[Kilas Balik]
Tio tak peduli kalau sepanjang jalan menuju rumah sakit, hujan deras mengguyur Jakarta dengan hebatnya. Macam menumpahkan semua hal yang ditahan sejak lama. Meski Tio berada di dalam mobil, tapi ia bisa melihat bagaimana hujan disertai angin cukup membuatnya dilanda takut.
Tapi itu semua tak sebanding dengan hatinya yang carut marut. Kabar yang baru saja sampai di telinga membuat ia ta terlalu memusingkan sekitarnya. Ia hanya ingin sampai di rumah sakit.
“Pak, bisa cepat lagi?”
Sang supir, Parjo, hanya bisa menghela pelan. “Sabar, ya, Tuan. Saya juga maunya buru-buru tapi jalanan enggak bersahabat.”
Tio berdecak gusar. Ponselnya sering sekali bergetar tapi ia abaikan. Kalau sampai ia angkat siapa pun yang meneleponnya sekarang, bukannya menenangkannya, yang ada ia semakin kalut. Ibunya pernah berkata, jikalau ada yang membuatnya gusar, berdoalah yang banyak.
Sudah ia lakukan, tapi …
“Tuan, kita sampai.”
Tio tak peduli kalau kemejanya basah. Ia juga abaikan teriakan Parjo yang memintanya bersabar. Dari mana bisa sabar kalau kabar itu membuat dunianya seraya dihantam gempa berkekuatan ratusan ricther! Hancur berantakan. Kakak kebanggaannya, Abyan serta istri juga … ya Tuhan!
“Naina!” teriak Tio begitu tiba di lobby. satu-satunya hal yang menganggu kepalanya hanya Naina. Bocah empat tahun yang sangat dekat dengannya itu. Bagaimana keadaannya. Apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa mereka terlibat kecelakaan yang … Tio kelu.
“Anda Pak Tio?”
Biasanya Tio paling marah kalau dirinya dipanggil Bapak. Ia masih muda. Baru saja menyelesaikan studi bisnisnya! Tapi kali ini ia tak peduli. “Ya, saya. Di mana keluarga saya, Sus?”
“Mari ikut saya.”
Rapalan doanya makin banyak. Permohonanya terus ia kumandangkan dalam hati. berharap tangan Tuhan memberinya keajaiban terutama untuk sang Kakak dan istrinya. Namun …
“Saya mohon maaf. Pak Abyan meninggal di tempat. Sementara istrinya …”
“Kak Azkia!” Tio memekik pelan. “Gimana keadaan Kakak saya, Dok?”
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi sayangnya …”
Tio hanya bisa memejam kuat. tangannya terkepal sampai ia rasa buku jarinya memutih. Air matanya sudah tak tau ia pedulikan sejak kapan membasahi pipinya. Bayang serta suara tawa … “Naina.” Tio membuka matanya. “Gimana Naina, Dok?”
“Anak itu mendapatkan perawatan intensif. Cidera di kepalanya cukup parah tapi kami berusaha sebaik mungkin.”
Setidaknya, ucapan itu pertanda satu harapan besar.
“Lalukan yang terbaik, Dok,” pinta Tio dengan amat.
“Dokter Burhan!”
Mereka berdua menoleh dengan segera.
“Pasien mengalami pendarahan. Stok di rumah sakit untuk golongan darah pasien minus. Saya sudah hubungi Bank Darah pun mereka enggak tersedia. Golongan darah pasien O minus.” Perawat itu bicara terus menerus yang tak terlalu Tio gubris kecuali satu hal; Naina mengalami kondisi kritis.
“Cari segera, Sus.”
Tio ditinggalkan begitu saja setelah Dokter pamit untuk menangani keponakannya itu. Keadaan ini membuatnya terkulai lemah di salah satu sudut koridor rumah sakit. Kehilangan yang baru saja ia tau, begitu mengguncang hatinya. Padahal dua hari lalu, ia masih makan bersama dengan sang kakak dan istrinya. Bercanda seru dengan Naina.
Tapi sekarang.
Ia melipat lututnya. Membenamkan diri di sana. Menangis. Sama seperti hujan yang rasanya juga belum mau berhenti menumpahkan rintik air di luar sana.
“Pak Tio.”
Panggilan itu membuatnya mendongak. “Ya, Sus?” Ia pun segera mengusap air matanya.
“Pak, bantu kami cari donor di luar sana. Kami berusaha semaksimal mungkin menghubungi tapi banyak yang dibutuhkan. Kami mohon kerja samanya.”
Tio termangu.
“Kalau enggak, pasien bernama Naina bisa semakin mengkhawatirkan kondisinya.
“Iya, Sus.” Tio akan berjuang. “Akan saya bantu cari.”
“Terima kasih, Pak.” Kembali perawat itu pergi. Membiarkan Tio sibuk dengan ponselnya. Siapa pun yang ia kenal, ia telepon. Mengabari keadaannya dengan sesingkat mungkin dan apa yang ia butuhkan. Kadang ia berdecak sebal, kadang lagi ia tinggikan suaranya. Tak jarang juga, ia menahan isaknya agar konsetrasinya masih ada sampai …
“Ehm … siapa tau darah aku cocok. Sejak tadi aku perhatikan, kamu sibuk cari donor?”
Tio menatap lekat gadis kurus di depannya ini. matanya cepat sekali memindai dan membuat penilaian. Mana bisa gadis kurus ini, ah … itu juga kalau cocok.
“Saya O minus.” Gadis itu memutar bola matanya sedikit jengkel. “Terserah, sih. Saya hanya menawarkan diri.”
“Oke!” Tio segera bangkit. “Ayo, kita ke ruang pemeriksaan dulu.”
“Tapi bayarannya mahal, ya?”
Tuhan … di saat seperti ini masih ada orang yang mengharapkan imbalan besar? Tak apa! Akan Tio bayar! Mahal! terserah mau semahal apa pun asal Naina selamat!
Itu janjinya.
“Kamu enggak penasaran dengan bayarannya?” tanya si gadis dengan kikikan geli. Matanya menatap sang lawan bicara penuh minat.
“Aku dari keluarga berada. Kamu tenang saja. Berapa pun yang kamu mau, kalau darah kamu bisa selamatkan anak saya, saya ganti. Berkali-kali lipat kalau perlu.”
Gadis itu melebarkan tawanya.
“Ehm … saya enggak butuh uang. Uang saa juga banyak.” Ia mengibas pelan rambutnya yang hitam legam itu.
“Terus?” Tio jadinya tak sabar. Mana ada orang yang berniat membantu ternyata mengukurnya dengan sebuah nominal.
“Menikah dengan aku nantinya.”
Mata Tio melotot sempurna.
“Tenang, enggak sekarang, kok. Di masa depan mungkin? Saya masih SMA soalnya.”