Empat

1099 Words
Davino masih terkaku. Mendadak lupa dengan apa yang terjadi saat kedua tangan wanita itu merangkum wajahnya. Menatap tepat ke manik matanya seolah mengajaknya tenggelam bersama. Ada yang salah dari mata Sendu itu. Sesuatu yang Davino tak sukai saat lagi-lagi air mata menetes dari sana. Tatapannya seolah meminta perlindungan. Membuat Davino ingin segera menariknya dalam pelukan. Membisikan kata-kata penenang. Abaikan semuanya dan hanya aku disini. Tidak akan ada yang menyakitimu. Seperti itu misalnya. "Wajahmu lucu sekali ketika bangun tidur seperti ini." Kini tatapan Sendu itu hilang setelah Davino membalas tatapannya dengan meyakinkan bahwa takkan ada orang yang menyakitinya. Tatapan menyebalkan khas istrinya telah kembali. Kemudian tangan wanita itu berpindah menuju surai hitamnya dengan perlahan dirapihkannya. Merapihkannya begitu lembut seperti tatapannya saat ini. "Lebih baik sekarang kamu mandi, setelah itu berangkat ke kantor. Maaf aku tak bisa membuatkanmu sarapan. Ini masih pukul 8 dan aku tidak bisa keluar sekarang." Setelahnya, yang entah bagaimana, Davino dengan nurut keluar dari kamar itu. Memasuki kamar mandi dan mandi seperti permintaan wanita itu. Ada yang salah! Sejak kapan ia menjadi penurut seperti ini? *___*   "Tumben sekali sudah jam segini kamu belum ke kantor." Davino masih terdiam membiarkan Nina menuangkan air minum kedalam gelasnya. Ia masih bingung dengan yang terjadi. Setelah mandi dan berpakaian, Davino turun kebawah dan melihat Nina sedang memasak di dapurnya. Satu hal yang ia lupakan sebelum ini, Nina memang setiap pagi akan datang kerumahnya untuk membuatkannya sarapan. Lalu ia kembali pusing saat nanti Veroniccha turun. Apa yang akan terjadi? Peperangan? "Kenapa diam? Cepat makan makananmu kemudian segera pergi kerja. Ini sudah siang, Dave." Nina kembali berkata lembut dan duduk di kursi samping Davino. Persetan dengan Veroniccha. Saat ini Davino sudah tergiur dengan sepiring nasi goreng di depannya. Lagi pula wanita itu takkan keluar dari kamar sepertinya. "Wah ada nasi goreng. Kebetulan sekali perutku sudah meminta di isi. Aku boleh bergabung?"   Ouch! Bahkan pikiran itu belum beranjak lima menit dari kepalanya. Tapi suara yang tidak diharapkan perlahan masuk ke telinganya. Kemudian netranya menangkap kehadiran perempuan itu yang kini sudah duduk di depannya. Semuanya mendadak kaku. Kecuali Veroniccha tentu saja. Perempuan itu sedang menikmati  makanannya tanpa sadar bahwa suasana mendadak kaku seketika. "Wow, ini benar benar enak. Siapa yang memasaknya? Tentu saja bukan kau kan, Vin? Pasti gadis cantik yang ada di sampingmu itu, kan?" Veroniccha heboh di tempatnya. Davino mengalihkan pandangan. Ia menatap Nina yang sudah menegang di sampingnya. Demi Tuhan Nina merasa dingin sekujur tubuhnya. Ia tidak mau menjadi orang jahat dengan merebut suami orang. Tapi ia juga belum siap melepaskan Davino yang sudah tiga tahun menjadi kekasihnya. "Omong-omong, kau siapa?" tanya Veroniccha yamg mampu membuat Nina tertunduk. "Tunggu, aku tahu! Pasti kamu Nina. Yakan? Wah! pantas saja Vino jatuh cinta padamu. Kamu sangat cantik dan jago memasak." Ada yang Davino lupakan. Sepertinya masalah ini tidak akan jadi besar mengingat perempuan yang menjadi istrinya adalah perempuan paling aneh sedunia. Jangan lupakan bahwa dialah yang membujuk Nina supaya tidak berpisah dengan suaminya. "Kamu tidak perlu takut padaku. Anggap saja aku ini temanmu. Lagipula kita sudah pernah berkirim e-mail bukan?" ujar Veroniccha membangkitkan senyum Nina. Veroniccha mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepalanya, "tidak tidak! Aku tidak ingin mempunyai teman Sepertinya." Apa apaan si perempuan aneh ini. Tadi ia menawarkan pertemanan dan sekarang? "Bagaimana kalau adikku? Hem.. Jangan! Aku tidak ingin memiliki adik perempuan." Ia menggaruk keplanya frustasi. Sefrustasi itukah ia memikirkan siapa Nina untuknya? "Kekasihku." Ucapan Davino sontak membuat perhatian kedua wanita itu mengarah padanya. Nina dengan wajah cemberut nya. Veroniccha dengan wajah berbinar nya. "Kau betul! Baiklah, Nina, mulai sekarang kau adalah kekasih suamiku." Veroniccha kembali dengan fikiran gilanya. "Tidak tidak. Itu terdengar jahat sekali. Nina orang yang baik," ralatnya kemudian. "Aku tahu! Nina, mulai sekarang kau adalah kekasih adikku!" Davino tersedak makanannya. Astaga! Hal apa lagi yang ada di pikiran anehnya saat ini? "Siapa yang kau sebut adikmu?" ujar Davino berang. Lalu Nina terkekeh ditempatnya. "Tentu saja kau. Menurutmu kekasih Nina itu siapa?" jawabnya santai dan kembali memakan makanannya. "Kau memang perempuan aneh yang pernah kutemui." "Aku tahu," jawabnya acuh.   *___*   Setelah selesai sarapan, Veroniccha memaksa Davino dan nina. Tepatnya hanya Nina untuk duduk diruang TV. Ia bilang ingin mengobrol dengannya. Nina mengikuti kemauan Veroniccha setelah mendapat izin lewat tatapan matanya pada Davino. Mereka mengobrol banyak dan Davino hanya menjadi pendengar setia. Itu terjadi karna Davino tidak dimasukkan kedalam obrolan mereka. "Sudahlah, kalian mengobrolnya lain waktu saja. Nina harus mengajar dan aku harus ke kantor," sela Davino menghentikan obrolan mereka. "Ayolah. Aku harus ke apartemen setelah itu brangakat ke Manhatan sebentar lagi. Tidak akan ada waktu untuk mengobrol kembali. Oh ya, selain kau adalah adikku, tapi tanggung jawabmu adalah sebagai suamiku. Jadi, kau harus memberi kan ku uang." "Siapa yang akan pergi? Kau tidak akan keluar dari rumah ini. Dan aku tidak akan memberi mu uang sebelum satu minggu." "Ck. Apa apaan kau ini. Hem.. Tidak apa. Aku akan meminta uang pada ayahku." "Ayahmu tidak akan memberikannya. Lagi pula ini permintaan ayahmu." Veroniccha mengerucutkan bibirnya dan Nina suda tertawa di tempatnya. "Ayo lah! Kamu jangan seperti itu. Lagipula kamu akan bosan jika terus melihatku di sini. Aku tidak bisa memasak dan membersihkan rumah. Malahan, setiap kamu pulang pasti akan terkejut melihat keadaan rumahmu yang sudah seperti kapal pecah. Tanganku tidak bisa jika tidak mengacak acak rumah orang. Kau tahu? Rasa penasaran ku sangatlah tinggi." "Jika itu terjadi, aku tidak akan membiarkanmu pergi dan tidak akan memberimu uang sepeserpun selama satu bulan." "Dasar suami pelit." Veroniccha menghentakan kakinya berjalan menuju kamarnya.   *___*   "Dia wanita yang lucu," ujar Nina. "Lebih tepatnya menyebalkan." "Hahaha, kau ini. Namun dia wanita yang baik." Ya. Davino menjawab dalam hati. "Kamu tahu, mungkin ini aneh. Tapi aku sayang padanya seperti aku sayang pada saudara perempuanku." Davino diam, menunggu Nina selesai berbicara sepenuhnya. "Mudah sekali menyayanginya." Mungkin kau benar. "Aku benar benar menyayanginya." Sepertinya aku juga. "Dia wanita yang kuat." Kau benar. "Namun dia wanita yang rapuh." Bahkan kau mengetahuinya, Nin. "Wajahnya memperlihatkan ia wanita yang kuat. Namun matanya tidak." Ternyata kau juga melihatnya. "Matanya memperlihatkan betapa rapuhnya dia." Kau benar. "Aku rasa ini salah. Kita harusnya tak bersama. Veroniccha wanita yang baik." Sontak, Davino menepikan mobilnya mendadak. "Kau tahu aku tak akan ingin putus denganmu!" ujarnya geram. "Tapi ini salah, Dave. Aku tidak ingin menyakiti dia." Dia tak akan tersakiti. Dia tidak mengharapkanku, Nin. "Dia wanita yang mudah dicintai. Aku yakin kamu akan cepat mencintainya. Belajarlah." Mungkin aku ya. Tapi tidak dengannya. "Aku tak ingin pisah denganmu." "Kumohon Dave. Ini salah." Nina menggenggap tangan Davino erat. Davino mengambil tangannya dan meletakannya di wajahnya. "Biarlah seperti ini dahulu, Nin. Untuk sekarang aku tidak ingin berpisah denganmu. Maaf jika aku egois.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD