia bisa melakukan semuanya sendiri. Hendra pun segera masuk ke kamar mandi tanpa menunggu lagi. Sedangkan Rosmalina terasa jenuh dengan perlakuan suaminya yang tetap saja dingin. Kini Rosmalina sangat menemukan perbedaan dari Hendra yang dulu dengan Hendra yang sekarang. Bila dulu Rosmalina adalah prioritasnya sepulang kerja. Namun sepertinya hal itu telah terbalik. Hendra sama sekali tak memperhatikan sang istri dengan baik. Pandangannya saja tak pernah melirik ke arah Rosmalina. Keluar dari kamar mandi, Rosmalina pun mencoba menyiapkan pakaian untuk dikenakan Hendra. Namun apa yang dilakukan Rosmalina itu dianggap sebagai angin lalu. Hendra sama sekali tak menjamah pakaian yang dipilihkan Rosmalina untuknya. Hendra mengambil pakaian itu dan memasukkannya ke dalam lemari lagi. Rosmalina dengan tatapan kesal begitu ingin menghantam dengan batu yang keras. Sungguh tak menghargai usaha Rosmalina yang sudah rela menyempatkan waktunya untuk sekadar melayani suaminya. “Apa kamu sudah makan makanan yang aku kirim?” tanya Rosmalina. Hendra terdiam sejenak. Mendengar pertanyaan Rosmalina lamat-lamat penuh dengan konsentrasi. Pikirannya kembali berkelana, dia mengingat tentang sebuah paket makanan yang diberikan oleh sekretarisnya. Namun Hendra yang fokus bekerja pun seolah lupa dengan apa yang ada di meja kerjanya. “Boo, aku tanya ke kamu, sudah dimakan belum makanan yang sudah kukirimkan tadi?” Hendra menggelengkan kepalanya. Lalu pergi keluar kamar dengan hati kosong tanpa tujuan. Hendra menuju kamar Asila. Dia merasa sangat rindu dengan anaknya itu. Namun saat sampai di kamar Asila. Hendra harus berdiri terdiam tanpa melakukan apa pun. Tatkala melihat Asila yang fokus dengan buku-bukunya. Asila sejenak melirik, pandangannya tertuju pada Hendra yang sedang berdiri di pintu kamar. “Papa.” Panggilan manis itu membuat Hendra tak bisa diam dengan posisinya. Dia pun segera melangkah untuk cepat memberikan sentuhan mesra pada putri satu-satunya itu. “Pa, aku sayang papa.” “Papa juga sayang sekali dengan Asila.” “Oh, iya pa. Kenapa papa bohong pada Asila?” “Bohong apa?” “Foto yang Asila temukan di kamar papa beberapa waktu yang lalu itu foto mama Rosmalina, kan?” Hendra diam sejenak. Kata-kata Asila seolah menusuk jiwanya. Dia tak menyangka bila Asila akan berkata dengan kebenaran yang dia sembunyikan. “Asila, panggil saja Rosmalina dengan sebutan Tante, ya.” “Dia kan mamaku pa, kenapa harus dipanggil tante?” “Siapa yang bilang ke Asila?” “Mama Nirmala.” Mendengar jawaban itu. Hendra menyuruh kembali Asila untuk belajar. Hendra melangkah menuju kamar Nirmala. Mengetuk pintu kamar itu lebih dari tiga kali. Nirmala yang mendengar dari dalam pun sangat gugup untuk segera membuka pintu yang terkunci rapat. “Ada apa mas Hendra?” “Kenapa kamu bilang ke Asila kalau Rosmalina itu adalah mama kandungnya?” Tatapan mata garang Hendra seolah membuat ketakutan tersendiri di benak Nirmala. Dia pun cukup tenang untuk menghadapi kemarahan suaminya itu. “Bukankan kebenaran harus diceritakan, Mas.” “Lancang kamu!” Hendra menggebrak pintu dengan begitu keras. Nirmala begitu terkejut. Ketakutan seketika menjalar seperti seterum yang mengenai tubuhnya. “Jangan pernah ikut campur tentang urusan keluargaku, mengerti!” Bentakan itu membuat Nirmala seolah tak berdaya. Dirinya seketika rapuh. Hancur hatinya berkeping-keping. “Sebagai hukumannya. Seminggu ini aku tak akan pernah menyapa dan juga sekamar denganmu.” Hendra meninggalkan Nirmala dengan sisa luka yang masih menganga. Dirinya sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran sang suami yang begitu susah untuk dimengerti nalarnya. Hendra segera berlalu. Apa yang dirasakan Nirmala seolah membelenggu hatinya yang kini masih terus merasakan sakit yang tak berujung. Cinta yang diharapkan hanya sebuah ilusi belaka. Hanya ratapan penuh tangisan yang kini hadir memeluknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD