Lima

1512 Words
Rasanya seperti belati yang enggan beranjak dari jantungku.   . . .   Ini sudah hari keenam Veroniccha dan Davino berada dalam satu atap. Menurut gadis itu, itu adalah waktu yang sangat lama karna ia sudah merasa membuang-buang waktu. Padahal dengan waktu enam hari ia sudah dapat pergi ke tiga negara, keluhnya. Sampai saat ini Davino tak mengetahui motivnya berkeliling dunia. Karena iapun juga tak pernah bertanya kepadanya. Pernah sewaktu ketika, tepat tiga hari mereka berada dalam satu atap, Davino mengajak Veroniccha pulang kerumahnya untuk menemui ayahnya. Tapi ia menolak mentah mentah hingga akhirnya Tiolah memutuskan untuk menemui putrinya. Hebat sekali bukan istri Davino yang aneh itu. Ketika ayahnya datangpun, Veroniccha hanya menyapanya sekilas sekaligus mengantarkan minuman. Meski sebenarnya Tio ingin mengobrol banyak dengan putinya. Tapi Veroniccha langsung masuk ke kamarnya dengan alasan sudah mengantuk padahal waktu masih menunjukkan pukul 8 malam. Davino yang ada di sana merasa tidak enak dengan Tio saat itu. Meskipun Veroniccha adalah putrinya, namun sekarang ia adalah istrinya. Tapi Tio hanya menanggapinya santai seolah-olah hal itu sudah sering terjadi. Di saat Tio berkunjunglah Davino bertanya padanya mengenai Veroniccha. Ya, tentu saja alasannya mengenai dirinya yang hobi berkeliling dunia. "Dia ingin mencari cinta," jawab Tio saat itu yang benar benar membuat Davino tak mengerti. Yang diartikan oleh Davino saat itu adalah ia kehilangan laki laki yang dicintainya. Sebab dari itu ia bahkan tak merasakan sakit hati bahkan mendukung hubungannya dengan Nina. Tapi Tio membantahnya. Ia bilang bukan karna Veroniccha mencari seorang laki laki yang dicintainya. Ketika Davino semakin heran karenanya, Tio malah menyuruhnya bertanya langsung pada Veroniccha. Tentu saja hal yang tidak ingin Davino lakukan. Ketika Tio berpamit untuk pulang, Davino sengaja menahannya sebentar dan menyeret Veroniccha keluar kamar tanpa menghiraukan keluhan darinya. Kalian tahu apa yang dikatakannya saat mereka mengantar Tio sampai mobilnya? "Sebaiknya papa cepat kirim Iccha uang. Iccha sudah tidak punya uang sepeserpun sekarang." Kira-kira begitulah yang di ucapkannya kala itu. Hal itu pula yang membuat Vino terkaku seketika. Dia terlihat seperti suami yang dilaporkan istri kepada ayahnya jika tak memberinya nafkah. Namun Tio hanya tersenyum ringan dan mengacak rambut putrinya sayang meski langsung di tepis secara halus oleh Veroniccha. Seketika Davino menyadari hubungan yang terjadi di antara mereka. Veroniccha berusaha menjaga jarak dari ayahnya. Sampai detik ini Davino tidak tahu apa penyebab kerenggangan kedua hubungan ayah dan anak itu. Karena Veroniccha pun tak ada niatan untuk sekedar berbagi cerita dengannya. Hubungan mereka selama seminggu ini benar benar hambar. Mereka seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Sangat jarang sekali terjadi interaksi antara keduanya. Selain karna pekerjaan Davino yang menuntutnya pulang malam --sebenarnya tidak terlalu malam, Veroniccha pun hanya berada di kamarnya dan tak pernah keluar. Ketika pagipun ia tak pernah keluar kamar untuk sekedar sarapan bersama. Yang Davino tahu, ia tak akan keluar dari kamarnya sebelum pukul sembilan. Meskipun tidak di akuinya secara langsung, namun Davino mengetahuinya. Di sela pekerjaannya, iapun selalu memantaunya lewat CCTV. Takut takut istrinya itu mengacaukan rumah seperti apa yang dikatakannya. Ucapannya memang tidak bohong. Ia benar benar mengacaukan