4. Keterdiaman

1032 Words
Hari-hari ku di tempat pelatihan sangat tidak jenak. Pasalnya, aku sudah lama tidak bertemu dengan Adiva. Rasanya seminggu sudah seperti tujuh hari, sangat lama. Andai gadis itu sudah seumuranku, sudah pasti aku akan memacarinya sejak pertemuan pertama, ah salahkan otakku yang berpikir tentang pacaran. Menurutku memang wajar sih aku ingin pacaran, mengingat umurku sudah sembilan belas tahun. Namun, aku ingin menjaga Adiva, agar otaknya tidak tercemar olehku.  "Alfath, capek?" tanya Zidan menepuk bahuku.  Aku paling kesal kalau teman-temanku menanyakan itu padaku. Seolah aku anak cupu yang tidak tahan merasakan lelah. Meski aku terlahir sebagai anak orang kaya, tidak sekali dua kali aku membantu mamaku cuci baju, jadi aku terbiasa dengan rasa capek,  "Kenapa kamu ke sini?" tanyaku pada Zidan. "Besok kita bisa pulang ke rumah dua hari, tadi aku nguping sih di markas pelatih. Nanti kalau apel pasti ada pengumuman," ucap Zidan. Seolah mendapat jackpot, aku langsung tersenyum cerah. Akhirnya setelah aku galau tujuh hari, aku bisa bertemu dengan Adiva.  "Eh btw, kamu kenapa bisa nguping?" tanyaku bingung. Teman seangkatanku paling nyleneh ya Zidan.  "Penasaran aja sama isi rapat komandan," jawab Zidan cengengesan.  "Jangan ulangi. Kalau ketahuan bisa habis kamu." Selang beberapa lama, suara speaker berbunyi, pengumuman dari komandan untuk segera apel. Aku dan Zidan bergegas untuk ke lapangan. Baris-berbaris sesuai intruksi komandan. Ternyata benar apa kata Zidan, kami diperbolehkan pulang walau dua hari. Senyumku mengembang karena bahagia, tapi sebisa mungkin aku menahannya. Bisa disasak sama komandan kalau aku senyum-senyum tidak jelas. Setelah acara apel, aku bergegas mengambil barang-barangku di camp.  "Al, udah telfon papa kamu buat jemput?" tanya Zidan. Aku mengangguk, mengambil hp yang aku simpan di tas. Meski aku membawa hp, aku tidak pernah menggunakannya. Zidan selalu menasehatiku untuk fokus pada pendidikan.  Setelah aku membuka hp, aku menghela napas kecewa. Tidak ada satu pun pesan dari gadis yang aku inginkan. Biasanya, Adiva akan mengirimiku pesan walau hanya pesan singkat penyemangat. Bolak-balik aku merefres pesan, tapi juga tidak ada pesan dari gadis itu. Apa kabar Adiva, ke mana Adiva, apa yang dilakukan Adiva, semua merasuk di pikiranku.  Walau aku laki-laki, aku gampang perasa seperti ini. Tidak mendapat pesan dari Adiva sudah membuatku gelisah dan kepikiran. Ah lama-lama bisa asam lambung kalau mikirin Adiva terus. Aku memutuskan untuk keluar gerbang setelah mengabari papaku.  "Anak papa yang ganteng, apa kabar? Kamu sehat-sehat aja kan?" tanya papa setelah beliau turun dari mobil. Bahkan papaku sekarang mencubiti pipiku dengan gemas. Membuatku malu saat ditatap teman-temanku.  "Pa, jangan begini, aku dikira anak manja sama temanku," ucapku meringis. "Sudah sini ayo masuk, sehat kan?" "Sehat, Pa. Papa, mama dan adik sehat, kan?" tanyaku. Papa mengangguk dan mengajaku masuk mobil. "Sehat-sehat aja. Gimana pendidikannya? Kamu gak nangisan kan kalau digertak komandan?" tanya papa setengah terbahak. Aku mendengus kecil. Papaku selalu menilaiku cowok yang cengeng, lantaran saat aku kecil sangat cupu dan gampang nangisan, jangan lupakan aku yang suka ngemut jari jempol. Aku selalu kesal saat papa mengingatkaku pada masa kecil, sungguh menjatuhkan harga diriku.  "Lancar, pa. Oh iya, Pa. Mampir ke pondok dulu, ya!" pintaku. "Kangen?" tanya papa. "Hah?" "Kamu kangen?" "Kangen siapa, pa?" tanyaku bingung.  "Kangen Adiva, lah. Siapa lagi." Aku memalingkan wajahku malu, Kenapa papaku bisa tau kalau aku sangat kangen dengan Adiva.  "Jangan lupakan papamu ini dulunya adalah pemikat wanita. Mamamu aja sampai terkonyong-konyong sama papa walau papa gak pakai jurus pelet sekali pun," ucap papa dengan bangga. Aku menepuk keningku, melupakan satu fakta bahwa papaku adalah titisan buaya.  "Iya iya, Pa. Gak usah bangga begitu,"  "Ya gak usah baper begitu. Kita ke pondok ini," jawab papa melajukan mobilnya membelah jalanan. Waktu sudah hampir magrib, lantaran tadi saat pembubaran juga sudah jam lima. Smpai di pndok, suasana sepi menyambutku. Aku turun dari mobil, sedangkan papaku bilang menunggu di mobil saja dengan dalih tidak mau mengganggu kasmarannya anak muda. Walau papaku gesrek melebihi b****k, aku sangat bersyukur memiliki papa seperti papa Kris. "Assalamualaikum!" sapaku sambil mengetuk pintu.  Cklek! "Kakak!" pekik gadis kecil dengan girang.  "Shilla, hai apa kabar?" tanyaku pada Shilla yang kini berbinar senang. "Aku sehat, Kak. Kaka sehat juga kan?" "Tentu dong, apa lagi sudah lihat kamu, tambah deh sehatnya." "Ayo masuk, kak!" Tangan Shila menarik tangaku untuk masuk. Ternyata, anak-anak baru selesai sholat. Terlihat dari mereka yang melipat sarung dan mukena.  Semua menatapku dengan pandangan berbinar, kecuai satu gadis yang tengah menundukkan kepalanya sambil melipat mukena lusuh. Adiva, sama sekali tidak menyambutku seperti yang lain. Anak-anak kecil memaksaku untuk duduk di karpet, mereka menanyakan apa saja yang sudah ada di pikiran mereka.  Dengan sabar, aku menjawab pertanyaan mereka. Ada yang mengajak becanda, ada yang sekedar menceritakan keluh kesah. Namun, aku masih tidak fokus lantaran Adiva tidak kunjung mendekatiku. Adiva kini tampak sibuk menata mukena-mukena. Apa kehadiranku tidak diketahui Adiva? Tapi bagaimana mungkin Adiva tidak tau, secara anak-anak sudah beberapa kali menyebut namaku.  "Adik-adik, sebentar, ya. Kaka mau bicara sama kak Adiva," ucapku pada adik-adik. "Yah, kak. Padahal Shila pengen ceritain kunti beranak," jawab Shila manyun. Aku tertawa sebentar mendengar pernyataan gadis kecil itu.  "Iya nanti ceritain lagi, kaka cuma sebentar," ujarku beranjak berdiri. Aku mendekati Adiva dengan langkah pelan. Belum sempat aku menepuk pundaknya, Adiva sudah menolehkan kepalanya. "Ini sarungnya, kak. Kaka sholat dulu!" titah Adiva yang membuatku tergagap. "Eh iya, makaasih," jawabku kikuk.  Aku menerima sarung itu dan bergegas mengambil wudlu. Kulirik Adiva yang sekarang berlalu pergi. Ada apa dengan gadis itu yang tidak seperti biasanya.Setelah sholat, aku mencari Adiva lagi. Namun, seolah gadis itu menghindariku, gadis itu tidak ada bersama anak-anak. "Kak Adiva ke mana?" tanyaku pada Shila. "Kakak di kamar," jawab Shila cemberut.  Tanpa pikir panjang aku ke kamar Adiva. Aku mengetuk pintunya, tidak ada jawaban.  "Adiva, ini aku Alfath!" ucapku masih mengetuk pintu. "Pergilah, Kak!" jawab Adiva dengan suara serak. "Kenapa?" tanyaku lirih. "Aku tidak mau bertemu dengan kakak." Tanganku terkulai lemas saat mendengar jawaban Adiva. Apa maksudnya? Sayup-sayup aku mendengar suara isak tangis dari dalam. Adiva menangis? Tok tok tok! Aku lebih kencang mengetuk pintu kamar gadis pujaanku. Aku khawatir, gerangan apa yuang sudah membuat Adiva terisak seperti ini. "Adiva buka pintunya!" ucapku dengan tegas. "Kakak pulanglah!" jawab Adiva tidak kalah berteriak. "Kamu buka apa kakak dobrak?" Brakkk! Habis sudah kesabaranku, aku mendobrak pintu dengan kasar. Kudapati Adiva tengah meringkuk di kamar dengan menangis pilu. "Kak Alfath," panggilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD