44. Berkat Menunggu Taksi

1113 Words
Sepulang sekolah, Tulip duduk di depan kelasnya karena ia masih harus menunggu Aaron. Sebelum pulang, ia mendapatkan sebuah pesan singkat yang mengabarkan kalau Pak Andra tidak bisa menjemput karena harus mengantar Richard ke bandara. Maka dari itu, mereka terpaksa harus pulang dengan taksi online. Ditambah lagi, Aaron harus menemui guru hingga Tulip harus menunggunya sendirian. Tidak sepenuhnya sendirian, karena masih banyak siswa yang berlalu lalang. Ada yang pulang, ada juga yang pergi ke ruang ekstrakurikuler. Sementara menunggu, Tulip membuka ponselnya dan bermain gim. Ketiga temannya tidak bisa menemani karena masing-masing mempunyai kesibukannya sendiri. Valent yang harus menemani neneknya; Naya harus pulang karena lupa membawa pakaian ganti untuk latihan cheerleader; dan Juan yang sudah memiliki janji dengan seseorang. Terkait Juan, sebenarnya ada hal yang sedikit mencurigakan. Beberapa kali ia kepergok sedang tersenyum sendiri ketika membalas pesan seseorang. Dan tidak jarang, Valent melirik nama orang tersebut yang tak lain adalah Valery. Mungkinkah ada sesuatu diantara mereka berdua? Ketika sedang asik bermain, seseorang tiba-tiba duduk di sebelah Tulip. Sontak Tulip pun terkejut, bahkan ia hampir menjatuhkan ponselnya. "Serius banget sih! Main apa?" tanya Diaz. "Ngagetin aja deh!" gerutu Tulip. Jantungnya berdebar kencang; perpaduan antara terkejut dan juga kehadiran Diaz itu sendiri. "Kenapa chat-ku gak pernah dibales? Apa sekarang kamu benci sama aku?" tanya Diaz sendu. Ia memang tersenyum, namun rasanya hambar. Senyumnya tidak ceria seperti biasanya. "Maaf, Kak. Aku gak tau harus bales apa," jawab Tulip dengan pandangan ke arah lain–ia menghindari kontak mata dengan Diaz. "Aku minta maaf, ya! Maaf kalo langkahku salah. Aku cuma kemakan omongan orang. Harusnya aku sadar dan percaya sama pikiranku sendiri, hubungan kita yang kaya sebelumnya udah lebih dari cukup," ujar Diaz lagi. "Kak Aaron pasti udah ceritain semuanya tentang aku, kan?" Diaz mengangguk. "Ini bukan perkara 'siapa' aku, kan?" jawabnya. Giliran Tulip yang kini mengangguk. "Aku harap kita bisa bahagia… dengan ikatan kita sebagai kakak-adik." "Iya, kita harus bahagia. Kita gak boleh sia-siain sebelas tahun yang udah kita lewatin. Maaf aku belum kenal kamu kaya gimana Aaron kenal kamu, makanya aku pengen kaya Aaron juga." Tulip mulai tersenyum, yang ia inginkan akhirnya terwujud. Ia tak berharap status pacar dengan Diaz, ia hanya ingin ikatan saudara saja. "Iya, Kak. Seiring waktu, pasti Kakak bisa ngenalin aku kok." Diaz ikut tersenyum, melihat senyum Tulip saja sudah membuatnya tenang. Sebab Aaron sudah marah besar padanya hanya karena melihat adiknya seperti orang yang tidak bersemangat untuk hidup. Benar-benar egois kalau ia ingin memonopoli Tulip yang sudah lebih banyak menghabiskan waktu dengan Aaron. "Oh iya, aku udah denger masalah Kakak sama Kak Shendy," ujar Tulip memulai pembicaraan lagi. "Ah, itu… hebat juga bisa kesebar sampe segininya," gumam Diaz. "Memang Kakak gak suka sama Kak Shendy?" tanya Tulip kemudian. Diaz mengedarkan pandangannya ke arah lapangan, lalu menarik napas panjang. "Aku cuma anggep dia temen, sayangnya dia anggep lebih. Salahku juga sih, gak terus terang kalo aku nolak dia." "Meskipun Kakak gak ada perasaan sama Kak Shendy, apa gak sebaiknya Kakak tetep minta maaf? Bangun lagi hubungan pertemanan yang baru," saran Tulip, padahal ia sendiri tak memiliki pengalaman dalam hal itu. "Gak segampang itu, Lip! Jangankan minta maaf, ketemu aja dia gak mau," keluh Diaz. "Ya udah, sembari nunggu dia tenang, Kakak juga introspeksi diri! Cari sisi mana yang salah banget dan harus dibenahi! Jadi ketika nanti Kakak minta maaf, gak cuma sekedarnya aja, tapi bisa buktiin kalo Kakak beneran udah berubah," saran Tulip. Awalnya saran itu terdengar baik, namun kalimat terakhir membuat alis Diaz bertaut. "Saranmu… kenapa aku nangkepnya seolah kamu pengen bikin Shendy nerima aku lagi, ya?" "Hm? Masa sih?" tanya Tulip. Ia sedikit bingung, lalu mengingat lagi kalimat apa saja yang sudah ia lontarkan. "Iya. Memang kenapa aku harus buktiin ke dia kalo aku udah berubah?" tanya Diaz lagi. "Ah… maksudnya tuh, mmm… ketika kita minta maaf, kan, seharusnya kita sadar apa kesalahan kita. Kalo kita cuma sekedar sadar, tapi gak berubah, apa faedahnya? Meskipun Kakak berubah bukan untuk Kak Shendy, setidaknya Kakak buktiin ke semua orang kalo Kakak udah berubah jadi lebih baik." "Oh, oke. Aku mulai paham. Makasih banyak ya masukannya!" ujar Diaz seraya mengacak rambut Tulip. "Sama-sama, Kak," balas Tulip disertai dengan senyuman. Kemudian mereka berlanjut membahas hal-hal kecil, Aaron belum juga muncul. Anak itu betah sekali kalau harus berurusan dengan guru. Hampir 20 menit menunggu, akhirnya Aaron datang juga. Ia sedikit terkejut ketika melihat Tulip ditemani oleh Diaz. Selain itu, Tulip juga berinteraksi dengan santai dan wajahnya terlihat ceria–tidak seperti pagi tadi. "Ayo pulang!" ajak Aaron tanpa basa-basi. "Duduk dulu kek, ngobrol bentar! Dateng-dateng kok kaya ngajak berantem," omel Diaz. "Suka-sukalah!" jawab Aaron yang tak mau kalah. Dua orang yang bersahabat ini tak terlihat seperti bersahabat, justru lebih terlihat seperti musuh bebuyutan. Siapapun yang melihatnya pasti akan menilai seperti itu. "Taksinya udah pesen, Kak?" tanya Tulip tanpa mempedulikan apa yang kedua orang itu ributkan. "Udah kok, mungkin sebentar lagi sampe di depan." Mendengar kata 'taksi', Diaz pun menjadi celingukan. "Kalian naik taksi?" tanyanya. "Iya," jawan Aaron singkat, untung saja Diaz sudah terbiasa. "Kok kamu gak bilang?" tanya Diaz pada Tulip. "Kalo tau kamu nunggu taksi, kan, aku bisa anter kamu pulang duluan!" "Kaya Tulip bakal mau aja," gumam Aaron meledek, Tulip hanya tertawa kecil. "Kalian berdua memang bener-bener, ya! Ayo, Lip! Aku anter! Aaron biar ngojek sendiri," ajak Diaz lagi. Tulip hanya menjawab dengan gelengan kepala, hal itu membuat Aaron tersenyum penuh kemenangan seraya melipat kedua tangannya di depan seperti menantang. "Sorry, kami taat aturan!" sela Aaron. "Yang ngajak Tulip ugal-ugalan tuh siapa? Aku cuma ngajak pulang bareng kali," gerutu Diaz. "Perkara helm mah gampang, aku bisa cariin," tambahnya lagi. "Gak usah repot-repot, Kak. Aku naik taksi sama Kak Aaron aja. Next time deh boleh," tolak Tulip dengan halus. Untuk saat ini dia masih sedikit kurang nyaman jika harus berduaan dengan Diaz, meski keduanya sudah meluruskan masalah yang baru terjadi. Urusan perasaan tentu tidak akan semudah itu untuk dilupakan. "Oke, next time, ya! Aku bakal tagih ini!" tantang Diaz. "Iyeee!" tukas Aaron mewakili Tulip. "Ayo, Lip! Mungkin taksinya udah sampe." Tulip pun berdiri dari posisinya dan berdiri di sebelah Aaron. "Kakak gak pulang?" tanya Tulip pada Diaz yang terlihat masih betah duduk di situ. "Dia mau cari mangsa lain buat dianter pulang. Biasalah, buaya memang gitu!" sahut Aaron. "Sembarangan memang!" semprot Diaz seraya berdiri. "Gini-gini, meskipun aku deket sama banyak cewek, tapi aku blm pernah boncengin cewek buat nganterin pulang!" "Iyalah, orang kamu culik semua, bukan anter pulang." Jawaban Aaron kembali membuat Tulip tertawa. Ada saja balasan dari mulut Aaron untuk membantah omongan Diaz. Dia benar-benar anak Richard. Sepertinya Aaron bisa menjadi pengacara sukses juga kedepannya, ia memiliki bakat untuk berdebat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD