Tio makan dengan santai. Kesukaannya itu Ayam Bakar Taliwang. Apalagi sampai tangannya berlumuran bumbu yang kaya rempah. Belum lagi nasinya selalu tambah dua porsi. Ditemani satu teko kecil teh poci yang hangat. Sudahlah, Tio lupa daratan. Ada istilah kalau makan enak lupa mertua, itu benar adanya. Macam Tio ini. Enggak ingat sekitarnya.
Etapi tunggu dulu, Tio belum menikah. Jadi mana mungkin ingat dengan mertuanya. Tapi ia selalu ingat dengan asistennya yang bisa ia andalkan, kok. Buktinya, sang asisten ada di depannya. Makan dengan lahap juga macam anak yang dua hari enggak ketemu nasi.
“Kamu lagi diet, Ony?” tanya Tio dengan entengnya. Di mana Leony menatap sang bos dengan heran.
“Badan sudah macam tengkorak jalan ditanya diet? Bapak ini naanya atau bertanya-tanya?”
“Ony,” peringat Tio.
“Saya enggak pernah senang dengan program diet. Malah lagi berpikir bagaimana caranya biar gemuk.”
“Hamil.”
Tersedak, lah, Leony! Hidungnya perih. Mulutnya terasa sekali pedas sambal yang nyangkut di tenggorokan. Belum lagi matanya berair lantaran terbatuk dengan cukup kuat. Ia segera sambar gelas minum yang ada di dekatnya. Diteguknya dengan segera sampai tak bersisa. Setetes pun. Lantas ... “Bapak!” katanya dengan mata melotot. Berusaha segarang mungkin menatap Tio yang mengerutkan kening.
“Kenapa?” Sang pria tampak heran kenapa Leony terkejut seperti itu. “Saya salah?”
“Bapak kalau ngomong enggak pakai dipikir dulu, ya?” Leony langsung menyambar tisu yang ada. Mengusap segera sudut bibirnya yang basah atau rasanya belepotan bumbu ayam bakar.
“Kenapa harus mikir kalau jenis pertanyaannya seperti itu?” Tio kembali menyantap ayam bagiannya. Matanya terpejam pelan karena sungguh, restoran ini menyajikan ayam bakar yang ia gemari. “Enak banget, Ony.” Ia pun mengambil bagian lain untuk asistennya. "Makan yang banyak. Sudah kurus badanmu, makan juga sedikit. Mau jadi apa coba? Benar yang kamu bilang. Tengkorak jalan.”
Leony mencibir tapi saat melihat potongan lain dari ayam bakar yang memang lezat ini, ia pun tersenyum tipis. “Makasih, Pak."
"Saya yang harusnya berterima kasih sama kamu.”
Untuk ucapan kali ini, Leony enggak tersedak. Serius. Meski sebenarnya, apa yang Tio katakan jauh lebih mengejutkan dari selorohannya dengan kata ‘hamil’. Ia bahkan sampai menatap Tio dengan pandangan lekat. “Kenapa berterima kasih?” Maunya bertanya begitu tapi Leony memilih diam.
“Kamu sudah banyak bantu saya akhir-akhir ini.” Tio tersenyum tipis. “Apalagi ikut bantu saya mengenai Naina beberapa waktu lalu.”
Sebenarnya Leony enggak pernah jadi soal kalau ada pekerjaan tambahannya seputar Naina. Menjemput atau, ya ... menemaninya mengerjakan PR. Anggap saja bertambah satu adiknya. Meski adik yang ini luar biasa menguji kesabaran dan mentalnya. Sudah si Naina ini cerdas dan enggak bisa dikelabui, ditambah hobinya menghilang tanpa jejak yang bikin dirinya kelabakan.
Kendati begitu, kalau mood Naina lagi bagus, enggak sungkan gadis kecil itu menunjukkan sikap manjanya pada Leony. Sudah hatinya Leony ini rapuh macam puyo, ditambah mata Naina yang sering menatapnya dengan polos. Makin meleyot jantung serta kinerja tubuh Leony. Jadi wajar kalau ia sering dikerjai Naina. Dan sialannya, Leony enggak pernah kapok.
“Iya, Pak.” Disuapnya perlahan ayam bakar bagiannya. Ia tak berniat tambah nasi bukan apa, lauk yang dipesan sang bos terlalu banyak. Asal tahu saja. Yang dipesan ayam bakar satu ekor! Gila saja! Kalau nanti malam Leony mabuk ayam bagaimana? enggak lucu, kan?
"Oiya, saya penasaran, Ony.”
Menggunakan punggung lengannya yang sudah pasti enggak terkena bumbu, Leony benahi kacamatanya. Menatap sang bos kembali dengan sedikit rasa penasaran. Menunggu apa yang akan sang bos katanya. Karena terlihat, Tio tengah meminum gelas bagiannya.
“Kenapa kalau di kantor kamu selalu formal dan jaga jarak sama saya?”
Tuhan!
Kirain mau tanya apa!
“Itu, andai ada cermin besar harusnya kamu berkaca, Ony. Muka kamu seperti lagi mengejek saya. Tapi kalau di kantor, kamu kaku banget. Jangankan senyum, kepala kamu hanya dipergunakan untuk mengangguk dan menggeleng saja. Heran.”
“Saya sudah pernah bilang alasannya, kan, Pak?” Leony melumuri ayam yang tersisa separuh dengan sambal yang ada di dekatnya. “Kantor itu waktunya saya kerja dengan serius. Meski di luar kantor saya masih dalam ranah kerja, tapi beda auranya kalau di kantor.”
“Masa, sih? Hanya itu?”
Tanpa ragu Leony mengangguk.
“Bukan karena kamu naksir saya, kan?”
Bola mata Leony terputar sebal. Sejak ia diterima bekerja di sisi Satryo Cakra sebagai asistennya, mengalahkan lima pesaingnya dengan kriteria penilaian cukup unggul serta ditunjuk langsung oleh sang bos, Leony sudah bisa membaca sedikit mengenai sikap Tio. Narsis. Tingkatnya dewa. Kadang enggak tertolong saking pedenya.
Seperti sekarang. Apa katanya? Naksir?
Astaga! Salah satu hal yang ia minta dari Tuhan, meski punggung Tio ini bisa mengalihkan dunia Leony, tapi ia tak ingin menyimpan rasa suka di hatinya meski secuil. Sumpah! Bukan apa, naksir Tio harus punya hati yang seluas samudera. Daada selebar lapangan bola, dua atau tiga kali lipat kalau perlu. Mata yang jangan sampai terus mengulang kemesraan sang pria dengan wanita lain. Belum lagi, telinga yang sering sekali mendengarkan rayuan penuh jebakan maut yang mana selalu berujung di lobby hotel dengan banyak gadis yang dikencani beberapa saat saja.
Enggak, ya. Leony hatinya terlalu berharga untuk diguyur banyak kenyataan mengenai siapa sosok Tio. Meski ...
“Siapa tahu karena wajah saya yang memang tampan ini, kamu naksir tapi enggak bisa mengakui. Jadi kalau di kantor sikapnya formal biar enggak kelihatan sama staf lain. Tapi kalau di luar kantor, kamu cukup menyenangkan.”
Mulut Leony jadinya mangap selebar mungkin, lah! Untungnya saja enggak ada sisa daging ayam di dalamnya. Meski ia tak yakin bibirnya enggak berlumuran bumbu, tapi sumpah ya, kenapa Tio sepercaya diri ini, sih? Namun seharusnya ia tak terlalu terkejut, kan? Bosnya sepertinya menderita narsistik yang cukup akut.
“Bapak kayaknya sudah mabuk ayam, deh,” kata Leony dengan senyum setipis helai benang. Berusaha menyingkirkan dengan segera mimik wajahnya yang aneh lengkap dengan mulut menganga lebar. Untungnya restoran ini agak tertutup dan enggak banyak lalat beterbangan. Entah apa kabarnya kalau banyak seliweran di dalam restoran ini. “Saya sudah selesai makannya. Sebentar lagi klien kita datang, kan, Pak?”
Tio menatap tajam pada asistennya yang tengah mencuci tangannya di wadah yang tersedia. Meski begitu, Leony tetap meminta izin untuk meninggalkannya. Katanya mau ke toilet. Sepeninggalan gadis berponi itu, Tio menghela pelan. “Masih ada juga perempuan kebal pesona aku, ya?”
Mendadak ia jadinya ingat dengan gadis pirang yang ketus sekali menghadapinya. Belum lagi kenyataan di mana wanita berambut merah itu ibu kandung si gadis. Astaga. Pantas saja cantiknya enggak gampang tersentuh ketampanan yang ia punya. Mungkin kalau dirinya mau berusaha lebih keras, bisa jadi berpaling dari pasangannya masing-masing, kan?
Etapi enggak. Tio tak akan melakukan hal itu.
Untuk apa? Buang-buang tenaga. Ia hanya tinggal mengedipkan mata, banyak wanita yang akan menjatuhkan diri dalam pelukannya.
Tio mengedikkan bahunya saja. Kembali menikmati bagiannya. Ia masih belum puas makan ayam bakar ini. Beberapa minggu terakhir, ia jarang sekali makan di mana seluruh tubuhnya menginginkan makanan yang tersaji di depannya. Air liurnya mungkin sejak tadi sudah menetes saking enggak sabarnya menunggu ayam bakar itu ada di mejanya. Biasanya ia makan hanya memenuhi kewajiban tubuhnya agar tetap bertenaga. Karena sempitnya waktu yang ia punya. Pikirannya yang sering kusut karena banyak proyek yang harus ia tangani.
Belum lagi perkara Naina.
Ah ... tapi sepertinya, ada beban tambahan yang mendadak datang padanya.
Pesan dari sang ibu beberapa waktu lalu.
[Mama tersayang : Ibu Yeni bilang, kamu punya kekasih? Gadis berambut merah? Naina sayang banget sama dia katanya. Siapa, Tio? Kenalkan segera. Usia kamu juga sudah cukup untuk menikah. Pulang dari Surabaya, temui Mama.]
Sementara Leony yang sudah kembali setelah mencuci tangannya sampai bersih, memastikan enggak ada daging menyelinap di sela giginya, sumpah ya sakit banget kalau ada yang nyangkut di sana. Untungnya, sih, enggak ada. Juga tampilannya yang harus rapi. Setidaknya wajah yang ia punya enggak berminyak amat. Katanya ada klien yang akan datang dan membahas proyek Sidoarjo.
Ia juga harus mempersiapkan tabletnya, kan?
Saat ia menarik kursi yang tadi ia duduki, matanya masih memperhatikan Tio yang masih asyik menikmati makannya. Tapi gelas minum yang ada di dekat si Bos sudah benar-benar kosong. Segera ia tuang kembali agar Tio tak kerepotan.
“Terima kasih, Ony,” kata Tio dengan cengiran lebar. “Tahu saja kalau saya haus.”
Leony hanya menggeleng heran. “Kliennya mau datang jam berapa, Pak? Atau saya telepon sopir untuk segera jemput? Siapa tahu meetingnya di luar restoran? Soalnya saya sama sekali enggak tahu ada jadwal meeting sekarang.”
Tio berdecak pelan. “Meetingnya sama kamu, Ony.”
“Saya?”
“Iya. Sejak tadi kita bicara, kan? Anggap saja meeting.”
Kening Leony kalau dibilang macam seragam yang enggak disetrika, rasanya tepat sekali. Kusut.
“Saya ajak kamu makan malam, Ony. Selain sebagai rasa terima kasih, saya juga butuh teman bicara.”
“Memang Bapak terlibat masalah apa sampai harus bicara sama saya?”
Tio tertawa meski enggak bisa lepas begitu saja. Selain karena baru menelan potongan daging terakhirnya, ia juga belum mau mati tersedak. “Enggak. Saya cuma butuh bicara santai saja, kok.”
Makin jadi lah herannya Leony.
“Terima kasih pokoknya. Nanti malam jangan tidur terlalu larut. Kita terbang pagi. Saya enggak mau beli tiket tambahan karena kamu yang kesiangan.”
Sialan! Kenapa kejadian kala itu diungkit lagi, sih?
“Enggak usah menampilkan wajah jelek begitu, Ony,” gelak Tio jadinya lepas begitu saja. “Lucu banget. Sayang saja tangan saya kotor. Kalau enggak, rasanya saya mau ikat bibir kamu biar enggak manyun begitu. Mirip apa, ya? Lumba-lumba?”
“Wah!” Leony berdecak tak percaya. “Raptor dikasih jantung mintanya hati, ya?!”