Satu
Tidak ada yang salah hari ini, dengan hujan yang masih deras di luar sana. Ya, Desember dan hujan. Tidak ada masalah hari ini, hanya saja tidak dengan pria yang sedang terdiam di depan pintu sebuah ruangan. Pria berwajah tampan dengan jas yang sudah tak pada tempatnya juga lengan kemeja birunya yang sudah tergulung hingga siku.
Tak ada pilihan. Ia harus masuk kedalam segera mungkin. Dengan napas yang dibuang kasar, ia mendorong pintu itu.
"Davin, kau sudah datang nak? Masuklah!" Suara lemah wanita paruh baya memasuki telinganya.
Sesaat, Davino hanya terkaku di tempatnya melihat keadaan wanita yang tak lain ibunya itu. Dengan selang oksigen yang di hidungnya, juga infus yang tertancap di atas telapak tangannya. Sungguh, pemandangan ini adalah pemandangan terakhir yang ingin dilihatnya, meski kenyataan ia sudah sering melihatnya.
"Apa mama tidak bosan masuk keruangan ini?" Davino melangkah perlahan ke arah ranjang ibunya dan menggenggam tangan itu hangat. Katakan saja ia cengeng, tapi nyatanya ia ingin menangis saat itu juga.
Perihal kondisi ibunya, juga yang akan terjadi dengan hidupnya beberapa saat lagi.
"Jika kau ingin mama segera keluar dari ruangan ini, menikahlah dengan pilihannya." Suara lain dari sudut ruangan kembali masuk ke telinganya. Seorang laki-laki jangkung dengan kaos putih yang sedang menatap serius padanya. Davino hanya mendecih dan melirik sinis.
"Aku tidak ingin bicara denganmu. Lebih baik kau diam saja sebelum aku menghabisimu," katanya tajam dan kembali membuang pandangannya.
"Sudahlah kalian jangan bertengkar. Mama akan semakin sakit jika kalian bertengkar." Nada –kakak ipar Davino, mencoba melerai keduanya. Ada hal yang patut disukuri dari memiliki kakak yang menyebalkan, setidaknya, kakak iparnya baik seperti malaikat.
"Davin, apa kau sungguh tidak ingin menikah dengan pilihan mama nak?" akhirnya, pertanyaan yang akan memulai kisah ini terucap.
"Usia Dave masih 28 tahun, Ma. Masih banyak hal yang ingin Dave kerjakan." Davino menggenggam lebih erat tangan ibunya, mencoba untuk menyampaikan penolakannya secara halus.
"Usiamu sudah pantas untuk menikah nak. Hal itu dapat kau kerjakan bersama istrimu."
"Tapi Dave memiliki kekasih dan Dave sangat menyayanginya. Dave tidak akan tega untuk meninggalkannya, Ma. Tolong mengertilah." Davino kembali membayangkan wajah Nina –kekasihnya, di kepalanya. Membayangkan betapa kecewanya perempuan cantik itu jika kali ini ia tidak berhasil membujuk ibunya.
"Baiklah jika kau tidak mau. Mama tidak ingin memaksamu."
*__*
Kalimat terakhir ibunya di ranjang rumah sakit tidak berarti apa-apa sekarang. Karena saat ini, Davino sedang mematut wajahnya di cermin. Mengamati dirinya yang sudah terlihat tampan dan bersiap untuk mengucapkan ikrar suci.
Sudah satu bulan sejak kejadian di rumah sakit yang membuat Davino hampir menghentikan napasnya saat monitor menunjukkan detak jantung ibunya yang melemah. Tidak ada pilihan lain saat itu selain pilihan ibunya. Rasanya lebih menyakitkan membayangkan kondisi ibunya saat itu ketimbang masa depan indahnya bersama Nina. Biarlah, perlahan Davino akan memberi pengertian kepada perempuan yang sampai saat ini masih menjadi kekasihnya itu.
Tentang siapa yang menjadi istrinya nanti dia tidak peduli. Faktanya perempuan itulah yang menghancurkan masa depannya saat ini.
Haruskah ia menjadi tokoh antagonis saat ini? Toh dia sudah cukup baik di hari-hari yang telah lewat juga kepada orang banyak. Sepertinya tidak masalah berperan jahat kepada istrinya sendiri saat ini.
Iya, kan?
"Davin, kau sudah siap?" pintu ruangan terbuka dan menampakkan wanita paruh baya yang tersenyum hangat kepadanya. Perlahan, Ratna berjalan menuju putranya dengan senyum yang tak pernah luntur.
Putranya begitu tampan saat ini. Persis seperti ayahnya ketika muda. Meski ada sesak dihatinya karena dengan tidak langsung, ia memaksa putranya menikah dengan perempuan yang tidak diinginkannya. Namun ia percaya, ini adalah yang terbaik untuk putranya. Untuk mereka. Untuk semuanya yang mengalami penderitaan di masa lalu.
"Anak mama ternyata sangat tampan. Sekali lagi terima kasih ya nak." Ratna membenarkan letak dasi putranya kemudian mengusap lembut d**a putranya sayang. Kemudian tak sadar Jemari putranya sudah berada di pipinya. Menghapus air mata yang keluar begitu saja.
_©_
Setelah acara akad nikah, Davino langsung bergegas Ke kamarnya, mengabaikan Veroniccha –istrinya, yang berjalan terseok dengan memegangi gaunnya yang panjang. Tak terlewatkan pula u*****n yang keluar dari bibir mungilnya.
Setelah di dalam kamar, masih mengabaikan keberadaan istrinya yang sialnya cantik itu, ia langsung memasuki kamar mandi. Menghilangkan seluruh penat yang bersarang di kepalanya. Meski tidak ada pesta yang meriah di pernikahannya, tetap saja, Davino merasa lelah saat ini dan membutuhkan air secepatnya.
Di dalam kamar mandi, Davino banyak berpikir. Apa yang akan ia lakukan setelah keluar dari sini? Mau dibawa kemana pernikahan ini? Apakah ia memang harus menjadi antagonis disini?
Sepertinya peran antagonis tidak lah buruk.
Baiklah, apa yang tokoh antagonis lakukan pada kisah seperti ini pada umumnya?
Maninggalkan istrinya pada malam pertama mereka? Memakinya dengan kalimat kasar? Atau memaksanya berhubungan?
Wow! Sepertinya peran antagonis memang cocok untuk dirinya. Lihatlah, saat ini bibirnya tersenyum membayangkan hal-hal jahat yang akan ia lakukan nanti.
Keluar dari kamar mandi dengan rancangan matang di kepalanya, Davino justru tercengang melihat kelakuan perempuan yang dua jam lalu telah menjadi istrinya itu. Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang aneh dari seorang wanita yang berpose dengan gaun pernikahan juga cincin yang melingkar di jari manisnya di depan kamera. Hanya saja, biasanya yang melakukan hal seperti itu adalah pengantin yang saling mencintai dan pernikahan yang indah. Jangan harap hal itu terjadi pada pernikahan mereka berdua.
Davino masih terdiam di depan pintu kamar mandi sampai perempuan itu terkejut menyadari keberadaannya.
Menaruh kembali ponselnya, ia mengangkat gaunnya juga menggeret kopernya, kemudian melangkah pelan menuju Davino. Tidak. Maksudnya kamar mandi.
"Permisi," ucapnya kecil kemudian pintu itu tertutup begitu saja.
Astaga! Apa yang terjadi di sini?
Davino melebarkan mulutnya kemudian tertawa mengejek untuk dirinya sendiri. Lihatlah! Ia sudah menikahi perempuan aneh yang entah dari mana rimbanya.
Tidak berbohong, nyatanya Davino benar-benar buta tentang perempuan itu. Yang ia tahu hanyalah nama lengkapnya, --karena tadi ia menyebutkan namanya saat akad. Kemudian seperti kata ibunya, Veroniccha adalah anak dari teman baik ibunya.
Sesaat setelah Davino rapih dengan piyama tidurnya, Veroniccha keluar dengan ripped jeans biru softnya juga sweater putih yang kebesaran di tubuhnya.
Ia ingin tidur dengan pakaian seperti itu?
Davino memerhatikannya dengan jeli hingga si empunya melihat kearahnya kemudian tersenyum memamerkan daratan giginya yang putih, kemudian duduk di Samping Davino tanpa ijin.
"Ini pertemuan pertama kita bukan?" Tanyanya yang di balas tatapan dingin dengan Davino. Sepertinya saat ini adalah saat yang pas untuk memaikan perannya.
"Ckk, tatapanmu dingin sekali. Aku tidak akan beku kau tatap seperti itu," katanya sombong.
Sepertinya lawan mainnya saat ini adalah wanita yang tangguh. Apa istrinya akan jadi tokoh antagonis di kisah ini?
Oh sepertinya lebih cocok dia yang menjadi antagonis karena sudah menghancurkan hubungannya dengan Nina.
"Davino Karllen. Boleh aku memanggilmu Vino saja? Aku lebih suka Vino ketimbang Davin ataupun Dave seperti yang orang lain panggil." Davino masih belum menghilangkan tatapannya dinginnya pada perempuan itu yang kini terlihat santai.
Apa peran antagonis memang tidak cocok untuknya? Karena sepertinya perempuan ini tidak terpengaruh sama sekali.
"Baiklah, aku tidak suka berbasa basi. Aku langsung keintinya saja. Aku ingin pergi."
Baiklah, sepertinya ia harus mengganti perannya.