rumah. Dimulai dari dapur sampai ruang tamu, ruang TV, dan semuanya (Terkecuali kamar tidur dan ruang kerja Davino yang tentunya terkunci). Juga taman rumah. Sepertinya ia menyukai taman. Karna taman itu semakin indah dan banyak bunganya. Tapi, ia membereskan lagi kekacauannya. Meski tak sepenuhnya rapih seperti semula dan mengharuskan Davino turun tangan untuk membenahinya. Tapi setidaknya ia mau bertanggung jawab dengan itu. Satu hal lagi yang Vino tahu tentangnya. Ia suka mawar dan tulip. Selain tamannya yang begitu banyak mawar putih dan tulip kuning, di kamarnyapun banyak sekali tulip yang ia masukan kedalam vas bunga. Jika dihitung mungkin jumlahnya sekitar tujuh vas bunga. Lain halnya dengan mawar, ia menaruh pot berisi mawar di balkon kamarnya. Ia juga sering berlama lama duduk di kursi malas di balkon kamarnya. Merhatikan pemadangan taman dari atas. Tok tok tok.. Pintu terbuka dan memperlihatkan wajah Fiya disana. "Maaf pak, anda ada rapat dengan kolega dari Perusahaan Sanjaya 15 menit lagi." "Siapkan saja materinya. Aku akan keluar sebentar lagi." ujar Vino dan Fiya menunduk sopan kemudian keluar.   *__*   Hari yang sangat melelahkan. Sekarang sudah pukul 11 malam. Hari ini Vino memang  sengaja lembur karna ada masalah dengan  pada proyek yang sedang dikerjakannya. Padahal hari biasanya Davino akan pulang pukul 8 paling lama. Vino segera memasuki rumahnya. Kemudian memasuki kamar dan membaringankan tubuh ke kasur yang empuk. Memijat keningnya sebentar setelah itu berlalu menuju kamar mandi. Mandi malam ini seperti nya tidak buruk. Selesai mandi, Davino langsung menuju dapur untuk minum. Sebelum menuruni tangga, matanya sempat melirik pintu kamar Veroniccha. Sunyi. Sepertinya wanita itu sudah tidur. Iapun menuruni anak tangga dan satu persatu menuju dapur. Astaga, bahkan ia sampai tidak melihat bahwa lampu dapur masih menyala. Tumben sekali Veroniccha tidak mematikannya. Vino langsung mengambil segelas air dan meneguknya hingga kandas. Ketika ia ingin mematikan lampu, matanya terfokus pada seorang wanita yang tertidur di atas meja makan dengan makanan yang masih utuh di atasnya. Astaga, Veroniccha. Apa ia menungguku? Tumben sekali. Kalau iya, mengapa ia tidak menghubungiku saja? Vino segera melangkahkan kaki ke arahnya dan mengguncang bahunya pelan. Veroniccha mengerjapkan kedua bola matanya dan bangun dari duduknya. "Kau sudah pulang?" sapanya kemudian tersenyum saat Davino mengangguk. Gadis itu segera menuntun Davino untuk duduk di kursi sebelahnya tadi duduk. Sedangkan Davino, ia hanya menatapnya bingung. "Aku membuatkanmu makan malam. Entahlah rasanya seperti apa. Tapi ku harap kau mau memakannya. Kau tenang saja, sebelumnya sudah ku cicipi dan ku pastikan bahwa ini layak dimakan. Walau sudah dingin," jelasnya. Veroniccha mengambilkan nasi beserta lauk pauk yang terdiri dari tuna balado serta capcay brokoli. Masakan rumahan. Ia memiliki selera seperti Mamanya. "Makanlah. Itu ada tahu dan tempe jika kau ingin ambil sendiri saja ya. Karna aku juga ingin makan." "Kau belum makan?" Davino sedikit terkejut yang dibalas wanita itu dengan hanya menyunggingkan cengirannya dan memakan makananya. "Kenapa kau tidak menghubungiku? Aku tidak tahu kau akan membuatkanku makan malam. Jika kau menghubungiku akan aku usahakan pulang cepat." Davino menatapnya. "Ku kira kau pulang seperti biasanya. Sudahlah. Makan saja," ujarnya kembali menyantap makanannya. Mereka makan dalam hening. Ini adalah kali pertama mereka makan bersama seperti ini. Masakannya tidak seenak masakan Nina. Tapi juga bukan berarti tak enak.   *__*   "Ngomong ngomong, tumben sekali kau menyiapkan makan malam untukku?" tanya Vino  membuka percakapan ketika mereka sudah selesai makan. "Kau lupa? Besok aku akan pergi. Kau juga tidak boleh lupa memberiku uang. Sesuai janjimu." Jadi semua tindak baiknya ada maksud tersendiri. Astaga. "Aku akan mengirimnya besok. Memangnya kau mau kemana?" "Korsel," jawabnya singkat. "Kau tidak berbohong? Di hari pertama kita menikah, kau meninggalkanku dan bilang ingin ke Austria. Nyatanya kau mengirimi E-mail dengan keberadaanmu di Venisia." Ya tentu saja Davino  masih mengingat malam itu. "Kali ini memang ke korsel. Kemarin aku terpaksa berbohong. Aku takut kau memberi tahu papa dan akhirnya papa menjemput paksaku." "Terserah kau sajalah." Mereka kembali hening kembali hening. Veroniccha beranjak dari tempatnya dengan membawa semua piring kotor ke wastafel.  Setelah mencuci piring bersama, mereka  segera naik ke lantai atas. Namun, ketika Davino hendak membuka pintu kamarnya, Veroniccha menarik lengannya dan membuat Davino menatapnya. "Bisa malam ini kau tidur di kamarku? Aku ingin tidur nyenyak malam ini," katanya pelan. Veroniccha tak pernah seperti ini sebelumnya. Davino menatap matanya. Matanya kembali. Mata yang menyimpan begitu banyak dukanya. Matanya yang membuat sesuatu menusuk jantungnya. Mata yang tidak Davino sukai. Vino tak menjawab pertanyaannya dan langsung memasuki kamarnya dan Veroniccha mengekor dibelakangnya. Setelahnya mereka segera menaiki ranjang dan mencoba memejamkan mata. "Kau tahu? Aku menyukai rumahmu. Tenang dan membuatku nyaman. Maaf aku membuat hidupmu hancur dengan keberadaanku. Selamat tidur." Ia segera mematikan lampu tidur dan memunggungi Davino. Sedangkan Davino masih terdiam. Mencoba mencerna semua yang terjadi. Setelah sekian lama bahkan Davino masih terdiam. Veroniccha membalikkan badannya ke arahnya dan membuat mata Davino langsung terpejam. "Aku suka melihatmu tertidur," kata Veroniccha pelan. "Kau tahu? Besok adalah hari yang berat untukku. Jika ingin jujur, aku tak mau keluar dari rumah ini. Aku ingin menghentikan perjalananku. Tapi aku tak bisa. Aku harus mencari sesuatu yang harus ku temukan." Ia terisak. Veroniccha menangis. "Terkadang aku berfikir untuk mengakhiri semua ini. Tapi aku tak sanggup. Aku lelah, Vin." Ia masih terisak. Lama hening. "Setiap malam, mimpi itu selalu hadir. Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku bersama mimpi itu. Di manapun keberadaanku, mimpi itu selalu hadir." Veroniccha memeluk Davino erat. Bahkan aroma coklat yang menguar dari rambutnya dapat Vino hidup. Mengisi paru-paru yang sempat kosong beberapa waktu lalu. Kemudian Davino merasa sesuatu yang basah pada bahunya. Ia yakin, Veroniccha kembali menangis.  "Tapi disini, mimpi itu tak hadir. Kau tahu? Pelukanmu malam itu bagai pengusir mimpi buruk yang hadir di setiap malamku. Karna itu aku tak ingin pergi." "Tapi aku sadar. Pelukanmu bukan milikku. Aku hanyalah pengacau hidupmu. Aku tak ingin kau hancur seperti ku. Maaf kan aku." "Biarkan kali ini aku egois. Menikmati nyenyakku sampai esok pagi. Berharap aku dapat menyelesaikan perjalananku." "Kau tahu? Aku ingin hidup normal. Seperti kau, seperti Nina. Seperti yang lain. Hidup dengan cinta. Tapi aku tahu, bahkan aku hidup sudah jauh dari kata normal." Davino masih terdiam. Menikmati luapan perasaan gadis itu. Rasanya seperti belati yang enggan beranjak dari jantungku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD