Mengejar Keadilan

1416 Words
"Kamu setuju juga kan, Ros?" Ucap Ramon tak sabar. Terlihat Rossa menarik nafas dalam-dalam. "Aku sih tergantung anaknya saja, Mon. Kalaupun nanti Nadine bisa berjodoh dengan anakmu, pasti aku juga akan sangat senang. Tapi yang aku tahu, Nadine itu sudah punya pacar, dan kemarin-kemarin dia bilang kalau pacarnya mau datang kesini untuk ketemu dengan kita. Jadi aku nggak bisa ngasih statement apapun saat ini." "Ya, walaupun sampai saat ini, laki-laki yang di maksud oleh Nadine nyatanya belum juga menampakkan batang hidungnya." Sahut Wilantara dengan raut kecewa. "Aku berharap sekali impianku untuk mempersatukan anak-anak kita ini bisa terwujud. Aku sadar, aku juga tidak bisa memaksakan kehendakku, tapi kalau kita coba dulu, tidak ada yang salah kan? Kita pertemukan dulu anak-anak, setelah itu terserah dengan keputusan mereka masing-masing. Bagaimana?" Usul Ramon. Rossa dan Wilan saling menatap, berkecamuk dengan pikiran mereka masing-masing. Suasana berubah menjadi hening. Belum sempat mendengar apa yang akan di lontarkan oleh sahabatnya, Ramon memecah keheningan dengan bersuara kembali. "Haduh, ini kue kacangnya enak sepertinya ya. Aku makan ya Ros! Hehehe!" Celetuk Ramon seraya mengambil kue kacang yang ada di dalam toples. "Owh, makanlah, Mon. Aku bawa kesini juga kan untuk di makan. Jangan lupa tuh minumnya juga di icip ya, keburu dingin." Timpal Rossa, yang berusaha bersikap netral. Ketiganya terlibat obrolan kembali. Sekian tahun tak pernah bersua, tentu banyak cerita yang tidak di ketahui oleh mereka masing-masing. Nadine kembali pulang ke rumahnya dengan menggunakan ojek online. Tubuhnya lemas mengingat kembali kejadian tadi malam saat harga dirinya sebagai seorang wanita direnggut paksa oleh seorang laki-laki yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. Mati-matian selama empat tahun ia mempertahankan kehormatan yang akan ia persembahkan untuk Christo, justru malah orang lain yang mendapatkannya. Nadine sampai di rumahnya, netranya sedikit terhenyak, ketika melihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumahnya. "Siapa tamu Ayah yang punya mobil feraro mewah kaya gini? Aku baru pertama kali melihatnya." Lirih Nadine, seraya berjalan pelan menuju pintu utama. "Assalamualaikum!" Ucapnya lalu melangkah melewati pintu. "Waalaikumsalam! Nah ini anaknya baru pulang. Sini nak, ada Om Ramon berkunjung ke rumah kita!" Nadine menyalami Ramon dengan sopan. Lalu duduk di bangku kosong dekat dengan sang Bunda. "Wah, sudah besar kamu ya Din! Masih ingat nggak, sama om?" Nadine menatap Ibunya beberapa detik, lalu beralih ke Ayahnya. "Emmmm." Nadine menggelengkan kepalanya. "Hehe, maaf nggak ingat om! Hehe." "Mungkin karena sudah terlalu lama nggak ketemu, Mon. Terakhir ketemu kan waktu kamu pamitan mau ke Jerman itu, waktu Nadine masih umur dua tahunan." "Owh iya ya. Aku ingat. Aku datang kesini untuk berpamitan pada kalian. Nadine masih sangat kecil, dan sekarang sudah sedewasa ini. Cantik pula, manis juga kaya Ibunya. Hehehe!" "Halah, gaya gombalanmu masih aja sama ya, seperti waktu muda dulu. Tapi ingat ya, disini ada suaminya, jangan macam-macam! Hahaha!" Seloroh Wilan diiringi gelak tertawa. Nadine tersenyum dengan bibir rapat, wajahnya menunduk, kejadian semalam terus terngiang di kepalanya. "Jadi semalam kamu nginep di rumahnya Vera ya, Din?" Tiba-tiba Ibu bertanya. "Nginep di rumah Vera?" Nadine menekuk dahinya. "Iya. Ibu kan semalam telfon ke handphone kamu, tapi nggak aktif. Terus telfon ke nomernya Vera, katanya kamu ada disana. Ya udah, lega Ibu." "Owh iya Bu. Handphonenya mati, Nadine lupa ngisi batrenya. Soalnya keasyikan ngobrol sama Vera juga. Maaf udah bikin Ibu khawatir." Sahutnya sambil menggaruk-garuk hidung. "Lain kali jangan teledor. Bawa power bank kemana-mana, biar kalau handphonenya mati bisa langsung di isi batrenya. Jangan bikin Ayah sama Ibu khawatir ya?" Timpal Wilan, sang Ayah. "Hehe, iya Yah. Maaf sekali lagi." Ujar Nadine dengan menggigit bibir bawahnya. Rasanya tak mungkin ia harus berterus terang pada kedua orang tuanya dengan kejadian semalam yang dia alami. 'Vera, makasih lo udah jadi penyelamat gue.' Batin Nadine lega. "Emm, Bu, Nadine boleh masuk ke dalam nggak? Mau bebersih badan dulu, soalnya tadi belum sempat mandi." "Ya sudah sana mandi terus nanti kita sarapan bareng-bareng juga sama om Ramon ya." "Iya Bu." Nadine menatap Ramon. "Om, Nadine izin masuk dulu ya." "Iya Din." Nadine berdiri sambil menganggukkan kepalanya. "Permisi." 'Aku yakin, Reynor pasti akan bisa menerima Nadine. Nadine kelihatan sekali anak yang baik dan tidak neko-neko. Ini akan bisa mengobati hatinya yang saat ini tengah terluka karena baru saja di tinggal oleh Selena.' Batin Ramon seraya menatap kepergian Nadine. Nadine segera masuk ke dalam kamarnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Raut wajahnya terlihat lusuh, ia dalam kebingungan. "Arrrghh!" Kedua tangan mengusap kasar wajahnya. Dia sendiri bingung ingin berkata apa lagi. Ia membuka tas selempang yang masih menempel di tubuhnya. Ia rogoh benda pipih yang sedari semalam tak ia sentuh sama sekali, yang ternyata memang mati. Ia letakkan benda itu di atas meja, tanpa berniat untuk mengisi dayanya terlebih dahulu. Nadine beralih mengambil sebuah dompet yang ia temukan di dalam kamar hotel, yang ia yakini itu adalah dompet milik laki-laki yang semalam telah berbuat kurang ajar terhadapnya. "Besok gue akan temuin lo!" Ucapnya seraya mengeratkan giginya. Nadine memasukkan dompet itu kembali ke dalam tas, lalu ia menuju ke kamar mandi, membasahi seluruh tubuhnya di bawah aliran air shower. Lagi-lagi bayangan semalam teringat jelas di kepalanya. Cairan di matanya mulai mengalir kembali, hatinya hancur. Ia merasa dirinya sekarang sudah tidak suci lagi. "Christo pasti kecewa dengan keadaanku saat ini. Dia pasti sudah nggak sudi lagi menerimaku. Aku sudah kotor! Hiks!" Ucapnya sesenggukan. "Ini semua gara-gara laki-laki itu. Laki-laki b******k penjahat kelamin. Enak aja dia lepas tangan begitu saja, nggak mau tanggung jawab. Dia pikir aku ini perempuan apa. Awas aja, aku akan tetap mengejarmu sampai ke ujung dunia sekalipun. Aku tidak perduli siapa kamu, apa jabatanmu. Kamu harus tetap bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu perbuat." Nadine mengepalkan kedua tangannya. *** Sesampainya di apartment, Reynor segera menuju ke kamar mandi. Satu per satu ia lucuti pakaian yang menempel di badannya. Hingga netranya terhenti pada kemeja putihnya. Ada noda merah menempel disana. "Apa ini? Apa semalam ada minuman yang tumpah ke kemejaku?" Lirih Reynor. Ia berfikir keras, lalu mencoba mengingat kembali rentetan kejadian semalam yang telah menimpa dirinya. "Apa ini darahku sewaktu di gebukin scurity semalam?" Ucapnya masih bertanya-tanya. Reynor segera menuju cermin di yang ada di dalam kamar mandi. Memperhatikan setiap jengkal wajahnya, lalu beralih ke bagian-bagian tubuhnya yang lain. "Tapi nggak ada bekas luka, cuma memar-memar karena pukulan. Lalu ini darah siapa?" Wajahnya memendam banyak pertanyaan. Tiba-tiba wajah Nadine terlintas di benaknya. Dia ingat ketika Nadine mengatakan jika, dia belum pernah melakukan hubungan layaknya tadi malam dengan orang lain. Reflek, mulutnya membuka lebar. "Apa jangan-jangan ini darah?" Ucapannya terhenti. Pikirannya berkecamuk tak terkendali. "Apa jangan-jangan gadis itu masih perawan? Dan ini adalah darah perawannya? Apa semua yang dia katakan itu memang jujur? Dia sama sekali tidak berbohong?" Reynor semakin menerka-nerka. "Arrgghh! Masa bodoh dengan perempuan itu, aku tak perduli. Dia hanyalah satu dari sekian perempuan yang hanya akan mengincar uangku. Apa yang di cari dari perempuan seperti dia kalau bukan uang." Reynor membuang kemejanya ke lantai kamar mandi. *** Sementara Christo masih menikmati harinya bersama wanita pilihannya saat ini, Clara. Menghabiskan waktu berdua di dalam kamar hotel, mereka berdua terlihat begitu bahagia. "Sayang, cantikan mana, aku atau Nadine?" Tanya Clara sedikit menggoda. Clara dan Christo masih berada di ranjang kenikmatan. Christo tidur terlentang, dengan tangan kanan yang ia tindih dengan kepalanya. Sedangkan Clara memiringkan tubuhnya ke arah kanan, menghadap Christo. Christo membelai rambut panjang Clara. "Cantikan kamu dong sayang. Nadine nggak ada apa-apanya. You are the best." Christo mulai mengeluarkan bualan-bualan rayuannya pada Clara. Senyum tipis dengan tatapan penuh cinta ia perlihatkan ke Clara. "So, kapan kamu akan benar-benar meninggalkan dia? Aku lelah kalau harus terus menunggu. Aku ingin kejelasan! Aku ingin jadi satu-satunya permaisuri dalam hidupmu." Timpal Clara. Tangan kirinya mulai nakal, membelai d**a Christo yang bidang, yang di penuhi dengan bulu-bulu hitam lebat nan lembut. "Tenang sayang. Aku kemarin sudah memutuskan Nadine. Dia tidak akan mengganggu kita lagi. Aku jamin!" Christo meraih jemari Clara, lalu mengecupnya. Clara tersenyum penuh kemenangan. Perlahan keduanya mulai terhanyut dalam suasana. Perlahan, Christo bangun, membalikkan tubuh Clara. Kini Clara berada di bawah, Christo dengan cepat sudah berada di atas tubuh Clara. "Aku sudah memberikan semuanya untukmu, Chris. Aku nggak mau kehilangan kamu, aku mencintaimu." Ucap Clara lembut. "Aku tahu sayang. Mulai hari ini dan selanjutnya, aku milikmu seutuhnya. Dan kamu, juga milikku seutuhnya. Apapun yang kamu minta, pasti akan aku penuhi." "Terima kasih ya sayang. I love you!" Ucap Clara seraya mengecup manja pipi Christo. "I love you too!" Balas Christo lembut. Christo dan Clara mengakhiri percakapan, lalu memulai menunjukkan bahasa tubuh untuk saling merengkuh kenikmatan. Di mulai dari mengecup dahi, lalu pipi, kemudian turun ke bibir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD