[6] Kembali ke Jakarta

1364 Words
Leony sengaja jalannya dibuat selunglai mungkin. Bosnya ini enggak punya hati atau memang sudah mati, ya? Dirinya yang diminta membawa semua barang bawaan yang ada! Meski pakai trolly khusus tapi tetap saja, kan? Ya Tuhan! Mau protes tapi Raptor berkata, “Olah raga, Ony. Baik untuk kesehatan kamu.” Dia? Enak banget jalan bergandengan berdua dengan Naina! Macam bapak muda dengan anak kesayangannya. Belum lagi ia masih harus berpikir mengenai pekerjaan esok yang enggak jua longgar kapasitas tumpukannya. Kapan dirinya bisa bernapas lega coba? “Ony, ayo cepat. Pak Parjo sudah tunggu.” Leony berdecak kesal. langkahnya ia seret paksa. “Sabar, Raptor.” “Saya dengar kamu bicara, Ony.” Bibir Leony mengerucut sebal. “Tapi Daddy memang macam Raptor, kok.” Naina kali ini bersuara. Ia lepaskan rangkulan Tio meski agak tak rela hanya demi memperhatikan gadis berponi yang berjalan di belakangnya. “Kak Ony capek, ya? Kita minum es kopi dulu, yuk.” “Memang Nai mau traktir Kakak?” tanya Leony dengan cengiran lebar. “Ya enggak. kan, Kak Ony yang kerja dan punya banyak uang. Masa aku yang masih sekolah, ditraktir sama orang yang sudah kerja.” Yaelah! Anak ini pintar sekali kalau bicara. Tapi Leony juga selalu punya cara tersendiri dalam hal membujuk. “Tapi Kak Ony lelah banget, lho, barang Nai sama Daddy kamu.” “Kalau gitu, kita minta traktir Daddy saja. kan, uangnya Daddy paling banyak.” Leony jelas nyengir lebar di mana Tio yang memperhatikan interaksi mereka, hanya memutar bola mata sebal. “Sesekali kamu traktir saya, Ony.” “Bos,” Leony menatap Tio dengan nelangsanya. Kali ini, tak ia gunakan panggilan Raptor karena sepertinya berbahaya. “Jangan terlalu kejam sama saya, Bos. Kalau Bos minta traktir, uang makan saya seminggu langsung lenyap.” “Jangan perhitungan sama atasan.” Leony makin bingung jadinya. “Ayo, Nai. Kita mau ditraktir Kak Ony.” Tio tersenyum lebar sembari merangkul Naina kembali. “Kebetulan di sini ada Starback.” Sudah menyeret troly agak berat, ditambah dirinya memang masih merasa lelah dengan pekerjaannya, lantas kenapa juga Tio semakin membuatnya terbeban dengan traktiran di kafe yang menawarkan harga kopi cukup menguras kantungnya? Tuhan! Cobaannya kenapa bertubi-tubi, sih? Kalau hanya berdua dengan Naina, ia bisa mengukur tingkat kemampuannya mengeluarkan uang. Tapi Tio? Leony mau nangis aja, lah! Mereka berdua macam orang yang dapat jackpot besar saja, lho. Jalannya makin riang, ditambah Leony bisa dengar tawa mereka berdua. Girang betul! Andai berteriak dan menolak bisa ia lakukan, pasti sudah dilakukan. Leony masih punya malu, kok. Enggak sampai yang harus menjatuhkan harga dirinya dengan mengeraskan suara. Tapi kepalanya juga langsung menghitung kira-kira harus merogoh kocek berapa. Duo bersaudara itu langsung masuk begitu saja ke kedai yang terletak di salah satu sudut bandara. Menunggu Leony meletakkan troly tak seberapa jauh dari pintu utama kafe. Yang mana bisa terpantau jelas oleh mereka meski ada di dalam kafe. “Pak,” kata Leony menghampiri Tio yang kini berdiri tak seberapa jauh dari kasir. Membiarkan Naina memilih tempat yang ia sukai sebatas untuk menghabiskan cup iced pesanannya nanti. “Ya?” Tio masih bingung, apa yang ingin ia minum kali ini. Favoritnya tetap Asian Dolce Latte meski terkadang Caffe Americano membuatnya merasa rileks. “Saya Asian Dolce Latte regular saja. Mango Frapucinno regular dan … kamu seperti biasanya, Ony? Caramel Macchiato?” Memang itu yang Leony inginkan, sih, tapi? “Bapak tau?” “Tau, lah.” Tio kembali menatap menu yang terpajang di layar atas. “Red Velvet dan Blue Velvet Roll. Tuna cheesenya dua. Dan satu lagi, cinnamon Roll.” “Ada lagi, Kak, pesanannya?” tanya si kasir sembari mengulang kembali apa yang Tio sebutkan tadi. “Itu saja,” sahut Tio kalem. Ketahuilah, ucapan kalem itu berbalut dengan senyum andalannya. Yang mana, si kasir ada sempat beberapa detik terkesima. Tio dan pesonanya. Yang tak pernah gagal membuat para gadis memandanginya. Andai Tio lanjutkan, nomor ponselnya pasti sudah bisa ia dapatkan. Semudah itu memang. Leony sudah sangat terbiasa dengan tingkah bosnya ini. Tidak. Bosnya tidak merendahkan diri untuk berkenalan dengan pada gadis. Tapi apa yang Tio punya ini bisa membuat gadis kebanyakan enggak mau berpaling. Siapa, sih, yang enggak mau mengakui kalau Tio ini tampan? Leony juga akui itu, sih. Meski, yah … “Kamu jadi bayar semuanya, kan, Ony?” tanya Tio yang membuat lamunan Leony buyar. “Saya yang bayar, Pak?” Leony kelabakan. Bukan karena ia tak memiliki uang tapi, kan? “Pak? serius?” tanyanya sekali lagi. “Iya, lah.” Tio tersenyum lebar. Yang mana ekor matanya tau, si kasir tak lepas memandangi Tio padahal ia sudah berbalik arah. Menepuk bahu Leony dengan segera lantas mendorongnya agak ke depan. Memosisikan dirinya di belakang sang gadis yang bertubuh kurus ini. “Terima kasih traktirannya, Ony,” bisiknya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Leony di depan kasir. Garis tawa yang Tio punya masih setia sampai ia duduk di meja di mana Naina menunggunya. Sedikit menenangkan keponakannya yang banyak bertanya kenapa pesannya lama sekali. Astaga! Padahal kalau dihitung lama, sama sekali tidak, lho. Tio dan Leony masih bisa Naina jangkau dengan matanya. Tapi bukan Naina namanya kalau bibir mungilnya ini tak lancar melayangkan protes. Semeentara itu, Leony harus merelakan kartu debitnya digesek senominal yang dibacakan kasir. Matanya sesekali menatap miris pada struk yang keluar dari mesin printer. “Pesanannya nanti atas nama siapa, Kak?” “Raptor,” kata Leony dengan lancarnya. Tak menyadari kalau ucapan barusan membuat sang kasir terperangah. “Ya, Kak?” “Pesanannya nama Raptor. Masa saya bohong? Pria ganteng tadi namanya Raptor!” sungut Leony di mana ia pun segera berlalu dari meja kasir. Tak peduli kalau si kasir masih memberinya tatapan heran. Bingung juga kali kenapa pria setampan Tio punya nama Raptor. *** Beberapa kali Tio mengantar Leony sampai di depan rumahnya yang bercat sedikit, ah … banyak. Mengelupas di beberapa sudut dan tak terawat. Pagarnya saja sudah banyak karat mengelilinginya. Mau bertanya, tapi Tio tau batas. “Terima kasih sudah mengantar saya, Pak,” kata Leony dengan senyum tipis. Seharusnya ia tiba beberapa jam lalu tapi Naina berhasil membuatnya pulang terlambat. Tak ada masalah sebenarnya karena Leony sendiri tak ada yang mencarinya. Adik serta ibunya sibuk dengan urusan masing-masing. Menghubungi Leony kalau butuh saja. Sisanya? Ia dibiarkan sendiri meski masih tinggal bersama. menegur hanya seperlunya saja. Sama seperti sekarang di mana tak ada yang menyambutkan kecuali kegelapan malam. Lampu di depan rumahnya saja sudah temaram padahal entah sudah berapa kali ia beri uang untuk menggantinya. Katanya, “Uangnya Ibu pakai makan.” Leony tau, makan yang dimaksud ibunya bukan sebatas mengenyangkan perut. “Jangan terlambat besok.” Leony hanya bisa mengangguk patuh. Dibiarkan pria yang berbaik hati mengeluarkan koper miliknya, menyerahkan padanya barusan, serta memperhatikan rumahnya jauh lebih lekat ketimbang sebelumnya. “Enggak ada orang lagi?” tanyanya. “Saya belum cek, Pak,” sahut Leony dengan ringisan tipis. “Saya masuk dulu kalau begitu. Bapak juga hati-hati pulangnya, ya.” Tio biarkan punggung asistennya itu pergi menjauh. Bunyi derit yang memecah kelamnya malam ini seolah pertanda, kalau bangunan yang harusnya direnovasi ini sangat kontras dengan sekitarnya. Sosok Leony akhrinya masuk ke dalam tanpa menoleh lagi pada Tio. Tak jadi soal sebenarnya. Tio cuma ingin pastikan kalau si asistennya tiba dengan selamat. Sementara itu, di ruang tamu di mana dua sofa yang mengelupa kulitnya, duduk seorang wanita dengan rokok terselip di tangan. Aroma pengap dan apak langsung menguasai indera penciuman Leony. “Ibu belum tidur?” “Tunggu kamu pulang,” tukasnya singkat. Lewat ekor mata Leony, sang ibu mengepulkan asap dari sela bibirnya yang menghitam. “Kalau dinas ke luar kota, ada lemburannya, kan?” Gadis berponi itu memilih untuk tak menjawab. Jenis pertanyaan itu harusnya sang ibu sudah tau dan hapal sekali apa yang menjadi jawaban Leony. “Adikmu mau study tur ke Bali. Lumayan kalau lemburanmu besar.” “Iya, Bu.” Leony tak ingin banyak bersuara. “Lagian, kamu itu kenapa enggak menggaet bosmu yang kaya itu, sih? Biar hidup kita terjamin!” Leony memejamkan mata, menahan gejolak yang menguasai tubuhnya dengan sekuat mungkin. “Dia juga janji mau berikan bayaran yang mahal karena kamu sudah bantu dia, kan? Tagih aja! Ini Jakarta. Enggak ada yang gratis. Bodoh!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD