Menjadi asisten Tio itu harus serba bisa. Termasuk saat mendadak harus masuk ke dalam medan berbatu serta licin ditambah banyak tanaman liar. Untung saja, berhubung sekali lagi Leony katakan, ia sudah sangat berpengalaman menghadapi siksaan Tio. Mengenakan celana kain yang nyaman, blouse berbahan katun yang nyaman, rambutnya dikuncir meski agak kesukaran karena yang ia milik rambut lurus sekali seperti habis direbonding. Sneakernya juga ia pilih yang berwarna gelap.
Dan ini lah tempat yang mereka tuju.
Berlumpur. Licin. Panas. Berbatu dan jalannya cukup berbahaya di mana ia harus berhati-hati sekali melangkah. Bosnya? Ehm! Mana mau menunggunya. Jalan aja teroooss macam enggak memikirkan kalau langkah yang ia punya, kecil dan penuh perhitungan. Kalau ia jatuh? Bokongnya yang tepos ini makin tepos! Kalau jatuhnya hanya ke tanah empuk berlumpur, kalau ke bebatuan yang tajam? Duh! Sudah malu, ditambah sakitnya enggak ketolongan!
“Ony!”
Leony mengembuskan napas kasar. “Iya, Pak!” Ia pun mempercepat langkah walau berkali-kali benahi kacamatanya. Ia harus benar-benar memperhatikan kakinya berpijak.
“Dari tadi kamu dengar saya bicara?”
“Dengar, Pak.” Kalau perkara mendengarkan ocehan Tio, Leony selalu menggunakan cara terjitu. Merekam dengan alat khusus. Andai nantinya sang Raptor minta rangkuman, ia hanya tinggal mendengarkan kembali dan tak ada yang terlewat.
Dari belakang, sebenarnya Raptor ini punya punggung yang lebar. Kemejanya selalu pas memeluk tubuhnya yang memiliki bentuk oke punya. Tinggi tegap, rambutnya berpotongan rapi, meski memiliki bulu halus di sekitar rahang tapi sang bos enggak pernah lupa merawatnya dengan baik dan benar. Entah karena bulu halus atau memang tampangnya yang keren, Tio selalu berhasil menjadi pusat perhatian.
Kendati demikian, Leony tak peduli. Ia tak silau dengan pesona atasannya. Karena saat pesona itu telah jatuh di masa lalu, dirinya ditampar satu kenyataan; Tio player sejati. Sementara dirinya pengusung kesetiaan nomor satu. Baginya, sekali bermain dengan perempuan, sesetia apa pun ucapannya nanti, pasti kembali terperosok. Berkelana menjajal perempuan satu dengan lainnya.
Itu Tio di mana Leony.
Jadi segala bentuk perhatian Tio padanya, ia kebal. Hanya berucap terima kasih dan bertampang datar seperti biasanya. Atau membalasnya sebagai bentuk tak ingin memiliki banyak utang budi. Sang cassanova biarkan mengembara sesuka hatinya. Sudah ia tutup apa yang dimiliki hatinya. Dari pada sakit hati? Lebih baik menjaga diri, kan?
“Dealnya berapa, Pak?” tanya Tio sekali lagi. Di mana ia mendongak pada langit Sidoarjo yang cerah sekali. “Kamu enggak bawa payung, Ony?”
“Buat apa, Pak?” Leony jadinya heran. Ia sudah berdiri di sisi Tio sekarang. satu-satunya hal yang menggoda milik Tio yang bisa melunturkan imannya Leony itu punggung. Untungnya, Tio bekerja enggak pernah memberi punggungnya. Jadi … Leony tetap berpegangan teguh mengenai tekadnya yang enggak akan silau dengan pesona Tio. Karena jarang sekali, kan, Tio memberinya punggung?
“Panas,” keluh Tio.
“Ya, Tuhan! Raptor kalau lari di hutan belantara cepat dan enggak peduli cuaca. Raptor yang ini beda amat,” gerutu Leony dengan suara yang sangat pelan. Canggihnya meski gerutuan itu didaraskan macam mantera di mana senyumnya Leony timbul di sana, sang bos bisa dengar lho!
“Saya bukan Raptor, Ony!” Tio berdecak sebal.
Kepala proyek yang menangani urusan kali ini, Kelvin namanya, tertawa melihat pertengkaran kecil keduanya. Sejak awal berkenalan dengan asisten seorang Satryo Cakra, entah kenapa aura yang ditampilkan cukup berbeda. Tak seperti asisten yang pernah diperkenalkan Tio padanya. Mengabdi pada Faldom sejak enam tahun lalu, membuatnya tahu betapa Tio sering bergonta ganti asisten.
Hanya Leony yang betah dan sering mendebat Tio tanpa takut.
“Enggak ada, Pak. Tadi saya tawari untuk dibawa, Bapak bilang enggak perlu,” sahut Leony kalem. Ia sudah membuka notes yang tadi sempat ditaruh di tasnya. “Jadi, apa saja Pak Kelvin yang dibutuhkan untuk membuat mereka deal?” Ia pun membenahi kacamatanya. Peluh Leony sendiri sudah mengganggu di mana poninya sudah agak lembab. “Problemnya masih sama seperti tiga bulan lalu?”
“Seperti itu lah keadaannya.”
Leony manggut-manggut. “Padahal kita sudah berupaya dari segala sisi, ya, Pak? Saya lihat tracking progres pendekatannya tapi sepertinya jalan di tempat.”
“Lokasinya menurut saja oke punya, ya. Tapi warga di sini maunya tambah harga. Isu beredar mau ada pembangunan jalan penghubung yang melintas area di sini, Mbak.” Meski Kuncoro jauh lebih tua dibanding Leony, tapi atas nama sopan santun ia selalu membahasakan panggilan ‘Mbak’ pada Leony. Tadinya gadis itu keberatan tapi seiring waktu berjalan, ia tampak mulai terbiasa.
“Tapi rencana itu memang ada, kan, Pak?” tanya Leony penasaran. Mendadak ia mendongak karena ada bayangan teduh tepat di atas kepalanya. “Lho? Bapak?”
“Dibilang panas kamu enggak percaya, ya, Ony?” Tio berdecak sebal. “Ya ... gampangnya saja Kuncoro. Kamu tanya sampai deal ke warga. Saya sudah share budget tertinggi yang bisa kita beri. Saya mau awal tahun proyek ini berjalan.”
Dan masih banyak pembicaraan lain yang terjadi antara Tio juga Kuncoro. Tangan si Bos enggak mau gantian memegang gagang payung di mana lebih banyak mengarah pada Leony. Sebenarnya Raptor s***h Tio s***h bosnya ini baik hatinya. Pengertian dan perhatian tingkahnya.
Sayang ... terlalu banyak wanita yang jatuh ke dalam pelukannya demikian mudah.
Leony? Bukan perempuan gampangan.
***
“Kenapa Kakak lama?” tanya Naina dengan wajah cemberut. Tangannya terlipat di daada. Jangan tanya matanya menatap Leony macam apa. Sudah macam tertuduh yang sangat amat bersalah si Leony dibuat Naina.
“Kakak kerja, Nai. Disiksa sama Raptor ganas.”
“Yang benar?” Naina jadinya enggak marah. Malah duduk di samping Leony. Langsung saja ia meneliti dengan saksama bagian tubuh Leony. “Enggak ada yang luka, ah.”
Ucapan Naina membuat Leony terbahak. Sampai sakit perut tapi menyebabkan anak yang sejak dua hari lalu menanyai dirinya, kembali merengut. “Kak Ony enggak asyik! Nyebelin!”
“Kan, Nai tahu Raptor kita siapa.”
Naina kembali melipat tangannya di daada. “Kapan kita kembali ke Jakarta?”
“Sudah enggak betah?” Leony melepas kacamatanya. Agak memburam pandangannya tapi berusaha untuk ia sesuaikan. Matanya agak lelah, makanya butuh dilepaskan sejenak. Lagi juga ia butuh membersihkan lensanya dari debu serta kotoran yang menempel. Bisa menghalangi pemandangannya.
“Iya. Oma bawel bangat nyuruh aku sekolah yang ini itu lah. Aku mau liburan yang tenang saja, selalu ditanya mengenai cita-cita dan sekolahnya. Enggak ada pertanyaan lain kah?”
Leony terkikik. “Oma khawatir sama kamu, Nai. Beliau tanya juga untuk kepentingan kamu.”
“Aku belajar, kok, Kak.” Naina bersandar di bahu Leony. Bagi hidupnya sekarang, kedatangan Leony di awal gadis itu bekerja bersama Daddy-nya adalah sebuah keberuntungan. Ia merasa ada yang bisa mengajaknya bicara. Sudah begitu, Naina merasa seperti punya kakak. Sayangnya, Leony memang sibuk.
Sama seperti Daddy-nya.
“Yang terpenting, usahakan nilai yang terbaik.” Leony mengusap kepala Naina penuh sayang. “Bisa?”
“Bisa dong. Aku itu aslinya pintar. Malas saja belajarnya.” Naina jadi ingat Farah lagi. Padahal ia sudah berjanji enggak akan mengingat wanita berambut merah itu kembali. Sayangnya, bayang wajah Farah terus mengusiknya. “Ah, jadi kangen Mami.”
“Sudah janji, lho, enggak ingat-ingat lagi.” Leony menjawil singkat ujung hidung mancung Naina.
“Namanya juga kangen,” sanggah Naina cepat. “Aku cerita sama Oma, malah Oma jadinya penasaran banget. Memangnya kenapa, sih, kalau aku ingin Mami Farah bersama Daddy?”
“Ya enggak bisa, Nai.” Leony tertawa. “Mami Farah sudah bersama keluarganya. Nai dan Daddy berbeda.”
“Begitu, ya?”
Tak ada yang bisa dilakukan Leony selain kembali mengusap puncak kepala bocah dua belas tahun ini. “Eh ... kamu sebentar lagi ulang tahun, kan?”
“Iya,” sahut Naina singkat. “Aku enggak mau ada perayaan apa pun.”
“Kenapa?” Leony heran, lah! Hampir setiap tahunnya ia direpotkan dengan dekorasi pesta ulang tahun seorang Badriya Ishana Naina. Apa pun yang ia katakan, harus dikabulkan oleh Tio. Dan yang paling direpotkan jelas Leony.
“Bosan.” Naina mengedikkan bahu. “Doaku belum juga dikabulkan Tuhan.”
“Minta apa, sih?” Leony tertawa jadinya. Padahal menjadi Naina menurutnya beruntung sekali. Tumbuh di kelas ekonomi yang bisa dikatakan berlebih. apa pun yang ia inginkan bisa segera terwujud. Mendapatkan kasih sayang meski bisa dibilang terbatas, tapi ada dari Tio.
Walau, ya ... ia akui, kehilangan orang tua tak sebanding dengan apa yang bocah itu miliki sejak dini itu. Namun setidaknya, Naina enggak merasakan kesulitan macam dirinya. Sampai sekarang pun, ia masih harus berjuang untuk menyekolahkan adiknya. Tidak. Ia bukan tengah mengeluh. Percuma juga. Karena setiap bulannya, sang ibu pasti memerasnya dalam hal uang. Rasa sayang yang ia dapatkan, cuma sebatas saat gajian saja. Selebihnya, ia tak pernah ditanya bahkan masalah sepele.
Ada keinginan di hatinya untuk sekadar ditanya, “Ony, kamu sudah makan? Tidurmu kurang enggak? Hati-hati kerjanya. Kamu perempuan.”
Enggak ada. Leony tak pernah mendapatkan hal itu dari ibunya. Sang ayah? Sudah lama berpulang karena kecelakaan di tempat kerja. Menyadari posisinya sebagai anak sulung, ia kubur banyak harapan mengenai masa depan yang indah untuknya. Ada yang harus ia topang.
Walau ... tanpa ucapan terima kasih.
“Minta Mami untuk hidupku.”
“Mana ada begitu,” sela Tio dengan cepatnya. “Ayo, Ony. Saya masih ada meeting.”
“Sudah mau pergi?” tanya Naina sembari bangkit dari duduknya. “Daddy baru kembali, kan?”
“Iya, Nai.” Tio tersenyum lebar. “Satu meeting lagi selesai, baru lah kita pulang.”
“Enggak bohong, kan?”
“Enggak.” Tio tergelak. “Rapikan baju kamu, ya. Minta bantuan Oma.”
Leony mana bisa bantah. Padahal ia masih terlalu lelah. Perjalanan Sidoarjo Surabaya niatnya ia jadikan ajang tidur siang. Eh ... Bos Tio yang maha benar ini maunya membahas banyak proyek. Biasanya juga telepon entah wanita yang mana lalu bicara yang menurutnya anonying sekali. Kenapa tadi enggak seperti itu?
“Pak, meetingnya di mana? Sudah hampir jam lima sore pula. Kok, saya enggak tahu, ya?”
“Sama pihak Grass Media. Masa enggak tahu? Kamu asisten saya atau mendadak ganti posisi, sih? Kita sekalian makan malam. Penerbangan ke Jakarta pagi esok, kan?”
Itu, sih, Leony tahu.
“Ayo, Ony! Lama banget macam siput!”