Pagi ini Nadine bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Sudah enam bulan terakhir ini, Nadine bekerja di sebuah cafe. Tak banyak kesempatan baginya yang hanya bermodalkan lulusan SMA untuk mendapatkan pekerjaan lainnya. Di terima bekerja di cafe saja rasanya sudah sangat bersyukur.
Jujur ada rasa khawatir, jikalau sesampainya di cafe nanti, ia bakal kena omel atasannya, karena harusnya semalam dia berangkat kerja, namun karena suatu hal yang tidak bisa ia duga, akhirnya membolos tanpa memberi kabar pada pihak cafe.
"Din, lagi sibuk nggak?" Sapa Rossa seraya masuk ke kamar Nadine yang pintunya tidak terkunci.
Nadine menoleh. "Nggak Bu. Ini lagi siap-siap mau berangkat kerja." Sahut Nadine lesu. Nadine sudah rapi dengan seragam kerjanya, namun ia masih duduk di atas tempat tidur dengan sudah menggendong tas ranselnya dan memegang ponselnya.
Rossa mendekati Nadine, menatap wajah putrinya yang terlihat tidak seperti biasanya. Rossa tahu, putrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu kenapa nak? Kok cemberut? Ada masalah?" Tanya Rossa seraya duduk di samping putrinya.
Nadine tak mungkin menceritakan kejadian malam tadi, ia tak ingin membuat Ibunya shock dan tentunya akan malu jika sampai berita ini di dengar oleh para tetangga.
Nadine memutar kepalanya sembilan puluh derajat, menatap Ibunya. "Emmm, nggak bu. Aku lagi malas aja mau berangkat kerja."
"Kenapa? Ada masalah dengan teman di cafe? Cerita sama Ibu!"
"Nggak ada bu. Aku cuma malas aja. Rasanya mataku masih ingin mengajakku tidur sedikit lebih lama lagi." Ucap Nadine berbohong.
Rossa mengusap punggung Nadine. "Kamu lelah ya nak. Setiap hari harus bekerja dengan jam yang tidak menentu. Kadang berangkat pagi, kadang siang, bahkan shif malam juga sering kamu lakoni. Sabar ya, nak. Ini lah hidup yang harus kita jalani, karena kamu terlahir bukan dari kelurga yang kaya raya."
"Ibu ini ngomong apa sih! Terlahir di tengah-tengah Ibu dan Ayah aja sudah membuatku bahagia. Dengan kasih sayang kalian yang begitu besar untuk Nadine, itu sudah lebih dari cukup. Nadine bersyukur dengan semua itu bu." Nadine bersandar ke d**a Ibunya.
"Terima kasih ya nak, atas pengertian kamu selama ini. Ibu doakan kelak kamu bisa menjadi orang yang sukses."
"Aamiin!" Timpal Nadine keras.
Nadine menarik kepalanya. "Ya udah, Nadine berangkat kerja dulu ya bu. Doakan semoga hari ini Nadine bisa melewati hari Nadine dengan baik."
"Pasti nak!"
Nadine meraih punggung tangan ibunya, menciumnya dengan hangat. "Assalamualaikum!"
"Waalaaikumsalam! Hati-hati ya!"
"Iya ibuku sayang."
Nadinepun berlalu. Sementara Rossa masih berada di dalam kamar putrinya. Saat hendak beranjak, tanpa sengaja, netranya melihat sesuatu di dalam tempat sampah yang ada di dekat pintu masuk. Rossa memungutnya. Terlihat sebuah kertas tebal dengan gambar seseorang kusam karena remasan.
"Foto siapa ini? Apa ini Christo, laki-laki yang sering Nadine ceritakan? Tapi kenapa fotonya ada di tempat sampah?"
***
Pagi ini Nadine bertekad ingin menyambangi alamat perusahaan yang ada di kartu nama. Ia sengaja berangkat satu jam lebih awal dari jam kerja biasanya. Dengan ojek online, Nadine meluncur ke alamat perusahaan Reynor.
Sesampainya ke alamat perusahaan yang tertera di kartu nama, Nadine celingukan. Ia sama sekali belum pernah masuk ke sebuah kantor perusahaan sebesar ini.
Nadine berjalan ke tempat pos petugas keamanan.
"Permisi Pak, saya mau tanya." Ucapnya pada salah seorang petugas keamanan yang tengah berjaga di pos.
Petugas Keamanan beranjak, lalu keluar menemui nadine. "Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Sahutnya.
Nadine menunjukkan kartu nama yang sudah ia pegang dari tadi. "Apa benar nama orang yang ada di kartu nama ini bekerja disini?" Tanyanya ragu.
Mata petugaspun terbelalak, lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenapa pak? Ada yang salah?" Tegur Nadine.
"Mbak ini gimana sih? Masak tidak tahu kalau pak Reynor itu direktur utama disini! Pakai nanya segala! Iya jelas kerja di sini lah. Mbak ada urusan apa sama Pak Reynor?"
"Pak Reynor? Jadi benar dia kerja disini? Eh, maksudnya dia seorang direktur di kantor ini?"
"Betul Mbak! Nih gedung yang tinggi ini, itu punyanya Pak bos Reynor!" Terangnya.
"Eee, saya mau, eeee, mau, ini, mau balikin dompetnya." Nadine segera mengambil dompet yang tersimpan dalam tasnya. "Ini pak dompetnya!"
Petugas keamanan mengambil dompet warna hitam dari tangan Nadine. "Owh dompet Pak Bos ada di mbaknya ya? Tapi kok bisa? Memangnya mbak menemukannya dimana?" Telisik petugas keamanan, lalu membukanya dan memeriksanya dengan teliti.
"Menemukannya di, di, di parkiran supermarket. Iya pak disana. Jadi, tadi waktu saya mau pulang, pas di parkiran nemu dompet ini."
"Kalau dari isi di dalamnya sih, ini emang dompetnya Pak bos. Baik mbak. Sebentar ya, saya telfonin sekretarisnya dulu. Pak bos sedang sibuk atau tidak. Dan mau menerima tamu atau tidak."
"Iya Pak. Saya tunggu!"
Petugas keamanan kembali masuk ke ruangannya. Meraih gagang telefon dan menekan angka-angka agar bisa segera tersambung.
Nadine bisa sedikit bernafas lega, paling tidak dia berhasil menemukan keberadaan laki-laki yang sudah merenggut mahkotanya malam itu.
Petugas keamanan meletakkan gagang telefon dan keluar menyambangi Nadine.
"Gimana Pak? Saya bisa bertemu dengan Pak Reynor sekarang?" Tanya Nadine penuh harap.
"Emm, sebelumnya saya minta maaf ya mbak. Pak bos sedang sibuk, dan tidak mau di ganggu. Sebentar lagi akan ada meeting penting dengan investor luar negeri. Jadi lebih baik dompetnya saya bawa saja, nanti akan saya sampaikan pada pak bos." Terang petugas keamanan dengan ramah.
"Aduh, pak. Tapi saya harus bertemu langsung dengan Pak Reynor. Ada hal lain yang harus saya sampaikan, dan tidak bisa di wakilkan. Tolong lah pak, please!" Nadine mengiba dengan menelakupkan kedua telapak tangannya.
"Waduh! Sekali lagi maaf Mba, tidak bisa! Mending sekarang Mbak pulang aja ya!"
"Tapi pak?"
"Maaf Mbak, tidak bisa! Mbak pulang aja ya."
Nadine kesal, langkahnya untuk bertemu dengan Reynor harus terhenti. Tapi kegigihannya untuk menemukan Reynor lantas tidak surut lantaran gertakan dari petugas keamanan.
Nadine menatap dengan serius ke wajah laki-laki yang berbadan tinggi besar di depannya itu.
'Nggak mungkin juga gue bisa ngelawan nih satpam. Kalau gue terus memaksa, yang ada gue malah diusir paksa sama dia. Gue harus cari celahnya!' Batin Nadine seraya terus memutar otak. Hari ini juga dia harus menemukan Reynor.
"Ya sudah lah, Pak. Saya pulang aja. Tapi beneran ya, itu dompetnya di kasih ke bosnya. Awas kalau sampai nggak di kasih." Gertak Nadine pura-pura.
"Tenang saja Mbak. Pasti saya sampaikan! Sudah sekarang Mbak pulang!"
"Iya, iya. Ini juga baru mau jalan!"
Nadine membalikkan tubuhnya. Satu langkah, dua langkah, dan_
Wuuussssss! Dengan cepat Nadine memutar arah dan nyelonong lari masuk ke dalam kantor. Petugas keamanan sontak berteriak mencoba untuk menghentikan Nadine yang sudah jauh berlari.
"Woy, Mbak! Berhenti!" Teriak petugas keamanan.
Aksi kejar-kejaranpun tidak terelakkan. Nadine terus berlari entah kemana kakinya melangkah, sedangkan di belakang petugas keamanan terus mengejarnya. Aksi inipun tak luput dari pusat perhatian orang-orang yang ada di dalam kantor.
Brukkk!
"Awww!" Nadine tersungkur ke lantai. Nadine menabrak sesuatu.
"Shitt! Lain kali jalannya lihat-lihat! Main nabrak orang sembarangan! Jadi kusut jas gue!" Tatapnya pada Nadine yang masih ada di bawah.
"Maaf Pak, saya nggak sengaja." Sahut Nadine, masih menundukkan kepalanya.
Perlahan Nadine mulai menaikkan pandangannya. Dari bawah, mulai dari sepatu pantofel hitam yamg dikenakannya, naik ke celana panjang berwarna hitam klimis, naik ke jas yang ia gunakan, dan, Nadine melihat wajah seseorang yang ia tabrak.
"Lo?" Seru keduanya bersamaan.
Orang yang di tabrak oleh Nadine ternyata adalah Reynor.
Wajah Reynor seketika merah padam. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Nadine kembali. "Eh, lo ngapain kesini. Dari mana lo tahu kantor gue? Pergi sekarang nggak?Atau gue panggil satpam buat paksa bawa lo pergi!" Gertak Reynor
Nadine menarik bibirnya, senyum cerah terlihat di sana. "Akhirnya kita ketemu juga!" Nadinepun bangkit.
"Urusan kita sudah selesai! Pergi lo! Gue masih banyak urusan!" Ucap Reynor tegas. Telunjuknya mengarah ke pintu keluar.
"Udah gue bilang, gue minta tanggung jawab dari lo! Lo udah ngerampas mimpi-mimpi gue, lo udah hancurin semuanya. Setidaknya rasa perih ini akan terobati dengan tanggung jawab yang seharusnya memang lo lakuin." Ucap Nadine tak gentar.
Reynor dan Nadine saling menatap. Tiba-tiba petugas keamanan datang.
"Pak bos, maaf Pak bos. Mbaknya main nerobos aja! Tadi sudah saya suruh pulang. Tapi malah lari kesini. Huh huh huh!" Tutur petugas keamanan dengan nafas yang naik turun.
Reynor memindahkan pandangannya, menatap petugas keamanan yang terlihat kelelahan karena mengejar Nadine. Netranya kembali menyorot Nadine.
"Pak, bawa dia keluar dari sini!" Perintahnya pada petugas keamanan.
"Owh, berani lo ngusir dari sini, gue bongkar kejadian malam itu!" Nadine mulai berani mengancam. Matanya menyorot tajam ke arah Reynor yang masih mematung.
"Lo ngancam gue? Coba aja lo berani!" Reynor menantang.
"Owh, lo nantangin! OK, gue ladeni!" Nadine tak gentar.
"Pak, bawa perempuan ini keluar! Saya sibuk, nggak ada waktu buat ngurusin orang macam dia." Ujar Reynor, memberi perintah pada petugas keamanan.
"Baik Pak bos! Siap laksanakan!"
Petugas keamananpun mulai berjalan kembali, lebih dekat dan semakin dekat dengan posisi berdirinya Nadine.
"Eh, STOP!" Teriak Nadine pada petugas keamanan. Sontak semua karyawan yang melihatpun fokus melihat kejadian yang ada di depan mereka.
Kaki petugas keamanan reflek berhenti, menatap ke arah Reynor dengan berjuta pertanyaan.
"OK, lo nantangin gue kan. Akan gue buktiin." Ucap Nadine tanpa melihat Reynor.
"Diam lo! Apaan sih. Nggak usah cari gara-gara dari pada gue main kasar nantinya." Reynor kukuh mengusir Nadine.
"Ehem!" Nadine menarik nafasnya dalam-dalam, lalu membusungkan dadanya. "Jadi ya asal kalian semua tahu, kemarin malam, gue sama bos kalian ini bertemu di salah satu hotel!" Ujar Nadine tanpa basa-basi.
Mendengar ucapan Nadine yang tidak main-main, membuat Reynor panik.
"Gue sama bos kalian ini, udah, hempp!" Tiba-tiba mulut Nadine susah untuk di buka. Reynor dengan cepat menutupnya dengan tangan kanannya.
"Diam lo. Udah nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Kita bicarakan di ruangan gue." Bisik Reynor ke telinga Nadine.
"Pak, kamu boleh pergi dari sini. Biar perempuan ini aku yang urus!" Perintahnya pada petugas keamanan.
"Tapi pak?"
"Sudah, biar aku sendiri yang mengatasinya. Kamu pergilah! Semuanya bubar! Tidak ada yang perlu kalian lihat di sini! Bubar!" Sentak Reynor dengan nada tinggi.
Semua karyawan yang berada di tempat itu segera kabur. Sementara Reynor menarik lengan Nadine dan menyeretnya masuk ke dalam ruangannya.
'Akhirnya, lo nyerah juga! Makanya jangan asal ngeremehin perempuan!' Batin Nadine puas.
Sesampainya di ruangan Reynor, Nadine masih membisu, namun dalam hatinya menahan amarah yang sebenarnya ingin ia luapkan. Namun ia sadar, dengan amarah tidak akan menyelesaikan semuanya.
Reynor duduk di bangku tamu. Sementara Nadine masih berdiri. Mata mereka saling menatap, tajam.
Reynor mulai memperhatikan Nadine dari ujung kaki, dandanan dengan celana jeans dipadukan dengan kaos berkerah warna merah. Di d**a kanannya jelas terlihat ada tulisan Inside Cafe.
"Duduk!" Seru Reynor sengak.
Nadine membuang nafasnya, lalu berjalan mendekati bangku. Nadine duduk.
"Lo kerja di Inside Cafe?"
"Iya. Tapi kedatangan gue kesini bukan untuk membahas dimana gue kerja. Tujuan gue masih sama. Gue minta tanggung jawab dari lo! Atas apa yang sudah lo lakukan ke gue, malam itu!"
"Ck!" Desis Reynor. "Udah berapa kali gue bilang. Gue nggak bisa. Gue punya pacar, gue akan nikahin dia, bukan lo!"
"Lo punya pacar? Tapi kenapa lo ngelakuin itu ke gue. Lo tahu, gue tidak pernah melakukan hal bodoh seperti malam itu dengan orang lain. Gue ini masih perawan. Dan gue mau, laki-laki yang menjadi suami gue itulah orang yang merenggut kesucian gue."
"Astaga! Hari gini lo ngomongin masalah keperawanan? Bullshit!" Sanggah Reynor.
"Buat lo bullshit, tapi buat gue itu penting! SANGAT PENTING! Dan asal lo tahu, dengan apa yang udah lo lakuin ke gue malam itu, semua harapan dan mimpi gue hancur. Gue batal menikah dengan orang yang gue cintai. Gue nggak mungkin datang pada dia dengan mengatakan jika gue udah nggak perawan! Mau di taruh dimana harga diri gue sebagai perempuan. Maka dari itu, gue tegasin sama lo sekali lagi. Tolong, tunjukkan tanggung jawab lo sebagai laki-laki." Gertak Nadine.
"Hahaha! Hei, non! Udah deh nggak usah drama! Gue itu tahu, perempuan model kaya lo itu banyak. Dan mereka cuma ingin satu, uang!"
Nadine sontak berdiri. Netranya lagi-lagi menatap tajam ke arah Reynor. Kali ini ia terlihat sangat marah.
"Tarik kata-kata lo barusan! Gue bukan perempuan murahan seperti seperti yang otak lo pikirkan! Gue perempuan baik-baik! Bahkan orang tua gue mendidik gue dengan sangat baik. Gue akan mencari bukti dan membawanya ke sini, ke hadapan mata lo langsung. Biar mata lo yang buta ini, bisa melihatnya langsung!"
Tanpa menunggu sahutan Reynor, Nadine berjalan hendak meninggalkan ruangan.
"Hei, mau kemana? Aku belum selesai bicara!" Celetuk Reynor.
Nadine berhenti, lalu memutar kepalanya. "Kerja! Karena perempuan seperti gue nggak butuh belas kasihan dari orang lain apalagi sampai harus meminta-minta atau memeras untuk mendapatkan penghidupan!" Nadine membalikkan kepalanya, lalu melangkah melewati pintu ruangan Reynor.
Reynor tertegun mendengar ucapan Nadine, entah, seperti ada sesuatu yang menancap di hatinya, membuatnya hilang kata-kata.