Tiga

1226 Words
Sudah seminggu sejak Veroniccha pergi meninggalkan Davino di malam pertama mereka. Itu berarti, sudah seminggu pula usia pernikahan yang mereka jalani.Veroniccha menepati janjinya. Ia sama sekali tidak mengganggu hubungan Davino dan Nina. Bahkan sewaktu Nina menolak untuk kembali bersama Davino, Veroniccha yang entah bagaimana caranya membujuk Nina hingga gadis itu mau kembali bersama Davino. Hari ini Davino menjalankan harinya seperti biasa. Seakan pernikahan itu tidak pernah terjadi di hidupnya. Yang perlu Davino lakukan memang hanya terlihat seperti biasa. Bekerja hingga tumpukan kertas yang menggunung, menjadi tiada. Tok tok tok.. Pintu terbuka dan Fiya –sekretaris Davino, berdiri di sana. "Maaf pak, ada tamu yang ingin bertemu Bapak." Davino mencoba bersikap santai dan tidak tegang meski ternyata itu gagal. Situasi ini lebih parah dari pada menghadapi klien yang banyak maunya. Davino mempersilahkan ayah mertuanya, yang tak lain adalah ayah Veroniccha untuk menyesap kopi yang baru saja diletakan oleh sekretarisnya. "Bagaimana kabar.. Emm," Gugup Davino. "Panggil papa,” potong Tio santai. "Bagaimana kabar papa?" "Baik. Bagaiman dengan mu?" "Aku juga baik pa." "Syukurlah. Bagaimana dengan putri papa?" Davino terdiam kemudian mengkaku seketika. Kabar putrinya? Mana ia tahu. Di mana keberadaan perempuan Itu pun Davino tidak tahu. "Baik pa, " jawab Davino tak yakin "Ia belum kembali?" Davino terdiam bingung hendak menjawab apa. Ia tak tahu bahwa mertuanya tahu bagaimana kondisi pernikahan mereka. "Maafkan Dave pa, Dave belum bisa jadi suami yang baik." Davino menundukkan wajahnya. "Bukan salahmu. Veroniccha memang seperti itu. Sudah seminggu, seharusnya ia berada di Indonesia sekarang," kata Tio. Davino hanya diam. Ia bingung mau menjawab apa. Juga bingung apa yang harus ia lakukan saat Veroniccha kembali nanti. Sebelumnya ia tak pernah memikirkan tentang hal ini. Pekerjaannya sedang membutuhkan pikirannya lebih banyak. "Dia tidak akan kembali kerumahmu. Dia hanya meletakan benda yang dicarinya di apartemnnya lalu pergi kembali. Ia baru akan pulang sebulan kemudian," jelas Tio yang mendapat perhatian Davino sepenuhnya. "Papa ingin kamu menjemputnya di bandara." Davino masih mendengarkan Tio berbicara. "Jemputlah. Paksa ia pulang kerumahmu. Setelah seminggu biarkan ia pergi kembali." tambahnya. "Papa juga ingin minta maaf padamu atas kelakuan Iccha." "Tidak pa, aku yang seharusnya minta maaf," sanggah Davino cepat. Tio tersenyum. "Papa minta satu hal kepadamu. Tolong jangan lepaskan dia. Untuk saat ini kamu biarkan saja dia seperti itu, sampai ia lelah mencari apa yang dia cari."   *__*   Mata Davino masih asik berkeliling mencari keberadaan perempuan yang sudah seminggu dinikahinya itu. Setengah jam sudah berlalu namun Veroniccha belum juga menampakkan batang hidungnya. Tio bilang pesawat tiba pukul 17.00 tapi sekarang sudah 17.30 dan Veroniccha belum terlihat juga. Pandangan Davino berhenti pada satu titik. Ia menangkap keberadaan Veroniccha yang tengah berjongkok membenarkan ikatan tali Sepatunya. Lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki dengan pakaian hitam menarik kopernya yang kemudian Veroniccha tarik koper itu. Siapa laki-laki itu? Penjahatkah? "Doni! Lepaskan koperku!" ternyata Veroniccha mengenalnya. "Mari non, tuan sudah menunggu," jawab laki laki dengan pakaian serba hitam itu. "Bilang papa, aku tidak pulang. Lagipula aku telah mengikuti keinginannnya untuk menikah. Jadi sekarang aku bukanlah tanggung jawab papa lagi. Tapi suamiku." Setelah cukup mengerti dengan apa yang terjadi, Davino mendekat kearah keduanya dan menarik koper Veroniccha dari tangan Doni. Sontak keduanya terkejut akan hal itu. "Sekarang suamimu ada disini. Ayo pulang." Davino memegang tangan Veroniccha dan menariknya pelan. Veroniccha yang bingung menarik tangannya kembali dengan kencang "Astaga, kau ini siapa! Menarik tangan orang sembarangan!" teriaknya. "Suamimu." Davino menjawab santai dan kembali mengambil tangannya. Namun Veroniccha kembali melepaskan tangannya. Menatap Davino berang seakan akan pria itu adalah penjahat. "Kau itu jangan mengada ada. Suamiku sedang kerja! Dasar laki laki aneh!" Davino memutar bola matanya jengah. Bisa-bisanya perempuan ini lupa wajah suaminya!   "Veroniccha Ghahnia Karllen. Aku adalah suamimu. Davino Karllen. Suami yang kau tinggal tepat belum sehari kita menikah." "Benarkah? Wow maaf aku lupa," ujarnya dengan mata berbinar. Astaga, makhluk seperti apa yang Davino nikahi. Veroniccha  tidak merasa bersalah sedikit pun. Davino menggeretnya sampai di mobil dan mengabaikan pertanyaannya yang beruntun. Setelah sampai di mobil Davino segera menyalakan mesinnya dan memasukan gigi. Namun, tangannya dicekal oleh Veroniccha. "Jawab pertanyaan ku, Vino. Bagaimana kau tahu aku berada di indonesia saat ini?" tanyanya yang sejak tadi ia tanyakan. "Ayahmu yang memberi tahuku." Davino melepaskan tangan Veroniccha dan segera menekan gasnya. "Oh, baiklah. Kalau begitu antarkan aku ke apartemenku," ujarnya kemudian menuliskan sesuatu di selembar kertas. "Ini alamatnya." Veroniccha memberikan selembar kertas itu. Davino hanya meliriknya sekilas kemudian memasukkan kertas itu kedalam saku jasnya. "Tidak apalah kau datang. Berguna juga. Hitung-hitung untuk mengirit biaya taksi. Aku akan tidur. Jika sudah sampai bangunkan aku."   *__*   Hari sudah mulai gelap. Jalanan begitu padat sehingga pukul 9 malam mobil milik Davino baru mendarat di rumahnya. Setelah memarkirkan mobil, Davino menolehkan pandangannya pada perempuan yang sedang berkelana dalam mimpinya. "Hey! Bangunlah. Kita telah sampai." Tidak ada jawaban. Davino mencobanya lagi dan tetap sama. Ia bergeming. Kini tangan Davino beralih pada pipi tembam wanita itu dan menepuknya pelan. Veroniccha hanya membalikkan wajahnya kearah Davino dan tetap melanjutkan tidurnya. "Cantik." Hanya kata itu yang keluar setelah beberapa detik Vino memerhatikan wajah putih milik Veroniccha. Wajah mungil dengan kulit putih pucat juga pipi tembam yang terasa sempurna di wajahnya. Jangan lupakan bibir merah mudanya yang sedikit terbuka. Seperti mengundang seseorang untuk mendaratkan bibirnya juga di sana. Cup. Davino tak tahu apa yang terjadi sehingga ia menerima undangan itu. Dengan santainya bibirnya merasa nyaman menempel di sana. Hanya saja, jantungnya tiba-tiba bergerumuh. Seakan ia adalah pasien penyakit jantung. Davino masih betah dengan posisinya sampai ia tersadar saat Veroniccha mengeliat dalam tidurnya. Astaga!  Apa yang baru ia lakukan?! Dengan segera, laki laki itu keluar dari mobilnya dan memutuskan menggendong Veroniccha menuju kamar yang berada di sebrang kamarnya. Setelahnya, ia kembali ke kamarnya. Sepertinya mandi malam ini tidak lah buruk.   *__*   Setelah mandi, Davino terlentang di kasur dan kembali memikirkan tentang kejadian tadi. Kejadian yang membuat otaknya melumpuh seketika dan jantungnya yang berdetak begitu hebat. Seperti ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Entah apa. Davino masih dengan pikirannya saat tiba-tiba sebuah suara memasuki telinganya. Suara.. Tangisan? Astaga. Apa itu Veroniccha? Ada apa dengannya menangis tengah malam seperti ini? Seperti hantu saja. Setelah memutuskan melihat apa yang terjadi, di Sinilah Davino. Melihat Veroniccha yang tengah menangis dalam tidurnya. Mimpi buruk kah ia? Dengan perlahan Davino menuju ke ranjang dan duduk di pinggirnya. Mengusap air mata gadis itu dengan lembut kemudian beranjak Ke kepalanya.  Entahlah, ia seperti tak suka melihat perempuan ini menangis. "Ma, Iccha rindu. Kenapa mama pergi?" Davino terdiam mendengar gadis itu mengigau. Kemudian ia memutuskan untuk tidur di sampingnya dan menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Sepertinya itu yang dibutuhkan Veroniccha saat ini. Tangisnya bahkan mereda dan kini ia membalas dekapan Davino.   *__*   Davino meregangkan kedua tangannya. Matanya perlahan terbuka saat sinar mentari menyentuhnya. Pandangannya kembali menatap sekeliling. Ini bukan kamarnya. Matanya melebar seketika saat menemukan seorang perempuan sedang berdiri di depan jendela dan memandang keluar. Veroniccha. Ya, dia ingat. Semalam Davino ketiduran di kamarnya. "Hey." Davino berjalan ke arahnya saat ia mendengar isak tangis perempuan itu. Veroniccha  masih bergeming dan terus terisak. Matanya terpejam. Rambut panjangnya tergerai dan berkibar terkena angin. Ada hal yang membuat Davino tak menyukai pagi ini. Air matanya yang terus mengalir di wajah perempuan itu. Veroniccha masih bergeming di posisinya. Dengan earphone di telinganya. Matanya masih terpejam. Belum menyadari Keberadaan Davino di sampingnya. Dengan perlahan, Davino mengusap air mata yang terjatuh pada pipi tembam perempuan itu. Membuat sang empunya terkejut dan membuka matanya kemudian menatap Davino sendu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD