bc

Tulalip

book_age12+
391
FOLLOW
2.2K
READ
family
goodgirl
student
drama
sweet
bxg
highschool
first love
friendship
naive
like
intro-logo
Blurb

Tulip, seorang gadis kecil yatim piatu yang memiliki seorang teman bermain di panti asuhan. Ia sudah menganggap temannya itu seperti kakaknya sendiri. Sebut saja, Diaz. Sayang, ketika usianya menginjak 5 tahun, Diaz diadopsi oleh sebuah keluarga. Di usianya yang ke-8, Tulip akhirnya diadopsi juga oleh sebuah keluarga yang bahagia. Kasih sayang yang ia dapatkan tidak berbeda dengan kakak angkatnya, Aaron.

Disayang sudah pasti, namun ia masih terus menunggu Diaz untuk kembali. Ketika ia masuk SMA, ia didaftarkan di sekolah yang sama dengan Aaron. Di sana ia menemukan seseorang yang memiliki suara begitu indah, seketika ia langsung teringat pada Diaz. Mungkinkah pemilik suara itu adalah Diaz?

chap-preview
Free preview
01. Satu Sekolah dengan Aaron
Hari ini, tepat delapan tahun yang lalu. Tulip kecil resmi secara hukum menjadi bagian dari keluarga Arkin. Ia kini tumbuh menjadi anak yang cantik. Rambutnya panjang dan lurus; wajahnya mulus tanpa jerawat, meski ia belum mengenal make-up; hidungnya kecil, namun mancung; dan bibirnya yang mungil berwarna merah muda alami. Ia berdiam diri di kamarnya sembari memandang rintik air hujan yang menghiasi kaca jendela. Kenangan masa kecilnya masih terputar jelas dalam ingatan. Ia masih terus menunggu kakak sekaligus teman bermainnya yang lebih dulu diadopsi oleh sebuah keluarga. "Tulip sayang, ayo turun! Papa udah nunggu di bawah," ajak Freya–ibu angkat Tulip. Ia bicara dari pintu kamar Tulip yang dibukanya sedikit. "Iya, Ma." Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, ia mengikuti mamanya dan turun ke lantai satu. Richard–ayah angkat Tulip–sudah menunggu di meja makan. Makanan yang tersaji tak hanya satu macam saja. Meski mereka memiliki beberapa orang asisten rumah tangga, namun untuk urusan makan malam selalu Freya yang turun tangan. "Kak Aaron mana, Ma?" tanya Tulip ketika ia baru saja duduk di kursinya. "Ada, sebentar lagi juga–" "Aku di sini," sahut Aaron memotong ucapan mamanya. Ia muncul dengan keempat matanya. "Nah, gitu dong! Kalo main laptop kacamatanya harus dipake," ujar Richard seraya mengacungkan jempol. "Iya, biar aku makin dibilang kutu buku di sekolah," gerutu Aaron pelan yang tak bisa didengar oleh kedua orang tuanya. "Kutu buku yang ganteng?" bisik Tulip di telinga Aaron. "Oh, jelas!" balas Aaron dengan percaya dirinya yang kembali meningkat. Kehilangan satu orang dan digantikan oleh tiga orang, tentu saja membuat Tulip bahagia. Mengingat orang yang meninggalkannya juga pasti sudah bahagia dengan yang keluarga baru. Hanya saja, orang itu terlanjur berjanji akan kembali mengunjungi Tulip dan tidak akan melupakannya. Jika dalam kurun waktu sebelas tahun ia tak juga kembali, mungkinkah ia masih memegang janjinya dulu pada Tulip? Atau hanya Tulip saja yang terlalu bodoh untuk percaya pada janji yang dibuat oleh seorang anak berusia enam tahun? "Mama sama Papa punya kabar baik untuk kalian," ujar Freya ketika mereka tengah menikmati makanan penutup. "Apa itu?" tanya Aaron dan Tulip bersamaan. "Tulip bakal daftar di sekolah yang sama kaya Aaron," ucap Freya dengan senang. Tulip langsung menutup mulut dengan kedua tangannya, ia hampir berteriak karena terlalu senang. Sejak dulu ia ingin sekali bersekolah di tempat yang sama dengan Aaron. Namun karena satu-dua alasan, baru di jenjang SMA inilah mereka bisa bersekolah di tempat yang sama. "Kok Kakak diem aja? Kakak keberatan aku sekolah di sana?" tanya Tulip pada Aaron. "Terus aku harus gimana? Mau di manapun kamu sekolah, itu gak jadi masalah buatku," jawab Aaron sembari menghabiskan pudingnya. "Cih! Gak asik!" sungut Tulip seraya kembali menghadap ke mamanya. "Tulip seneng, kan?" tanya Freya lagi, ia hanya memastikan hadiah untuk anak gadisnya kali ini tidak akan mengecewakan. Tulip mengangguk dengan semangat. "Iya! Makasih, Mama!" ucapnya. "Padahal Papa ikut bantu bayar biaya sekolahmu," sindir Richard karena Tulip hanya mengucapkan terima kasih untuk mamanya saja. "Makasih juga, Papa!" seru Tulip dengan perasaan yang begitu bahagia. Keesokan harinya ditemani dengan mamanya, Tulip datang ke sekolah untuk mengambil seragam. Ternyata Tulip sudah diterima melalui jalur rapor dan semua itu diurus oleh mamanya. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih dengan keluarga Arkin. Ia yang dulunya dibuang kini bisa merasakan kebahagiaan keluarga yang sesungguhnya. "Tulip boleh keliling sebentar?" tanyanya pada Freya yang masih harus menyelesaikan beberapa urusan administrasi. "Jangan lama-lama, ya!" pesannya. "Oke!" Tulip yang begitu bersemangat langsung keluar dari ruangan dan berkeliling di sekolah barunya itu. Dari segi bangunan, jelas lebih bagus bangunan SMP Tulip dulu. Urusan biaya jangan ditanya, tentu lebih mahal sekolah SMP-nya. Karena sekolah Tulip yang dulu adalah swasta dan khusus perempuan. Sekolah yang sekarang adalah negeri dan juga siswanya tak hanya perempuan saja, melainkan campur. Meskipun begitu, mutu sekolah ini diakui sebagai sekolah terbaik di kota. Itulah yang membuat Tulip begitu antusias bersekolah di sini. Ia terus berjalan berkeliling di lantai satu. Ia tidak berani kalau harus menyusuri lantai atas, karena kondisi sekolah yang cukup sepi. Tiba-tiba telinganya menangkap suara merdu dari sebuah ruangan. Ia melangkah mengikuti arah suara itu berasal, ternyata dari sebuah ruangan yang terpisah dari ruang kelas. Dari luar, ruangannya terlihat cukup luas. Sepertinya sebuah aula. Tulip memberanikan diri untuk mengintip dari sela jendela yang tertutup gorden merah. Nihil, tidak membuahkan hasil sama sekali. Mungkin yang sedang bernyanyi ada di sisi lain, sisi yang tidak bisa dilihat oleh Tulip. Matanya masih berusaha mencari celah lain, ia begitu penasaran siapa pemilik suara emas itu. Beruntung, ada seseorang yang keluar dari pintu di sebelah belakang. Tulip mendekat ke arah pintu itu, berharap bisa mengintip sedikit. Baru saja hendak memegang gagang pintu, ponsel Tulip bergetar, mamanya menelepon. "Iya, Ma?" "Oh… oke," jawab Tulip dengan lemas seraya menutup panggilan teleponnya. Ia terpaksa melepaskan niatannya untuk menemukan pemilik suara emas itu. Tulip pun pergi meninggalkan aula dan kembali ke ruang tata usaha. "Tadi kayanya ada yang mau masuk, siapa?" tanya seseorang yang baru keluar dari pintu aula. "Entahlah," jawab temannya yang lain. *** Seperti anak yang akan masuk sekolah baru lainnya, Tulip juga membeli banyak perlengkapan sekolah. Mulai dari sepatu, tas, buku sampai botol minum. Yah, orang tua mereka memang begitu perhatian. Hingga air minum pun wajib membawa dari rumah. "Apa kamu suka sekolahmu yang baru?" tanya Aaron sembari mendorong troli belanjaan di sebelah Tulip. "Suka dong! Sekolahnya bagus kok," jawab Tulip yakin. "Bukannya gedung sekolahmu yang dulu jauh lebih bagus? SMA di sana juga bisa, kan?" tanya Aaron lagi. "Kakak keberatan, ya, kalau kita satu sekolah? Apa Kakak malu punya adik kaya aku?" tanya Tulip dengan wajah yang cemberut, ia hampir menangis. "Hei-hei-hei! Bukan gitu! Jangan nangis! Nanti aku yang dimarah Mama," ujar Aaron panik sembari memperhatikan mamanya yang masih sibuk memilih alat tulis, berharap mamanya tidak melihat kalau Aaron hampir membuat Tulip menangis. "Terus kenapa Kakak tanya gitu?" "Ya aku cuma penasaran aja karena sekolahmu dulu jauh lebih bagus," jawab Aaron. "Aku cuma pengen satu sekolah sama Kak Aaron," jawab Tulip sembari menunduk. "Iya-iya. Ya udah, apapun alasanmu aku gak keberatan, cuma penasaran. Udah, jangan nangis! Cepet bantu Mama pilih-pilih barang! Kalo Mama sendirian, nanti kita bisa terlambat makan malem," ujar Aaron seraya mendorong adiknya ke arah Freya. Meski bukan saudara kandung, Aaron begitu menyayangi Tulip. Ia benar-benar tidak keberatan, ia hanya penasaran mengapa adiknya lebih memilih satu SMA dengannya dari pada SMA di tempat yang sama seperti SMP-nya dulu. "Ron, kamu mau tas yang mana?" tanya Freya. Kini mereka sudah sampai di bagian display tas, mereka baru selesai memilihkan tas untuk Tulip. "Tas Aaron masih bagus, Ma. Aaron ikut ke sini karena Mama minta ditemenin, bukan karena aku yang mau ikut belanja," tolak Aaron. "Kalo sepatu, mau?" tanya Freya lagi. "Buku aja, udah jangan tambah-tambah lagi!" tolak Aaron lagi dengan tegas. Lemarinya sudah tidak bisa lagi menampung tas dan sepatu. Mamanya terlalu boros. Maunya setiap semester mereka harus berganti tas, sepatu atau apapun itu. Untuk tambahan semangat katanya. Namun, itu sangat berlawanan dengan keinginan Aaron. "Mending beliin jaket buat Tulip aja deh, Ma" saran Aaron tiba-tiba. "Eh?" Tulip terkejut mendengarnya. Ia memang anak yang mudah flu ketika musim dingin tiba, namun koleksi pakaian hangatnya sudah terlalu banyak. Ia belum membutuhkannya lagi. "Oh iya, Mama hampir lupa. Ayo kita cari model terbaru!" ajak Freya dengan semangat. "Ma… tapi, kan–" Tulip berusaha mencegah. "Buat cadangan aja. Barangkali nanti kamu mau menyesuaikan sama warna tas, atau mau warna yang kembar sama pacarmu?" jawab Freya. "Mama!" seru Tulip yang tak suka ketika siapapun membahas tentang 'pacar'. Aaron dan Freya menahan tawa melihat ekspresi kemarahan Tulip yang bukannya menyeramkan tapi justru membuat wajahnya terlihat semakin menggemaskan. Freya mengambil alih troli dari tangan Aaron dan mendorongnya sendiri ke arah display pakaian hangat. Tulip melirik kesal ke arah Aaron.  "Sorry," jawab Aaron pelan sembari menyunggingkan senyum yang memperlihatkan jajaran gigi putihnya. Tulip membuang pandangannya ke arah lain dan mengikuti langkah mamanya dari belakang. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, Aaron menyusul adik kesayangannya itu seraya mengacak rambutnya dan merangkul bahunya dengan lembut.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
51.4K
bc

LAUT DALAM 21+

read
295.0K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
157.8K
bc

True Love Agas Milly

read
199.4K
bc

Skylove

read
111.4K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
317.1K
bc

Love Match

read
176.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook