3. Dekil, lusuh tapi tidak hina

1026 Words
Sudah semingguan aku tidak semangat mulung. Saat Kak Alfath lama tidak menengokku,aku selalu merasa ada yang kurang. Aku duduk di teras pondok dengan lunglai. Berharap sang penyemangatku akan mengejutkanku karena datang tiba-tiba. Kepalaku menunduk, merasa semuanya adalah salah. "Kak, maaf. Aku tidak ingin bergantung padamu, tapi aku tidak bisa." ucapku sendirian. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memanfaatkan kebaikan kak Alfath. Namun, diri ini berkhianat. Aku bergantung pada pria calon Polisi itu. Saat lama tidak ketemu, aku merindukan dirinya. Saat aku menatap wajahnya, pasti akan ada binar bahagia di wajahku. Tin tin! Suara klakson mobil membuatku mendongak. Mobil Range Rover yang berhenti tak jauh dari tempatku duduk, sama persis yang selalu digunakan kak Alfath. Dengan spontan aku berdiri. Lihatlah aku, dengan tidak tau malunya sudah tersenyum lebar padahal Kak Alfath belum turun.  Seorang gadis cantik dengan sepatu bagus menginjakkan kakinya di tanah. Aku mengerutkan alis bingung. Siapa gerangan wanita itu. Kenapa mobilnya bisa sama persis seperti Kak Alfath?. "Kamu Adiva ya?" tanya gadis di depanku tanpa basa-basi, aku menganggukkan kepalaku gugup. Apalagi, dua orang yang seperti bodyguard ikut turun dan berdiri di belakang sang gadis cantik itu. "Aku lihat wajah kamu tadi berbinar-binar. Kenapa? Kamu ngarep kak Alfath?" tanya gadis itu menghina. "Eh ..." jawabku tersentak. "Kamu masih kecil jangan keganjenan ya! Mentang-mentang kak Alfath baik sama kamu, kamu jadi bergantung sama dia. Jadi orang nyadar dikit, udah dikasih hati gak usah ngerampas lainnya!" makinya lagi. Aku yang tidak tau siapa dia jadi kikuk sendiri. "Kalau boleh tau, kakak siapa ya?" tanyaku berusaha ramah tamah. "Apa kamu tidak lihat penampilanku? yang jelas aku orang kaya, tidak sepertimu. Udik, lusuh dan busuk, pantas saja orang tuamu membuangmu!" jawab gadis itu. Sebagian hatiku tercubit mendengar penuturan gadis di depanku ini. Sebegitu hinakan diriku ini?. "Apa salahku sama kakak?" "Kamu salah besar! Kamu sudah menguasai Alfath, sudah memanfaatkan dia yang kelewat baik hati. Heh, tidak semua harus tunduk sama tangisan palsumu itu. Stop menahan Alfath untuk dirimu sendiri!" "Aku tidak menahan kak Alftah untukku!" sangkalku. "Jangan pura-pura polos. aku tau sifat busukmu! "Kakak salah paham!" teriakku tanpa sadar. Aku merasa tidak mempunyai salah apapun pada kakak di depanku, tapi kenapa daritadi kakak itu terus mengataiku. Aku juga merasa tidak pernah menguasai kak Alfath. Kak Alfath sendiri yang selalu datang ke sini untuk menemuiku. "Kalau aku masih lihat kak Alfat menemuimu, aku tidak akan segan menyuruh bodyguardku membuangmu ke tempat yang jauh dan kamu akan jadi tumpukan sampah!" ancam kakak itu dengan kejam.  Aku menunduk, tak terasa air mataku menetes deras. Kakak itu mendorong tubuh ringkihku sampai aku jatuh terduduk. Aku sudah seperti barang hina yang memang pantas dibuang. Shila berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. "Kakak tidak apa-apa?" tanya Shila khawatir.  "Kakak kenapa membuat kak Adiva menangis? nanti Shila aduin ke kak Alfath biar kakak dimarahin!" ancam Shila mendorong tubuh wanita cantik itu dengan kuat.  "Ngapain kamu sentuh aku? tubuhku bisa ikut bau sepertimu!" bentak wanita itu dengan keras. Sejenak aku lihat, Shila bergetar ketakutan.  "Kakak yng sombong dan angkuh, teruslah sombong sampai kesombongan itu menghancurkan kakak. Kak Alfat selalu bilang, jangan dengarkan orang sombong berbicara, karena orang yang paling sombong adalah orang yang paling tidak mampu!" tandas Shila dengan berani. Aku merasa kalah dari Shila. Shila, bocah kecil yang tidak akan mau ditindas, sedangkan aku? aku selalu pasrah dengan orang-orang yang menghinaku. "Kamu jangan ketinggian ngarepnya, karena sampai kapanpun, kak Alfat tetap milikku," tandas wanita itu. Ia merogoh tasnya, membuang lembaran uang ratusan ribu ke tubuhku dan tubuh Shila. "Apakah ini definisi miskin yang sebenarnya?" sinisnya. "Pungut uang itu dan belikan semua kebutuhanmu, orang miskin!" wanita itu berucap dengan nada mengejek dan berlalu pergi begitu saja. Aku dan Shila hanya mematung di tempat. Uang ratusan yang sangat banyak, bercecer di mana-mana. Begitu mudahnya orang kaya mencari dan membuang uang sembarangan. Sedangkan aku belum tentu satu hari mendapat seratus ribu. "Kakak jangan ambil uangnya. Walau kita orang miskin dan hanya pemulung, kita masih punya harga diri. Ayo masuk ke dalam!" ajak Shila menuntunku. Aku diam sambil mengikuti gadis kecil itu. Aku pun juga tidak mau memungut uang yang dilemparkan secara cuma-cuma. ***** Aku termenung di kamarku seorang diri. Aku membiarkan adik-adikku bermain di ruang bermain yang sudah disediakan. Hidup ini unik, yang diatas makin melambung, dan yang dibawah makin merendah. Harta, tahta, jabatan dan popularitas, itulah yang selalu diagung-agungkan orang-orang. Aku melirik telapak kakiku, kaki yang menopang tubuh yang selalu direndahkan orang-orang. "Tidak apa-apa, aku yakin suatu saat kehidupan akan berbalik. Roda saja berputar, tidak mungkin kalau kehidupan tidak akan berputar," ucapku menyemangati diri sendiri. Aku membuka buku tentang planet-planet luar angkasa. Aku menemukan buku itu di tempat sampah, lalu aku membawanya pulang. Aku selalu senang saat ada orang-orang yang membuang buku-buku seperti ini. Buku bekas yang sebagian sudah sobek, sangat berguna bagiku yang bahkan tidak pernah bisa membelinya.  "Bulan, satelit alami terbesar di Tata surya." aku membaca kalimat itu dengan seksama. Aku suka bulan, dan aku ingin pergi ke sana dalam setiap mimpi malamku.  "Meskipun bulan terlihat putih dan terang, sebenarnya permukaan bulan berwarna gelap. Dengan intensitas cahaya sedikit lebih tinggi dari aspal cair." Aku mengingat warna bulan yang biasa aku lihat. Aku selalu melihat Bulan dengan warna terang dan bercahaya, tapi kali ini aku tau kalau bulan ternyata gelap. Mungkin memang benar, apa yang terlihat belum tentu adalah kebenaran. "Emas, permata, mutiara, itu selalu bersembunyi dalam tempat yang orang lain tidak akan pernah memikirkannya." ucap Shila. Aku menyingkirkan buku untuk menatapnya, dia balas menatapku dengan pandangan teduhnya. Saking seriusnya aku melamun, sampai tidak sadar Shila masuk kamar.  "Kak Alfath pernah berkata demikian kan, kak?" tanya Shila. Aku mengangguk dengan samar. Mengingat nama Alfath, membuatku teringat dengan wanita yang tadi meremukan sebagian hatiku. "Kita memang dekil, lusuh dan mungkin terlihat hina. Namun, di diri  kita ada mutiara yang tersembunyi, tepatnya di hati kita." ujar Shila menyentuh dadanya.  "Iya, Shila. Kita masih punya mutiara." ucapku parau. "Sekarang kita dicaci maki, kita dihina dan kita dianggap sampah. Namun Shila percaya kak, kalau kita bakal jadi orang besar dan sukses. Tuhan tidak tidur, dan Tuhan suka hambanya yang berusaha dan berdoa." Salahkah aku yang sangat cengeng, rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya saat mendengar ucapan Shila. Maafkan aku Tuhan, aku selalu lengah untuk bersyukur. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD