43. Tulip, Orang Ketiga

1602 Words
Hari Senin yang menyeramkan untuk hari ini sudah memudar. Hadirnya Naya selalu bisa mencairkan suasana, ditambah lagi kehebohan Juan yang hadir dengan membawa berita buruk. Ia lupa membawa topinya, tentu ia akan mendapatkan hukuman di lapangan nanti. "Makanya malem sebelum tidur tuh semuanya disiapin! Ngegim doang sih kerjaanmu!" omel Naya ketika Juan mulai mengeluhkan keteledorannya. Tulip hanya menahan tawa. Ia merasa Juan dan Naya cocok menjadi pasangan. Bukan pasangan dalam hubungan asmara, melainkan pasangan ibu yang galak dengan anak yang teledor. Berbeda dengan Tulip, Valent justru tertawa keras melihat penderitaan temannya. "Haha! Udah, pura-pura sakit aja sono! Biar aman!" "Hih! Malah ngajarin gak bener!" Kali ini Naya mengomeli Valent, ia sangat cocok menjadi ibu untuk tiga temannya yang lain. "Ayo cepet keluar! Udah ada bel kok gak pada cepet kumpul tu ngapain?" tegur Pak Mario yang sudah berkeliling dengan membawa penggaris di tangan kanannya. Tentu saja tak ada yang berani membantah. Meski tak membawa topi, Juan nekat keluar dari kelasnya. Ia sudah pasrah kalau memang harus dihukum di tengah lapangan. "Lip, kamu di depan, ya!" ujar Naya seraya menarik tangan Tulip. Padahal tinggi badan mereka sama. "Ih, panas tau! Kamu aja!" tolak Tulip. Berdiri di barisan paling depan, tandanya ia harus terus berdiri tegak dan menantang cahaya matahari yang begitu terik. "SELURUHNYA, SIA...P GRAK!" Ketua kelas mulai menyiapkan pasukannya. Mau-tidak mau, Tulip mengalah untuk berdiri di barisan paling depan. Setelah semua siap, upacara pun dimulai. Bukannya fokus pada pemimpin upacara, mata Tulip justru mencari keberadaan Juan di deretan siswa yang sedang dihukum. Mereka berjajar di sisi paling kiri dan menghadap langsung ke arah matahari. Bukan Juan yang ia temukan, melainkan Felix. Jantungnya kembali berdebar. 'Duh, padahal tadi udah sarapan, kenapa deg-degan gini?' batin Tulip. Matanya masih terus memperhatikan Felix, ia berdiri di antara kelompok paduan suara. Mereka berdiri di tempat yang lebih teduh diantara barisan lainnya. Tubuh Felix yang cukup tinggi membuatnya mendapatkan posisi di paling belakang. Namun Tulip masih bisa menemukannya, karena posisinya Felix berada di paling pinggir–posisi yang tepat jika untuk di lihat dari posisi Tulip. "ISTIRAHAT DI TEMPAT, GRAK!" Pemimpin upacara kembali memberikan perintah. Kini waktunya pembina upacara memberikan amanat. "Ada Kak Felix di paduan suara, ya?" bisik Naya. Tulip hanya mengangguk. "Cie seneng!" Bahkan Naya masih sempat menggoda Tulip di tengah kegiatan upacara. Tulip pun tersenyum malu, mungkin wajahnya kini semakin merah–antara terkena panas dan juga tersipu. "Jangan ngeledek deh!" omel Tulip, meski hatinya memang merasa senang. Lima menit–sepertinya lebih, amanat Bu Kepala Sekolah begitu panjang. Beliau menyinggung sedikit masalah tentang Melinda. Meski tidak menyebutkan namanya, namun sebagian orang sudah tahu siapa yang dimaksud. "Kakak itu, sekarang di mana?" bisik Naya lagi. "Entah, udah lama gak denger kabarnya. Mungkin masih dirawat," jawab Tulip. "Masih di rumah sa–" "Sssstttt!" Dengan cepat Tulip memotong ucapan Naya, sebab tak banyak yang tahu kalau Melinda memilih untuk pergi ke sana. Naya mengangguk mengerti. Hampir saja ia membuka aib orang yang sudah berniat untuk berubah menjadi lebih baik. Upacara pun berakhir. Semua kembali ke kelas masing-masing, Tulip terkejut ketika melihat Juan masih berdiri di barisannya. "Loh, kok kamu bisa di sini?" Tulip baru saja hendak bertanya, namun ia keduluan Naya. "Iya dong! Kan, aku anak emas. Gak bakal kena hukum," jawab Juan sombongnya. "Bohong! Dia pake topinya Cathy," ungkap Valent. "Hih! Malah dikasih tau!" gerutu Juan. "Memang Cathy ke mana?" tanya Tulip. "Kutebak deh! Pasti UKS, iya, kan?" ujar Naya. "Ratunya dunia per-julid-an langsung bisa nebak, ya!" ledek Juan seraya tertawa. "Siyaland!" umpat Naya seraya memukul lengan Juan dengan topi yang ia pegang. Mereka pun mengobrol sambil berjalan kembali ke kelas. "Dia beneran sakitkah?" tanya Tulip lagi. "Jangan polos-polos banget deh, Lip! Bahkan kita udah tau kalo dia itu sering tebar pesona," ujar Naya terang-terangan. "Apa hubungannya tebar pesona sama sakit?" Tulalitnya Tulip ternyata masih belum hilang, hal itu membuat Naya gemas sekaligus kesal. "Gini loh Tulip yang cantik jelita," ujar Juan yang juga sudah cukup kesal dengan kelambatan Tulip. "Dia sakit itu pura-pura, biar dapet perhatian khusus. Atau mungkin juga dia males panas-panasan jadi pilih tidur di UKS," jelas Juan. Tulip mengerutkan keningnya. "Kenapa kalian yakin gitu? Bisa aja, kan, dia beneran sakit?" tanya Tulip lagi. Kini giliran Valent bertindak. "Di sini panas, Lip! Nanti kamu yang sakit kalo kebanyakan panasan!" ujar Valent seraya mendorong tubuh Tulip dari belakang agar melangkah lebih cepat. Seperti biasa, Tulip bukannya tidak mengerti, ia hanya lambat dalam berpikir. Tiba-tiba ia tertawa sendiri karena terlambat memahami ucapan temannya. "Akhirnya paham juga," ujar Naya seraya tersenyum mengejek. Yang di ledek hanya tertawa karena ia menyadari betapa lambat kerja otaknya dalam memproses ucapan orang lain–meskipun tidak selalu. Belum habis tawa dari bibir Tulip, Juan menepuk bahu Valent dan membuat mereka berempat berhenti. "Liat deh!" Juan menunjuk arah timur dengan matanya. Mereka pun melihat ke arah itu. Di sana mereka menemukan Felix yang sedang berdiri dan bicara dengan seseorang. "Dia… Cathy, kan?" tanya Naya untuk memastikan kebenaran apa yang ia lihat. "Iya, mereka kadang ngobrol bareng." Jawaban Valent membuat ketiga temannya melongo, terutama Tulip. "Kok… bisa?" tanya Tulip yang sangat penasaran. "Cathy ikut ekskul renang. Gak tau sejak kapan, tapi aku beberapa kali liat dia ngobrol sama Kak Felix." Naya langsung merangkul dan mengusap bahu Tulip. "Puk-puk, ya, Lip! Jangan cemburu, ya!" ujar Naya. Mendengar itu, Tulip pun tertawa. "Haha! Apaan sih! Memang aku siapanya?" Meski tertawa, namun ia merasa hatinya sedikit sedih mengingat Felix yang tiba-tiba tak mau menyapanya lagi. "Kalian ngapain masih di sini?" tegur seorang guru. Mereka berempat langsung balik badan dan mendapati ada Bu Astri di sana. Beliau sudah membawa dua buah buku dan siap masuk ke kelas. "Eh, ada Ibu," ujar Naya sambil cengar-cengir, lalu ia mendekat dan mencium tangan wali kelasnya itu. Yang lain pun mengikuti apa yang Naya lakukan. "Ngapain kok belum masuk kelas?" tanya Bu Astri lagi. "Hehe, maaf, Bu. Ini mau masuk kok," jawab Naya seraya memegang tangan Tulip. "Yuk masuk, yuk!" ajak Naya kemudian. "Kami permisi, Bu," pamit Juan sopan, sedangkan Tulip dan Valent hanya pamit dengan senyuman dan anggukan kepala. Bu Astri hanya menggelengkan kepalanya, lalu masuk ke kelas lain. Sebab bukan jadwalnya untuk masuk ke kelas Tulip. *** Saat jam istirahat, empat s*****n itu kembali makan di kantin bersama. Tulip menyuapkan sesendok nasi goreng terakhir yang tersisa di piringnya, lalu ia mengambil gelas berisi jus jeruk dan mengaduknya sembari mengunyah. Matanya tertuju pada Cathy yang duduk tak jauh dari dirinya. Cathy dan kelompoknya terlihat sedang membicarakan sesuatu, sepertinya sangat seru. "PR kimia kemaren udah ngerjain belum?" tanya Juan. "Aku udah, mau nyontek?" ujar Naya menawarkan. Ia masih menghabiskan kuah baksonya. "Enggak, ajarin aja! Gak mau nyontek," tolak Juan. Valent langsung mencibir, "Nggaya amat! Yang biasanya nyontek sejarah tuh siapa?" "Loh, beda! Kimia itu ada rumusnya, jadi bisa mikir sendiri. Kalo sejarah harus baca dan aku males baca, haha!" jawab Juan jujur. Ia memang lebih menyukai pelajaran yang memuat tentang angka-angka daripada pelajaran yang memiliki banyak kalimat panjang dalam satu buku. Dia termasuk siswa yang malas membaca, maka dari itu Valent adalah orang yang selalu menjadi sasarannya ketika mata pelajaran sejarah dan pelajaran semacamnya memiliki tugas. "Tulip tuh sabar kalo suruh ngajarin, aku mah enggak," ujar Naya melemparkan tugas pada Tulip. "Iya nanti aku ajarin kalo kamu mau," sahut Tulip ketika namanya disebut. "Oke! Mau bangetlah!" jawab Juan semangat. "Eh, btw, Kak Diaz kok gak pernah nyamperin kamu lagi, Lip?" "Hm? Mungkin lagi banyak tugas," jawab Tulip seperlunya. Ia tak lagi memperhatikan Cathy karena pikirannya teralihkan oleh nama Diaz. "Tau gak sih, namamu di ekskul basket tu udah terkenal," ujar Juan. "Ya gimana enggak, Kak Diaz loh kaya gak punya batas kalo sama Tulip. Semua orang pasti ngira mereka pacaran," sahut Naya. Tulip hanya menarik salah satu sudut bibirnya sembari menggeleng. "Dasar ya! Gosip memang gak ada habisnya," gerutu Tulip. "Sebentar, ada gosip bagus yang lebih hot!" tambah Juan. "Apaan tuh?" tanya Naya penasaran. Sedari tadi hanya Naya yang terlihat bersemangat, hanya dia yang selalu excited dalam menanggapi berita yang Juan bawakan, entah hoax ataupun tidak. Valent dan Tulip lebih sering berperan sebagai pendengar. "Katanya, alasan Kak Diaz gak mau nerima Kak Shendy itu karena ada pihak ketiga. Dan pihak ketiga itu… Tulip," ujar Juan. Mendengar itu Tulip hanya mendengus pelan. "Kayanya kita sekolah belum ada setengah tahun, kenapa gosip tentang aku udah banyak banget, ya? Padahal kayanya aku gak bikin masalah," gerutu Tulip. Naya mengusap punggung Tulip. "Biarin aja mereka mau ngomong apa, masih ada kita yang tau aslinya kamu gimana," ujar Naya menenangkan. "Iya, kamu cuma kebetulan deket sama orang yang populer di sekolah. Jadinya gampang keseret kalo ada masalah yang berhubungan sama mereka," tambah Valent. "Kalo ada yang tanya tentang kamu, aku selalu jelasin kok. Yah… entah mereka percaya atau enggak, soalnya di depanku mereka angguk-angguk doang, gak tau kalo di belakang," ujar Juan. "Kamu gak perlu capek-capek bersihin namaku, An! Selama mereka gak ganggu aku, aku gak masalah," jawab Tulip pelan. "Ada kalian aja udah cukup buatku, kalian udah banyak kasih aku kekuatan, jadi jangan tambah mempersulit diri lagi." "Temenan sama Tulip, aku berasa jadi superhero tau gak sih!" ujar Naya tiba-tiba. "Bener! Aku ranger merah! Titik!" balas Juan. "Apaan sih kalian!" gerutu Tulip, namun ia juga tertawa dibuatnya. "Kamu mau kuning apa pink?" tanya Naya kemudian. "Enggak, Tulip tuh merah!" sambung Valent. "Merah tuh aku!" seru Juan. "Iya, kamu ranger merah. Kalo Tulip Teletubbies merah," ujar Valent dengan wajah yang datar, namun berhasil membuat tawa teman-temannya pecah. "Heh! Kurang aj*r!" umpat Tulip yang juga ikut tertawa. Ia sama sekali tidak marah, justru ia senang memiliki teman yang lucu seperti mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD