Pencarian Bukti

1515 Words
Deraian air mata menemani langkah Nadine meninggalkan ruangan Reynor. Hatinya singguh terasa perih, lontaran kata-kata Reynor begitu menyakiti batinnya. "Gue wanita baik-baik! Gue akan buktiin, kalau lo yang udah maksa gue waktu ada di hotel. Gue akan bawa bukti itu ke hadapan lo secepatnya." Ucapnya seraya terus berjalan. Kedua tangannya menggenggam erat. Sepeninggalan Nadine, pikiran Reynor menjadi tidak karuan. "Apa iya, malam itu aku sendiri yang memaksa perempuan itu? Aku ingat betul, Selena yang ada bersamaku saat itu, bukan dia." Reynor bertanya-tanya. Reynor menyandarkan kepalanya di ujung kursi kerjanya, matanya terpejam, kepalanya terasa berputar-putar. "Bagaimana kalau malam itu memang aku benar-benar memaksanya? Bagaimana kalau dia membawa bukti itu. Astaga Reynor! Mau jadi apa hidupmu nanti, kalau harus mempertanggung jawabkan semuanya. Bagaimana dengan Selena? Tuhan!" Rancaunya. "Arrrrgghh!" Reynor membuka matanya, menarik kepalanya dari ujung kursi. "Rey, ayo berfikir! Putar otakmu! Kamu harus melakukan sesuatu. Kamu nggak bisa berpangku tangan dan pasrah kaya gini." Gumamnya sendiri. Tok Tok Tok "Ini Karim, Pak. Boleh saya masuk." Ketukan pintu dan suara Karim memecah suasana di ruang kerja Reynor. Karim adalah petugas keamanan yang tadi pagi sudah berperang dengan Nadine. "Iya masuk!" Ceklek! Karim membuka pintu, lalu menutupnya kembali. "Ada apa?" Tanya Reynor tanpa basa-basi. "Emm, ini Pak. Saya cuma mau menyampaikan ini ke Pak Bos!" Karim menyerahkan dompet yang ia bawa. "Dompet siapa ini?" Tanya Reynor. "Ini dompet dari perempuan tadi itu Pak bos. Awal kedatangannya tadi ingin menyerahkan dompet ini sama Pak bos. Setelah saya cek dalamnya, ini memang milik Pak Bos." Karim meletakkannya ke hadapan Reynor. "Dompetku?" Lirih Reynor ragu. Tangannya mulai meraih benda kotak berwarna hitam itu. Perlahan ia membukanya, memastikan bahwa memang benar itu dompetnya. Reynor menarik bibirnya, gigi atas dan bawah menyatu memberi bereaksi. 'Astaga, gara-gara kejadian itu, aku sampai lupa mengecek dompetku sendiri! Ini memang benar dompetku! Jangan-jangan dia juga bilang kalau dompet ini ia temukan di kamar hotel itu. Ah, sialan, bisa malu aku sama Karim!' "Ini memang dompetku. Ada pesan lain dari perempuan itu?" "Tidak ada Pak. Cuma menyerahkan dompet itu. Lain kali hati-hati ya Pak bos. Masak dompet sampai bisa jatuh di parkiran. Coba kalau yang menemukan orang yang tidak benar, bisa kacau urusannya." Tutur Karim polos. "Di parkiran? Maksudnya?" "Iya Pak bos. Kata Mbaknya tadi, dompet ini jatuh di parkiran supermarket." Reynor melepaskan nafasnya yang sudah memenuhi relung dadanya. Ada rasa lega di dalam hatinya. "Lah, Pak bos kenapa? Kok ekspresinya malah aneh kaya gitu?" Karim balik bertanya-tanya. "Owh, nggak ada. Ya sudah kamu lanjutin kerjanya. Terima kasih ya, sudah mengantarkan dompet ini." "Sama-sama Pak bos! Saya permisi!" Karimpun segera meninggalkan ruangan Reynor. "Ya Tuhan! Untung perempuan itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hampir mati gaya di depan Karim. Syukurlah, aku masih bisa menyelamatkan mukaku di depan anak buahku." *** Nadine sampai ke cafe tempatnya bekerja. Dengan wajah kusam ia berjalan masuk. "Din!" Seru seseorang dari arah belakang. Nadine menoleh, ada Vera di sana, berjalan ke arahnya. "Kemana aja sih, jam segini baru datang!" "Hehe, tadi ada urusan sebentar. Eh, by the way, makasih ya, kemarin lo udah bilang ke Ibu kalah gue nginep di rumah lo. Lo emang paling tahu, di saat situasi sulit kaya gitu bisa bantuin gue. Sahabat terbaik!" Ucap Nadine seraya mencubit pipi Vera gemas. "Makasih, makasih! Emang kemarin lo itu kemana sih? Pergi nggak pamit, handphone juga nggak aktif. Bikin orang tua khawatir aja!" "Ada deh, panjang ceritanya. Besok gue ceritain kalau momennya udah pas!" "Gaya lo, momen-momen segala." Cibir Vera. "Eh, lo tadi di cariin Pak Ronny tuh. Dari tadi udah muter-muter kaya gangsingan nyariin lo tapi nggak datang-datang!" "Pak Ronny? Tumben dia nyariin gue. Ada apa ya?" Nadine menggaruk kepalanya. Vera menoyor kepala Nadine. "Ada apa, ada apa! Eh peak! Lo lihat nggak, jam berapa sekarang!" Vera ngegas. Nadine mengangkat tangan kanannya, mengamati benda bulat yang menempel di pergelangan tangannya. "Astaga! Jam sepuluh!" Matanya hampir keluar menyadari sudah dua jam ia telat masuk jam kerja. Nadine menatap Vera. "Gue telat, Ver!" "Nggak cuma telat! Itu lo udah kelihatan banget nggak niat masuk kerja kayanya!" Celetuk Vera, menarik bibirnya, lalu menyedekapkan kedua tangan di d**a. Nadine menepuk jidatnya sendiri. "Mampus gue! Bakalan ngamuk nih Pak Ronny!" Ucapnya dengan wajah takut sekaligus khawatir. "Nggak cuma di amuk. Bakalan di cincang-cincang deh kayanya. Udah lo sana, ke ruangannya. Keburu ngamuknya nggak bisa ketolong lagi, hehe!" Ledek Vera. "Temenin Ver! Please!" Mata Nadine mengiba. "Yeee, ogah! Tar yang ada gue juga ikutan kena semprot ya! No no no! BIG NO!" Tolak Vera tegas. "Ya ampun, tega amat lo sama sahabat sendiri. Katanya kita kan sahabat till jannah. Suka duka di jalani bersama. Ayo dong, temenin! Ver!" Nadine menarik lengan Vera, memohon agar sahabatnya itu luluh. Vera membanting lengannya. "Ogah! Lo urus sendiri tuh Pak Ronny. Selamat menikmati, bye! Hehehe." Vera melenggang dengan santainya. "Ya ampun, sahabat macam apa sih lo! Vera! Ver! Veraaaaaa!" Vera tetap tak menggubris teriakan Nadine. Nadine menggaruk-garuk kepalanya. "Haduh, mampus gue! Mau bikin alasan apa lagi ya sama Pak Ronny, biar dia nggak ngamuk-ngamuk!" Dengan lemas, akhirnya Nadine menyeret kakinya menuju ke ruangan angker yang selama ini di takuti oleh para karyawan Inside Caffee. Ruangan Pak Ronny. "Ya Tuhan, lindungi aku Ya Tuhan!" Ucapnya sudah berada persis di depan pintu ruangan. Tiba-tiba ada satu karyawan cafe lainnya yang melintas. "Semangat Nadine!" Ledeknya sedikit tertawa. Nadine memutar kepalanya. "Monyong lo! Lihat teman lagi kesusahan malah di ketawain!" Umpatnya kesal. "NADINE MASUK!" Serunya dari dalam ruangan. Terdengar suara yang menggelegar menusuk gendang telinga Nadine. Pak Ronny sudah menyadari kedatangan Nadine. "Astaga, Pak Ronny tahu gue udah ada di sini. Pus mampus!" Lirihnya makin deg-degan. "I, iya Pak!" Nadine segera membuka handle pintu. Di dalam ruangan sudah di sambut oleh seorang laki-laki berbadan tambun dan berkumis lebat. Dari pancaran sorot mata dan ekspresi wajahnya, sepertinya dia sedang memendam kekesalan. Perlahan Nadine berjalan mendekati meja kerja Pak Ronny. "Nadine!" Bentaknya sembari duduk di kursi balik meja kebesarannya. Langkah kaki Nadine terhenti seketika. "Iya, Pak!" Sahut Nadine terbata. Ia tak berani menatap langsung wajah atasannya itu. "Sudah berapa kali kamu telat berangkat kerja?" Tegur Pak Ronny, Manager Inside Caffee. "Ma-maaf Pak. Tadi saya ada urusan mendadak. Jadinya saya telat dan tidak sempat mengabari sebelumnya. Saya janji besok tidak akan saya ulangi lagi." Ujarnya seraya terus menundukkan kepala. "Semua orang punya urusan, Nadine. Bukan cuma kamu saja. Ini sudah ke berapa kalinya kamu melakukan seperti ini? Saya memperkerjakan kamu disini itu untuk bekerja secara profesional, bukan seenaknya seperti ini. Ini cafe bukan punya nenek moyangmu. Kalau kamu sudah tidak mau bekerja disini lagi, bilang! Dengan senang hati saya akan mencari karyawan baru sebagai pengganti kamu. Di luar sana masih banyak orang yang ingin bekerja di sini." Nadine mengangkat kepalanya. "Aduh Pak. Jangan pecat saya. Saya janji ini yang terakhir kalinya saya begini. Sumpah Pak, saya berani jamin. Kalau saya bohong, Baru Bapak bisa pecat saya.Tolong Pak, beri saya kesempatan sekali lagi!" Nadine mengiba dengan menelakupkan kedua tangannya. Pak Ronny membuang nafasnya dengan kasar. "Ya sudah! Saya beri kamu satu kesempatan lagi, kalau sampai melanggar lagi, saya tidak akan mentolerirnya. Kamu otomatis keluar dari tempat ini. Paham!" "Iya Pak paham! Terima kasih banyak ya Pak. Saya janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekali lagi terima kasih Pak." Ucap Nadine terharu. "Ya sudah, sekarang kembali bekerja!" "Baik Pak. Saya undur diri." Nadine membalikkan tubuhnya, berjalan keluar dari ruangan sang manager. Di luar ruangan, ternyata sudah ada Vera yang menunggunya. Bersandar di samping pintu dengan wajah kekhawatiran. Vera khawatir jika Pak Ronny benar-benar marah dan mengeluarkan Nadine. "Din, gimana? Lo nggak di pecat kan?" Tanyanya dengan memegangi kedua lengan Nadine. Nadine tiba-tiba memeluk Vera. "Hiks hiks hiks!" Hanya isakan yang ia tunjukkan. "Din, lo aman kan? Cerita dong, jangan malah nangis!" "Hiks hiks hiks!" Nadine melepaskan pelukannya. "Gue, gue, gue nggak jadi di pecat! Wkwkwkwkkk!" Seketika tangisan kepura-puraan berubah menjadi gelak tawa. "Ahh, k*****t lo! Ngerjain gue ya! Sialan!" Umpat Vera dengan wajah kesal. "Jadi lo masih kerja disini kan? Alhamdulillah, lo harus bersyukur. Lain kali yang disiplin, biar si bos nggak ngamuk lagi." "Iya Ver. Walaupun ini kesempatan terakhir yang di berikan ke gue, gue akan buktiin kalau gue bisa lebih baik lagi." Ucap Nadine penuh kobaran semangat. "Nah, gitu dong! Kerja itu harus semangat! Kita ingat, di luar sana banyak sekali orang yang nggak bisa kerja. Nah kita, yang udah di kasih kesempatan bisa kerja, harus di gunakan dengan sebaik-baiknya. Ya nggak?" "Yoi cuiii!" Sahut Nadine. "Eh, nanti pulang kerja gue traktir makan di warung mpok Lela deh. Mau nggak?" "Traktir makan? Lah tumben bener! Lagi kesambet lo?" "Ya nggak lah. Lo kan sahabat terbaik gue, sahabat till jannah, hehehe. Jadi gue pengen berbagi aja sama lo. Ngerayain karena gue nggak jadi di pecat, hehehe." "Astaga, Nadine. s***p lo emang. Ngerayain tuh ulang tahun, anniversary, nikahan, atau apa gitu. Ini ngerayain karena nggak di pecat." Protes Vera. "Ya lo mau nggak? Kalau nggak mau ya udah gue makan sendiri aja. Malahan uang gue nggak berkurang!" "Hehehe, tapi mau juga sih, makan gratis ini kok!" "Denger gratisan aja lo semangat! Ya udah nanti selesai kerja kita langsung cus ya!" "Siap sistaaah!" Nadine dan Vera kembali ke pantry untuk melanjutkan pekerjaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD