2. Gadis polos

1121 Words
Malam ini hujan turun sangat deras. Aku tidak bisa fokus dengan buku yang saat ini aku baca. Pikiranku berkelana pada Adiva dan adik-adik lain yang pasti kedinginan di pondok. Aku lupa tidak meminta papa penghangat ruangan untuk pondok itu. Aku menghela nafas, menyesap teh jahe yang beberapa menit lalu aku buat. Sesekali aku membuka lembar demi lembar buku. Suara derap langkah terdengar, sepertinya itu langkah papaku. "Anak ganteng papa, kenapa jam segini belum tidur, hem?" tanya papa mengusap rambutku. Sebenarnya aku risih selalu mendapat perhatian berlebih dari papa. Aku laki-laki yang beranjak dewasa, tapi papa memperlakukanku seperti bocah lima tahun. Papa juga selalu memanjakanku. "Di sini dingin, Al. Masuk kamar gih! Papa temenin." ucap papaku lagi. Kini gantian pipiku yang dicubiti papaku. "Papa gemes banget sama kamu, Al. Dulu kecilnya kamu ngileran, sekarang bisa bening kayak gini." ujar papa terkekeh. Entah itu sebuah pujian atau hinaan. "Ya anak kecil kalau ngiler itu wajar, pa. Pasti papa kecilnya juga suka ngiler," ucapku tertawa. "Papamu gak hanya ngiler, Al. Papa pas udah besar juga gak bisa bilang R, sampai sama Om Keenan dimarah-marahi. Dan diancam kalau tetep gak bisa bilang R akan diceburin ke kolam." ucap mama ikut menimpali. Mama berjalan ke wastafel dan mencuci gelas. Aku terkekeh mendengar penuturan mama. Dan sudah dapat aku tebak, pasti papa akan menghampiri mama dengan rayuan gombalnya. Papaku jarang marah pada mama ataupun padaku. Kalau ada masalah, papaku lebih suka berterus terang dan mencari jalan keluar bersama. Namun, papaku tetap b****k sama seperti sejak aku kecil. Kelakuannya tidak jauh beda dengan abege labil yang dimabuk asmara saat dekat dengan mama. "Alfath, kamu udah punya pacar apa belum?" tanya papa tiba-tiba. Pertanyaan yang sangat aku benci. "Pa, aku gak mau pacaran dulu." "Jangan malu-maluin papa kamu! Masak bibit papa gak bisa dapat pacar. Usia tujuh belas tahun papa udah punya mantan dua puluh, dan usia delapan belas tahun papa udah punya kamu. Masak kamu gak bisa niruin kehebatan papa sih? Papa kasihan lihat kamu jadi jomblo ngenes gini," oceh papa. "Pa, anaknya jangan diajarin aneh-aneh!" tegur mamaku super kalem. "Ya dia harus punya pacar, ma. Kasihan tiap hari hp nya sepi. Gak ada yang ngingetin makan, gak ada yang kasih semangat." "Alfath masih sembilan belas tahun, aku gak mau dia bebas pergaulan dan nakal kayak kamu." "Pacaran itu bukan pergaulan bebas, ma. Lihat anak kamu, wajahnya lesu gitu. Pasti saking lamanya dia menjomblo." "Wajah anak kita kan emang gitu, kalem-kalem gemesin. Gak kayak kamu yang slegean gini," Diam-diam aku pergi dari ruang makan saat perdebatan papa dan mama makin memanas. Telingaku juga ikut panas mendengar perdebatan mereka. Apalagi aku lah yang menjadi bahan pembicaraan. Aku memang tidak pernah pacaran. Bukan karena tidak laku, tapi memang aku tidak mau. Aku masih mau fokus pada Adiva dan adik-adiknya. Selama aku belum bisa menjadi orang berguna untuk mama papaku dan juga orang lain, aku tidak sudi bila harus menghabiskan waktu untuk pacaran, yang bisa jadi hanya menjaga jodoh orang. "Kakak!" teriak suara cempreng yang membuatku langsung menolah. Seorang gadis yang umurnya dua tahun dibawahku sedang melambaikan tangan sambil duduk di sofa. Dia Azia, adik kandungku. Adikku yang paling manis dan cantik, karena memang dia satu-satunya. "Kak, aku tadi ngasih nomer kakak ke temenku. Katanya dia suka sama kakak. Jangan lupa balas pesannya ya! " ucap Azia girang. Mendengar ucapan Aiza membuatku seketika tersentak. Aku menatap tajam adikku. Tidak sekali dua kali adikku itu mengobral nomerku, tapi sudah berkali-kali. Aku benci dengan sifatnya yang satu itu. "Kakak sudah bilang, jangan sebar nomor kakak. Kamu kalau dibilangin masuk kuping kanan keluar kuping kiri!" marahku pada Azia. Namun, sama sekali tidak ada ketakutan di wajahnya. "Ya kan temanku minta. Aku cuma berbagi." bela Azia. "Kenapa tidak kamu bagi nomor mu sendiri. Kakak risih dapat banyak pesan gak penting kayak gitu!" "Bilang aja kalau kakak suka kan sama Adiva? Makanya kakak sampai sekarang gak pernah pacaran." ucap Azia yang membuatku melotot. "Ini tidak ada kaitannya sama Adiva." "Kakak kenapa ngurusin dia terus sih? Kayak gak ada kerjaan aja." Azia berucap sewot. "Adiva udah jadi tanggung jawab kakak saat kakak janji akan melindunginya." tandasku tegas. "Tapi gak sampai segitunya kak! kakak terlalu fokus sama dia sampai gak punya pacar. Lagian dia sudah besar, masak gak bisa jaga diri sendiri." "Kakak gak pacaran bukan karena dia, tapi emang kakak sedang fokus sama sekolah." "Kakak gak guna banget hidupnya!" Aku meremang mendengar ucapan adikku. Tiap hari kami berdua memang sering cek-cok, tapi aku tidak suka kalau adikku menyudutkan Adiva. "Gak guna menurut kamu, tapi berguna menurut kakak!" jawabku tajam. Meski aku sudah memberikan tatapan mengintimidasi, Azia tetap saja tidak merasa takut. "Lihat aja, umur kakak sudah sembilan belas tahun. Masih gitu jamannya jomblo? Temen-temen kakak udah nongki sama pacar-pacarnya, malah kakak ngurusin anak jalanan." Aku memilih pergi mendengar makian adikku. Sampai kapanpun Azia tak akan mengerti karena setiap harinya ia selalu dimanja oleh kasih sayang dan harta. Saat masuk kamar, hp ku berdering. Buru-buru aku melihatnya. Aku kira panggilan dari Adiva, ternyata itu dari nomor tak dikenal. Aku menekuk wajahku lesu. Pasti ini teman adikku. Yang aku tunggu adalah panggilan dari Adiva. Besok pagi, aku sudah kembali ke asrama untuk melanjutakan pendidikan militer. Ku coba untuk menghubungi Adiva. Setidaknya, hanya mendengar suaranya sudah membuatku tenang. Aku takut kalau selama belajar aku tidak fokus karena tidak mendengar suara Adiva terlebih dahulu. Pukul sepuluh malam, baru tersambung panggilanku. Ku tempelkan hp di telinga kananku, mendengar ocehan merdu gadis lima belas tahun itu. "Kak Al, maaf ya. Aku tadi baru masakin buat adek-adek. Fatim badannya demam, kami bergantian menjaganya." ucap Adiva. "Nanti Kakak kirim Dokter ke sana buat periksa Fatim." "Makasih ya kak, kak Alfath banyak bantuin kita. Semoga rejeki kak Alfath dan orang tuanya mengalir terus." ucap Adiva tulus. Inilah yang aku sukai dari mereka. Kasih sayang mereka terlihat sangat tulus. Mereka mungkin bukan saudara kandung, tapi kasih sayang mereka melebihi apapun. Hidup berbaur yang mulanya hanya orang asing, kini menjadi keluarga. Yang terluka satu orang, yang sakit semua orang. "Makasih Adiva. Oh iya, besok kakak berangkat ke asrama. Mungkin baru bisa pulang setelah tiga bulan. Walau tempat pendidikannya dekat dengan pondok, tapi kakak gak bisa keluar. Kamu gak papa kan gak kakak tengokin?" oceh ku. Sebenarnya bukan Adiva yang kenapa-napa saat tidak bertemu. Namun aku, saat aku tidak bertemu Adiva, rasanya ada yang kurang. "Tidak apa-apa, kak. Kakak yang semangat! Biar bisa jadi Polisi seperti cita-cita kakak. Jangan lupa jaga kesehatan ya kak, makan yang banyak biar tubuhnya kekar." ucap Adiva menggebu-gebu. "Tubuh kekar itu bukan karena banyak makan, tapi karena olahraga." kekehku. "Yaudah olahraga jangan lupa! Sebenarnya aku pengen lihat kak Alfath botak. Kalau sekolah di Kepolisian kan kepalanya botak. Pasti kak Alfath keren." Aku tertawa ngakak mendengar kepolosan Adiva. Aku jadi semangat untuk melanjutkan sekolah besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD