1. Adiva
Aku Adiva, gadis lima belas tahun yang hidup dalam panasnya jalanan. Setiap hari aku memulung kaleng bekas yang berserakan di jalanan Ibu kota. Aku tidak mau hidup seperti ini, tanpa belas kasih sayang orang tua. Namun, takdir lah yang mengarahkan jalan. Aku terdampar dalam teriknya sinar matahari, seorang diri, bekerja keras demi sesuap nasi.
Sudah tiga tahun aku hidup di jalanan, aku dibuang mama dan papaku. Saat itu, aku umur dua belas tahun, mereka bilang akan mengajakku jalan-jalan, tapi malah membuangku di jalanan. Aku menangis kencang memanggil-manggil nama mereka. Namun, mereka tetap menjalankan mobilnya menjauhiku.
Aku menangis, tapi tidak ada yang peduli. Tiba-tiba, hujan deras mengguyur Ibu Kota. Aku berlari untuk berteduh. Di pelataran toko, ada anak-anak kecil yang usianya di bawahku sedang membawa kecrekan. Aku duduk bersama mereka. Bocah-bocah kecil itu tampak sayu seperti diriku.
Hujan turun maki lebat, petir menyambar-nyambar memekakkan telinga. Aku melirik mereka, tidak ada satupun dari mereka yang ketakutan. Mereka tetap anteng sambil memandangi hujan.
"Kakak, nama kakak siapa?" tanya seorang anak kecil yang lusuh mendekatiku.
"Namaku Adiva, adek siapa?"
"Aku Shila. Kakak pengamen baru?" tanyanya membuatku terhenyak.
Hatiku tersayat saat aku dikira pengamen. Aku anak orang kaya yang segala sesuatunya selalu dituruti. Namun, semua berbanding terbalik. Orang tuaku membuangku di sini. Aku tersenyum pada bocah itu, lalu mengangguk.
Anak kecil yang mengaku bernama Shila itu duduk di sampingku. Dia juga menawariku sepotong roti. Aku bilang aku tidak lapar, tapi Shila memaksaku. Dengan terpaksa aku memakannya. Setelahnya kami hanya diam seribu Bahasa. Sampai ada dua orang remaja laki-laki, turun dari mobil mewah dan menghampiri kami.
"Adek-adek, Pondok yang kakak janjkan sudah jadi, Ayo kita pindah dan tinggal di sana!" ucap salah satu remaja itu.
"Horeee asyikk! "
"Yeeyy kita punya rumah!"
"Yey kita gak bakal kehujanan lagi!"
Teriakan bocah-bocah itu terdengar sangat girang. Aku yang tidak tau apa-apa hanya melihat sekitar delapan bocah yang digiring masuk ke mobil mewah. Siapa gerangan mereka? Apa dua orang itu penculik? Seketika aku merasa takut. Namun, aku hanya duduk, memandang tidak tahu mau berbuat apa. Seorang pria yang lebih tinggi menghampiriku.
"Adek, kamu siapa? Kenapa di sini?" tanya pria itu.
"Aku dibuang Mamaku, Kak." jawabku jujur.
"Mau ikut Kakak? Kakak akan membawamu ke rumah baru. Kakak juga yang akan mengurusmu." ucap Kakak itu lembut. Tanpa sadar aku mengangguk.
“Jangan takut sama kakak, namaku Alfath.” ucap Kaka itu. Aku mengangguk, tanganku digenggam pria itu untuk segera menuju ke mobil.
Kak Alfath membawaku dan anak-anak lain di pondok yang besar. Tempat dimana aku mulai hidup baru. Kak Alfath pria baik, suka menolong dan mengurusku beserta anak-anak lain.
"Heii!" tepukan di bahuku membuatku tergagap. Kak Alfath mengagetkanku yang baru saja mengingat awal aku berada di jalanan.
"Kok Kak Alfath ada di sini?" tanyaku kaget, pasalnya ini masih jam delapan pagi, biasanya Kak Alfath akan datang siang atau sore hari.
"Hari ini sekolah libur, jadi aku kesini saja." jawab Kak Alfath.
Kak Alfath anak orang kaya yang tidak sombong. Bahkan dia membangun rumah pondok yang luas, menyetok bahan makanan dan mengajari aku dan yang lainnya belajar. Kata Kak Alfath, jangan pernah patah semangat dalam hal apapun.
"Kak, Aku mau mulung dulu. Kakak sama adek-adek ya!" ucapku.
Kak Alfath menggulung lengan kaos panjangnya. "Aku akan bantu kamu." ucapnya yang membuatku kaget.
"Kak, gak usah. Baju Kakak nanti kotor!"
"Kalau kotor kan bisa dicuci, aku gak nrima penolakan! Aku mau bantu!" ucap Kak Alfath kekeuh.
Kak Alfath menuju ke gerobak dimana itu yang selalu menemaniku memulung. Kak Alfath mendorong gerobak dengan semangat. Akupun membantunya. Sebenarnya aku merasa tidak enak saat kak Alfath membantuku.
Oh iya, Kak Alfath pria sembilan belas tahun yang sekarang menempuh pendidikan Akademi kepolisian yang dekat dengan pondok tempat tinggalku. Kak Alfath pernah cerita, ia ingin menjadi Polisi Militer yang bisa mendedikasikan dirinya untuk Negara. Yang aku kagumi lagi dari kak Alfath,dia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Andai aku bisa melanjutkan sekolah, akupun juga ingin menjadi Polisi wanita. Namun, harapan hanyalah harapan, pupus ditengah jalan itu sepatah-patahnya angan.
Tidak apa-apa, mungkin sudah jalan hidupku untuk menjadi pemulung. Mengharap banyak kaleng bekas yang berserakan, yang bisa aku ambil.
Kak Alfath menarik gerobak, aku mengambil botol-botol bekas air mineral yang tergeletak di jalan. Aku juga tidak jijik saat harus mengorek tong sampah demi mendapat sekaleng barang berharga yang bisa aku tukar dengan uang.
Inilah kehidupanku, tidak ada yang menarik. Aku yang harusnya duduk di bangku SMP harus terpaksa hidup di jalanan dengan pakaian kumal dan rambut berantakan. Lagi-lagi aku menekankan pada hatiku, aku tidak apa-apa.
"Adiva, udah banyak ini di gerobak. Kita langsung ke pengepul?" tanya Kak Alfath.
"Iya, Kak." jawabku.
Kami pun pergi ke pengepul. Enam kilo barang pulunganku, dihargai seratus enam puluh lima ribu. Aku berbinar menerima uang itu. Nantinya, uang itu aku gunakan untuk beli beras dan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi kedelapan adik-adikku yang lain.
Aku dan Kak Alfath kembali ke pondok. Disana, adik-adik sudah menunggu di teras. Pasti mereka sedang kelaparan dan menungguku pulang. Segera mungkin aku menghampiri mereka.
"Kak Diva! Kakak lelah?" tanya Shila menyerahkan sebotol air mineral.
"Enggak kok, Sayang." jawabku.
"Kak, kenapa aku gak boleh bantuin Kakak kerja? Aku ingin bantuin Kakak, biar Kakak tidak capek sendirian." ucap Shila.
"Shila, kamu masih kecil. Biar Kakak aja yang kerja." ucapku mengusap rambut Shila.
"Kakak juga sama kecilnya. Harusnya aku boleh bantuin Kakak."
Aku menghela nafas pelan. Aku tak memperbolehkan mereka ikut mulung, karena takut mereka akan dikejar-kejar Satpol PP seperti yang hampir tiap hari aku alami. Pasukan pengamanan itu sering menangkap pengemis, pemulung dan pedagang asongan.
Aku sudah biasa kejar-kejaran dengan mereka, mana tega aku membiarkan adik-adik kesayanganku untuk lari-larian sama mereka.
"Adiva, kamu cuci muka dulu. Kakak bantuin masak!" ucap Kak Alfath.
Tanpa membantah, aku pun ke kamar mandi. Aku tau, kalau Kak Alfath tidak suka mendengar bantahan dariku. Itu sebabnya lebih baik menurut. Toh kaka Alfat bersikap demikian karena menyayangi kami.