Reynor tengah memijat keningnya. Kepalanya masih terus berputar-putar. Setelah kejadian pertemuannya tadi pagi dengan Nadine, hatinya serasa tidak ada ketenangan. Ada semacam penyesalan dalam batinnya, jika memang dia sudah berbuat hal itu, betapa bodohnya dia. Bagaimana dengan Selena? Dia akan semakin menjauh darinya.
Kring!
Gawai yang tergeletak di atas meja miliknya berdering. Terlihat nama seseorang muncul di layar.
"Papa?" Ucapnya terhenyak. Segera ia ambil benda pipih itu, mengusapnya ke kanan dengan ibu jari untuk menerima panggilan. "Iya Pa. Ada apa? Tumben telfon!"
'Ini Rey, Papa cuma mau ngasih tahu, kalau minggu ini kamu ada waktu, Papa mau ajak kamu sama Mama buat makan malam sama teman Papa. Gimana, kira-kira kamu bisanya kapan?'
Bibir Reynor sedikit terbuka. "Makan malam? Tumben Papa ngajakin aku. Biasanya juga perginya sama Mama doang." Sahutnya.
'Iya, Papa pengen sekali-kali ngajakin kamu juga. Nggak ada yang salah kan?'
"Hemmm, ya nggak ada, cuma aneh aja. Jangan-jangan ada maksud terselubung nih yang Papa rencanain." Seloroh Reynor menaruh curiga.
'Ya ampun Rey, sama Papanya sendiri kok berprasangka buruk kamu ini.'
"Ya kan Papa nggak pernah kaya gini sebelumnya, jadi ya aku patut curiga dong."
'Udah pokoknya kamu segera kabarin Papa kalau kamu sudah ada waktu ya. Soalnya pertemuan ini penting banget. Lebih cepat lebih baik!'
"Iya Pa. Udah kaya slogan mau nyalon presiden aja kata-katanya!"
'Ya, siapa tahu tahun 2024 Papa bisa ikut nyalonin jadi calon presiden, hahaha. Ya udah Rey, Papa tunggu segera ya kabarnya. See you.'
"Iya, Pa. See you too."
Sambungan telefon terputus.
Reunor memandangi layar gawainya yang sudah redup, lalu meletakkannya kembali ke meja. "Papa kok tumben banget sih, mau ngajak aku makan malam sama temannya. Nih batin gue tetap bilang, kalau Papa pasti punya rencana lain. Tapi apa?" Ucap Reynor, telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja, seraya menerka-nerka, apa yang sudah di rencanakan oleh sang Papa.
***
Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Jam kerja Nadine dan Vera sudah selesai. Mereka berdua tengah berada di depan pintu loker masing-masing untuk mengambil tas.
"Din, jadi traktir makan kan? Lo nggak lupa dong, sama janji manis lo tadi pagi?" Todong Vera sembari mengunci kembali pintu loker miliknya. Wajah terlihat sumringah karena sudah di janjikan akan mendapatkan gratisan makan dari sahabatnya.
"Hemm, giliran yang gratis-gratis aja ya, nyahutnya cepet sampai di ingat-ingat!" Celetuk Nadine seraya mengeluarkan tas gendongnya dari dalam loker, langsung memakainya.
"Hehehe, salah siapa nawarin gratisan. Hari gini dapat gratisan, masak nolak! Ya sayang lah! Kita itu harus pintar-pintar memanfaatkan sesuatu." Jelas Vera sok bijak.
"Owh gitu! Termasuk manfaatin teman sendiri. Begetoh?"
"Hehe, sekali-kali!" Jawabnya tanpa basa-basi.
"Parah lo, sumpah! Ya udah yok, berangkat! Gue juga udah laper. Pengen makan soto betawinya mpok Lela."
"Let's go!"
Kedua sahabat itupun segera meninggalkan cafe. Dengan menaiki sepeda motor matic milik Vera, keduanya melaju ke arah warung Mpok Lela yang terkenal dengan soto betawi yang rasanya mantul menurut banyak orang.
Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang, hati penumpangpun terlihat riang. Sepeda motor tiba-tiba terhenti di sebuah pertigaan karena lampu lalu lintas berwarna merah.
Mata Vera menyebar memandangi situasi lingkungan sekitar. Pemandangan berjuta kendaraan yang memadati jalan bukanlah hal baru baginya. Suasana jalanan Ibukota memang selalu seperti ini keadaannya. Netranya tanpa sengaja mendapati pemandangan yang mencurigakan. Vera melihat penampakan seseorang yang tengah berada di dalam mobil, persis di depan sepeda motornya.
Matanya ia buka lebar-lebar untuk memastikan. "Din, itu bukannya Christo ya?" Telunjuk Vera pada sebuah mobil sedan di depannya.
Nadine bereaksi. "Christo? Mana Ver?" Nadine menuju arah yang di tunjuk Vera.
Lampu lalu lintas sudah beralih menjadi hijau, saatnya melanjutkan perjalanannya. Seraya terus mengikuti mobil Chrysto dari belakang.
"Itu di depan, mobil sedan hitam! Tapi, tapi itu kok kaya sama seseorang sih. Cewek Din!"
Nadine melihat dengan serius kedua pasang orang di dalam mobil yang terlihat dari kaca belakang mobil. Netranya lalu turun ke bawah untuk melihat plat nomor mobil yang ia hafal.
"B 3348 CH!" Gumamnya. Nadine membuang nafasnya. "Iya, itu memang Chrysto, gue hafal sama plat mobilnya." Ujarnya tak bertenaga.
"Itu Chrysto sama cewek lain kok lo diem aja. Turun terus lo uwel-uwel itu cewek. Beraninya deketin pacar orang!" Vera terlihat emosi.
"Nggak perlu, Ver. Hubungan gue sama Chrysto udah berakhir. Kemarin malam dia mutusin gue. Dan dia memilih perempuan lain." Terang Nadine dengan mata berkaca-kaca.
Vera menepikan sepeda motornya ke sisi jalan. Lalu turun dan melepas helmnya.
"Apa? Christo mutusin lo? Lo lagi nggak bercanda kan?" Ujar Vera makin emosi.
Nadine menggeleng. Ia masih berada di atas jok sepeda motor.
"Gila ya tuh orang? Setelah apa yang udah lo kasih ke dia? Dia ninggalin lo gitu aja? Ah benar-benar kurang ajar."
"Alasannya sih nggak masuk akal menurutku, cuma gara-gara gue nggak mau di ajak liburan bareng aja, jadi gue diputusin!"
"What the f**k! Alasan receh kaya gitu bisa bikin dia mutusin lo, Din?"
"Iya!"
"Tapi lo belum di apa-apain kan sama dia?" Telisik Vera. Kali ini dia menatap Nadine dengan tatapan aneh.
"Ya belum lah! Emang gue cewek apaan? Tapi!"
"Tapi apa?"
"Udah di grepe-grepe dikit sih. Tapi belum sampai kaya gitu kok. Soalnya gue nggak mau. Gue pengen ngelakuin itu pas kita udah nikah aja. Makanya dia marah sama gue, terus mutusin gue. Itu juga jadi salah satu penyebabnya."
Vera menepok jidatnya sendiri. "Astaga! Jadi cuma gara-gara dia minta itu sama lo, terus lo nya nolak, jadi di putusin?"
"Hu um! Jadi waktu itu, gue lagi main ke apartment nya Christo."
Flash back
"Ayolah sayang, masak cuma liburan aja nggak mau. Kita kan belum pernah liburan bareng. Apalagi ke Jepang, ke luar negeri lho, masak kamu nggak pengen sih! Come on!" Ujar Christo berusaha merayu Nadine. Chrysto tengah berdiri di sisi jendela, menatap pemandangan berupa gedung-gedung tinggi di luar sana, membelakangi Nadine.
Sedangkan Nadine tengah duduk di sofa dengan wajah sendu. Sebenarnya ia tak enak, harus terus menolak keinginan Chrysto yang mengajaknya untuk liburan ke Jepang.
"Bukannya nggak pengen sayang, tapi Ayah sama Ibu nggak kasih izin. Aku nggak mungkin kan, main kabur gitu aja." Jelas Nadine, berusaha membuat Chrysto mengerti.
Chrysto memutar kepalanya, menatap Nadine. "Lagian, Ayah sama Ibu kamu kok gitu sih. Kampungan banget pola pikirnya. Padahal jalan-jalan ke luar negeri itu sekarang sudah jadi sesuatu yang umum. Banyak pasangan lain liburan sama pacar-pacar mereka. Fine, fine aja kan?" Chrysto terus memaksa.
"Ya kan namanya orang tua pasti khawatir lah kalau anaknya pergi jauh, apalagi cuma sama pacarnya. Mereka pasti akan mikir yang aneh-aneh. Dari pada jalan-jalan ke luar negeri, mending kamu ketemu sama Ayah Ibu aja dulu, kamu kan belum pernah ketemu sama mereka. Aku sudah banyak cerita tentang kamu ke Ibu. Dan Ibu pengen juga ketemu sama kamu. Itu juga sekaligus bukti kalau kamu memang serius sama aku, sayang. Ya, mau ya, datang ke rumah?"
Christo memasang wajah bete. Usahanya untuk mengajak Nadine jalan-jalan ke luar negeri di tolaknya lagi. Ini merupakan ajakan Christo pada Nadine untuk yang ke sekian kalinya, dan selalu berakhir dengan penolakan. Chrysto berjalan mendekati Nadine, kini ia duduk persis di samping Nadine.
"Padahal aku ngajakin kamu ini karena aku sayang sama kamu, aku pengen nyenengin kamu, pacarku satu-satunya dan wanita yang sangat aku cintai. Tapi, kamu selalu menolaknya."
Nadine membisu, pandangannya menunduk. Suasana hening seketika. Tiba-tiba tangan Christo meraih jemari Nadine yang
"Sayang, aku tahu kamu sangat sayang sama aku, tapi aku belum bisa kalau harus menuruti permintaanmu ini. Aku mau melakukannya saat kita sudah menikah nanti, di malam pertama kita. Aku ingin memberikan sesuatu yang spesial untuk kamu, yang akan jadi suamiku." Nadine mengangkat kepalanya, memandangi Chrysto dengan penuh cinta, berharap kekasihnya itu akan mengerti.
Chrysto balas menata Nadine, keduanya saling menatap, mulai larut dalam suasana. Christo perlahan meraih jemari Nadine yang terpaku di atas paha.
"Sayang, kamu tahu kan, betapa sayangnya aku sama kamu? Kamu percaya kan kalau aku adalah laki-laki yang bertanggung jawab?"
Nadine mengangguk.
"It's OK, kalau kamu belum mau aku ajak liburan bareng, tapi kali ini aku pengen minta sesuatu dari kamu."
"Minta sesuatu? Apa sayang?"
Chrysto menatap dalam ke arah Nadine, tangan kanannya kini sudah membelai pipi Nadine. Perlahan, wajah Chrysto mendekat, semakin dekat dan, melumat bibir ranum Nadine. France kiss memang sudah biasa mereka lakukan, tidak ada penolakan sedikitpun dari Nadine. Saling menggigit dan bertukar saliva, membuat keduanya makin larut dengan keadaan. Tiba-tiba Nadine merasakan ada sesuatu yang menempel di dadanya, semakin lama semakin terasa remasan di sana. Tangan Chrysto sudah menari-nari di d**a Nadine.
Tanpa ia sadari, Nadine mengikuti alur yang Chrysto buat. Tangan Chrysto mulai berani melakukan hal yang lebih panas lagi, kini tangannya berusaha menyingkap kaos yang di kenakan Nadine.
Sadar ada hal yang tak biasa Chrysto lakukan, mata Nadine terbuka. Dengan cepat ia melepaskan pagutan bibirnya dan menarik tubuhnya ke belakang.
"Chrys, please. Jangan kaya gini. Aku belum siap."
Libido yang sudah terlanjur tinggi, tiba-tiba harus di patahkan di tengah jalan, membuat Chrysto kecewa dan kesal. Jelas sekali terpancar dari sorot matanya yang begitu tajam kepada Nadine.
"Sayang, aku akan tanggung jawab dengan apa yang akan terjadi nanti. Kamu percaya aku kan sayang?" Chrysto masih berusaha meyakinkan Nadine.
"Aku nggak bisa!" Sahut Nadine dengan mata berkaca-kaca.
Terlihat Chrysto membuang nafasnya dengan kasar. "Ya udah, nggak apa-apa. Sekarang mending aku antar kamu pulang aja. Aku perlu sendiri dulu."
"Kamu marah, Chrys? Sayang?"
"Nggak! Aku antar kamu pulang sekarang ya."
"Begitu Ver, ceritanya. Gue salah ya, tetap mempertahankan kesucian gue?"
"Sinting ya tuh orang. Ceweknya jaga aset berharganya gini malah di putusin. Cowok zaman sekarang memang aneh. Ceweknya jagain sesuatu yang berharga kok malah di putusin!"
"Udah lah, Ver. Anggap aja gue emang belum berjodoh sama dia. Mau gimana lagi."
"Iya juga Din. Tapi harusnya lo bersyukur udah bisa lepas dari Chrysto, itu artinya dia bukan laki-laki yang baik buat lo. Dia mau ngerusak lo. Lo pantas mendapatkan yang lebih baik dari dia."
"Aamiin! Udah ah, lanjut jalan yok. Kapan sampainya kalau kita malah nongkrong di sini."
"Hehehe iya ya. OK lah, kita tancap gas lagi." Vera kembali ke posisinya semula, memegang kendali atas sepeda motor matic warna pink kesayangannya.