45. Image yang Mulai Hancur

1166 Words
Diaz terdiam beberapa saat di pelataran parkir ketika hendak pulang. Ia bisa merasakan kalau Tulip masih berbeda dari yang biasa ia kenal. Ia merasa begitu bod*h. 'Harusnya gak usah ungkapin perasaan secepet itu. Kalo udah begini, semuanya berantakan! Hampir aja penantian 11 tahun berubah jadi tinggal kenangan,' batin Diaz kesal sambil menatap dinding putih yang ada di depannya. Ia kembali turun dari motor dan melangkah melewati lorong kelas. Entah mengapa tiba-tiba ia ingin pergi ke ruang basketnya. Perlahan ia menyusuri lorong kelas, sebab ruang basket memang cukup jauh dari pelataran parkir. Ia bersenandung kecil, menyanyikan lagu apapun yang terlintas dalam pikirannya. Ketika hampir masuk ke ruangan, ia mendengar suara dua orang yang sedang mengobrol di dalam. Diaz menepikan tubuhnya untuk menguping pembicaraan yang terasa cukup mencurigakan itu. "Iya, yang kelas sepuluh itu loh! Denger-denger dia adiknya si Aaron," ucap salah seorang dari mereka. "Mentang-mentang punya kakak di sini, terus dia bisa tebar pesona gitu? Mana pake sok-sokan nolak Diaz segala. Secantik apa sih?" balas lainnya. Diaz terkejut mendengar itu. 'Darimana mereka tau kalo Tulip nolak aku?' batin Diaz bertanya-tanya. Dia masih memasang telinganya, berharap ia bisa menemukan siapa yang menyebarkan berita tersebut. "Masa iya sih Diaz ditolak? Ketara banget cuma cari popularitas." Diaz mengatur napasnya, ia mulai emosi mendengar omongan buruk tentang Tulip seperti ini. "Ya gak tau sih, Rexa bilang gitu," jawab lainnya lagi. 'Oke, dalangnya ternyata Rexa.' Diaz kembali melanjutkan langkahnya dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Keduanya langsung menengok ke arah Diaz dan tampak terkejut. Diaz pun bersikap seolah tidak tahu apa-apa. "Loh, ada kalian juga ternyata," sapa Diaz. Kedua orang itu adalah Fariz dan Ricko, teman satu ekskulnya. "Eh, kamu toh, Yaz!" balas Fariz, ia sedang memegang sebuah bola basket yang masih baru. "Kita lagi beresin ini," tambahnya. "Oh, giliran kalian piket?" tanya Diaz yang masih terlihat santai, lalu ia berjalan ke papan pengumuman–tempat di mana jadwal piket ditempelkan. "Kamu sendiri ngapain balik lagi?" tanya Fariz. "Gak tau, pengen aja. Lama gak tidur di sini," jawab Diaz sambil tertawa kecil. Ia melihat nama yang tertulis di kertas jadwal, ada nama Rexa di jadwal piket hari Senin. "Kalian berdua aja? Rexa sama Ken gak ikutan?" "Mereka nyusul, masih makan di kantin," jawab Ricko. Ia tampak lebih gugup daripada Fariz, padahal yang lebih dekat dengan Rexa itu si Fariz, bukan dia. "Ah, bahas kantin jadi ikutan laper. Ada yang mau ikut ke kantin?" ajak Diaz. "Mmm… aku di sini aja. Kebetulan masih kenyang," jawab Ricko yang suaranya semakin terdengar bergetar. "Aku juga udah kenyang kok," jawab Fariz seraya tersenyum canggung, sangat terlihat ia juga sedang menahan kegugupannya. "Oke!" Kemudian Diaz keluar lagi dari ruang basket dan tersenyum sinis. Ia ingin segera mengintrogasi Rexa. Sementara itu yang ada di dalam ruang basket.... "Tinggal bilang mereka nyusul aja kenapa? Pake dikasih tau segala kalo si Rexa di kantin!" omel Fariz pada Ricko. "Ya… mana aku tau? Kan, aku jujur. Lagian, kita juga gak tau, kan, si Diaz tadi denger apa enggak," bela Ricko. "Mau gak jujur juga, mereka tetep bisa ketemu sih. Lusa juga kita ekskul, kan?" ujar Fariz. "Nah, itu!" jawab Ricko lagi. Mereka pun lanjut menyusun bola-bola dan perlengkapan lainnya. Kebetulan ada beberapa barang baru yang belum disusun dan masih berada di dalam box besar. Entah ini sebuah keberuntungan atau bukan, sebelum sampai di kantin, Diaz sudah bertemu dengan Rexa. Ia sudah kembali dari kantin dan sendirian, Ken tidak ada bersamanya. "Hei, Xa!" sapa Diaz lebih dulu. "Belum pulang, Yaz? Mau ngapain?" balas Rexa. "Pengen cek lapangan. Kamu sibuk, gak?" tanya Diaz. Ia sedikit berbohong, karena memang ia ingin bicara empat mata dengan Rexa. "Kebetulan aku piket. Memang ada apa di lapangan?" "Ada yang bilang ring-nya goyang, makanya mau aku cek." "Oh, ya udah. Ayo cek! Bahaya kalo memang ada yang rusak," ujar Rexa seraya melangkahkan kaki lebih dulu. Mereka pun pergi ke lapangan basket. Jaraknya juga tidak jauh dari posisinya sekarang, karena terletak di belakang sekolah–di belakang gedung aula. Sepanjang perjalanan mereka, tak ada satupun yang membuka suara. Diaz juga tidak marah, ia hanya penasaran. Sampailah mereka di lapangan basket. Langit yang begitu cerah–bahkan hampir panas, membuat mereka kompak memicingkan mata. Beruntung masih ada sedikit hembusan angin mengurangi rasa panas di sekitar lapangan itu. "Ring atas itu yang kendor?" tanya Rexa. "Mungkin," jawab Diaz. Rexa pun berdiri di bawah jaring basket dan memperhatikan ke atas. Tentu saja dia tidak menemukan sesuatu yang aneh karena Diaz memang berbohong. "Perlu ambil tangga?" Rexa berinisiatif. "Enggak, gak perlu. Sebenernya aku cuma mau tanya," ujar Diaz yang enggan berbasa-basi lagi. "Tanya?" Rexa mulai bingung, ia terlihat tidak menaruh curiga sama sekali. "Iya. Tau dari mana masalah aku sama Tulip?" tanya Diaz langsung pada intinya. Rexa sangat terkejut, tubuhnya seketika menegang. "Tulip… siapa?" tanya Rexa. "Adikku, adiknya Aaron," ujar Diaz tegas. Ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam kantong celana. "Oh… itu… aku gak sengaja denger. Kebetulan aku lewat dan liat kalian," jawabnya gugup, ia langsung paham tentang 'masalah' yang Diaz maksud. "Gak sengaja? Memang nguping itu baik? Pake disebarin segala pula! Kamu kira aku ini bahan candaan kalian, hah?" tanya Diaz yang mulai terdengar marah. Padahal dia baru saja menguping pembicaraan Fariz dan Ricko. Rexa membuang napasnya dengan kasar. Ia tampak ikut tersulut emosi dan kegugupannya pun hilang. "Udah ditegasin sama Shendy, ternyata masih belum sadar juga, ya? Apa gak sadar kalo kamu itu udah kaya selebriti di sekolah ini? Tebar pesona dan kasih harapan palsu ke banyak cewek. Bangga dengan dirimu yang kaya gitu?" tandas Rexa. "Jaga mulutmu, ya!" 'Kenapa? Takut popularitasmu turun karena kabar itu?" tantang Rexa. Diaz sudah menggenggam tangan untuk menahan amarahnya, ia tak ingin merusak citranya di sekolah jika harus bertengkar dengan Rexa. Ditambah lagi saat ini namanya sedang jadi perbincangan akibat ulah Shendy. Maka ia tak bisa banyak bergerak selain memberi peringatan pada Rexa. "Denger, ya! Kamu boleh sebarin berita buruk apapun soal aku, tapi jangan kamu bawa-bawa Tulip!" ujar Diaz. "Bahkan aku aja gak tau siapa nama anak itu, gak peduli juga," jawab Rexa santai. Kini posisinya terbalik, justru Diaz yang tersudutkan. "Gini deh, ya. Aku gak ada niat jahat, gak ada tujuan menjatuhkan atau apapun. Tapi asal kamu tau, image-mu di mata cewek memang bagus. Banyak yang mendewakan kamu. Tapi enggak bagi cowok. Tau tentang itu, kan?" ujar Rexa lagi. Diaz hanya diam dan melihat ke arah lain, ia memang salah langkah kali ini. Tak hanya teguran yang ia berikan pada Rexa, namun dirinya juga mendapat teguran yang bahkan jauh lebih keras. "Kasian Shendy harus cinta mati sama cowok kaya kamu, padahal dia pantes dapet yang jauh lebih baik," ujar Rexa seraya meninggalkan Diaz sendiri di lapangan itu. "Hei! Berhenti!" seru Diaz sebelum Rexa semakin jauh darinya. Rexa pun menengok dan menjawab, "Apa?" Diaz mengatur napasnya. Ia merasa sudah terlanjur malu, maka tak ada salahnya jika ia meminta bantuan pada Rexa. "Kasih tau cara jadi cowok yang 'bener'!" Rexa mengerutkan keningnya, lalu tertawa mengejek. "Gak salah denger nih? Udah sadar kalo image-mu mulai rusak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD