"Tolong, sudahi drama murahan ini. Gue ingin hidup dengan tenang!" Ungkap Reynor dengan tegas.
"Demi Tuhan, gue nggak sedang drama. Bukti itu ada di ponsel ini. Gue nggak bohong!" Timpal Nadine dengan raut gagap.
"Ckkk!" Reynor membuang muka. Menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Sekarang pergilah, sebelum kesabaran gue habis. Atau perlu, gue panggil petugas keamanan untuk menyeretmu dari sini? Pergi!"
"Beri gue sedikit kesempatan untuk memperbaiki ponsel ini, please, bukti itu ada di dalam ponsel." Nadine merenggut ponsel dari tangan Reynor. Mencoba menekan tombol power berkali-kali, namun nihil hasilnya.
"Sudahlah! Jangan banyak drama! Pergi sekarang!"
"Tapi?"
"PERGI!" Sentak Reynor, kali ini nada suaranya cukup tinggi, naik beberapa oktaf.
Nadine memejamkan matanya, menarik kepalanya sedikit ke belakang, mendengar teriakan tepat di depannya. "Baik, gue akan pergi." Nadine mengangkat kepalanya, menatap Reynor. "Tapi ingat ya, gue akan kembali lagi. Gue akan bawa ponsel ini ke jasa servis, memperbaikinya terlebih dahulu. Setelah itu akan gue buktikan kalau gue bukan seorang pembohong. Permisi!" Nadine membalikkan tubuhnya. Melangkah menjauhi Reynor tanpa permisi.
Reynor menatap punggung yang semakin menjauh.
"Tunggu!" Serunya.
Hampir mencapai pintu, langkah Nadine terhenti, namun sama sekali tidak membalikkan badan. Nadine mematung, dengan mengeratkan kedua giginya, menahan kesal.
"Lo butuh uang berapa? Akan gue berikan berapapun yang lo minta, asalkan jangan pernah ganggu hidup gue lagi. Jangan pernah kembali, jangan muncul di hadapan gue lagi. Gue ingin hidup tenang."
"Ck!" Desis Nadine. Bibirnya terbuka sedikit. "Apa lo lupa, apa yang udah gue katakan tempo hari? Gue bukan wanita seperti yang ada di pikiran lo saat ini. Gue tidak butuh uang lo, sepeserpun tidak butuh. Gue hanya butuh keadilan, gue butuh tanggung jawab dari seorang laki-laki karena perbuatannya."
Reynor menyedekapkan kedua tangannya ke d**a. "Hah! Sudahlah, tak perlu berpura-pura menjadi orang baik. Semua alur yang lo tunjukkan sudah cukup membuat gue membuka mata selebar-lebarnya. Wanita seperti apa lo itu. Came on, tinggal sebutin nominalnya, gue kasih cash, sekarang juga!"
"Simpan baik-baik uang lo! Gue nggak butuh!" Nadine kembali melajukan langkahnya. Melewati pintu ruangan Reynor, terus berjalan dengan perasaan kecewanya.
Nadine, berjalan dengan berurai air mata. Ia merasa di permalukan di hadapan Reynor. "Kenapa di saat-saat genting seperti ini malah handphoneku mati? Kenapa Tuhan seperti tidak berpihak kepadaku. Aku sedang tidak berbohong, aku ingin mengungkap kebenarannya. Kenapa Kau tidak adil kepadaku, Tuhan. Kenapa justru Kau melindungi orang yang salah, hiks hiks." Nadine melayangkan protesnya pada Tuhan, dengan terus berjalan. Perasaannya kini campur aduk, nano-nano tak jelas.
"Sekarang ini, aku adalah wanita yang tidak sempurna lagi. Aku tahu aku telah berbuat dosa atas segala apa yang aku lakukan di malam itu. Tapi itu bukan mauku, Tuhan. Harusnya kau melaknat laki-laki jahat itu, bukan aku. Hiks hiks hiks." Nadine terus berceloteh dengan isakan tangisnya.
"Semoga kelak, ada laki-laki yang benar-benar bisa menerimaku dengan segala kekuranganku ini. Tanpa mempermasalahkan masa laluku."
Nadine terus berjalan mengikuti langkah kakinya yang entah mau kemana. Ia sendiri tak sadar, sudah sangat jauh melangkah tanpa tujuan yang jelas.
***
Rosa yang merasa khawatir dengan keadaan Nadine, berkali-kali mencoba menghubunginya lewat telefon. Namun ponselnya tidak aktif.
"Duh, Nadine kemana ya Yah? Jam segini belum sampai rumah. Ini sudah hampir maghrib lho. Jam kerjanya juga seharusnya udah selesai dari jam tiga tadi. Kemana coba Yah?" Ucapnya sambil mondar-mandir di teras dengan memegang ponsel.
"Tenang, Bu. Mungkin dia lagi sama Vera atau sama teman lainnya. Nadine itu sudah dewasa, biarkan saja, nanti juga pulang dengan sendirinya." Sahut Wilan santai. Ia memilih duduk di kursi bambu yang ada di teras.
"Tapi Ibu sudah telfon Vera, katanya nggak sama dia. Tadi Nadine pulang duluan. Aduh, Ibu jadi khawatir terjadi sesuatu sama dia Yah."
"Husssh! Omongan itu doa Bu. Jangan ngomong yang jelek-jelek. Sudah, kita berdoa saja supaya Nadine baik-baik saja. Berpikiran positif saja, barang kali ponselnya habis batrainya. Mendingan sekarang kita siap-siap sholat maghrib saja ya, itu sebentar lagi azan. Kita sholat biar hati kita tenang."
"Tapi, Yah?"
Wilan bangkit dari duduknya, berjalan mendekati istrinya. "Sudah, ayo kita masuk! Kita siap-siap sholat ya."
Rosapun mengalah, ia masuk ke dalam rumah.
***
Kilat berkilap terlihat di langit sana, pertanda akan segera turun hujan. Nadine masih terus berjalan terus mencari keberadaan servis handphone.
"Kemana ya ada jasa servis handphone." Ucapnya seraya melihat sekeliling. "Gue capek jalan terus." Keluhnya sambil mengusap dahinya yang penuh dengan butiran keringat.
Tiba-tiba pandangan Nadine terhenti di ujung jalan sana. Terlihat papan baliho besar bertuliskan "Arsha Servise Handphone". Seketika senyumnya mengembang. Lelah yang tadi ia rasakan kini menghilang.
"Alhamdulillah, itu ada tukang servis HP. Aku harus kesana sekarang. Aku harus selamatin data-data penting ini.” Dengan semangat, Nadinepun berjalan ke seberang jalan.
"Sore Mas. Saya mau benerin HP, bisa?" Tanya Nadine to the point.
"Sore Mbak. Bisa di cek dulu Mbak. Mana HPnya?"
Nadine duduk, lalu mengambil handphonenya yang ada di dalam tasnya.
"Ini Mas." Menyerahkan handphone.
Mas tukang servis menerima handphone dari Nadine, lalu memeriksanya dengan menggunakan entah alat apa, Nadine juga tak begitu paham. Sekilas, raut tidak yakin di tunjukkan oleh si tukang servis.
”Gimana Mas, bisa nggak kira-kira dibenerin sekarang. Soalnya ada data-data penting yang harus saya selamatkan di situ.” Ucap Nadine penuh harap.
“Hemm, kayanya sih nggak bisa Mbak. Kalaupun ponselnya bisa nyala lagi, data-data di dalamnya juga pasti ke hapus semua, karena harus di flash dulu.” Terang Mas servisnya.
“Ya ampun Mas, emang nggak ada cara lain apa? Please, tolongin saya. Data-data itu sangat penting, menyangkut hidup mati saya, Mas!” Ujar Nadine memelas, matanya mulai berkaca-kaca.
“Gini aja Mbak, coba ke servisan lain aja deh, saya beneran nggak bisa. Siapa tahu ada yamg bisa nyalain tanpa menghilangkan data-data di dalamnya." Mas servis menyodorkan handphone ke hadapan Nadine.
Nadine menghela nafas panjang. "Ya udah deh, makasih ya Mas. Saya coba nyari tukang servis lainnya." Ujar Nadine lemas. Ia bangkit lalu meninggalkan counter dengan penuh kekecewaan.
Nadine terus berjalan, menyusuri trotoar mencari tempat servis handphone. Hingga menemukan satu demi satu tukang servis handphone, namun jawabannya sama, handphone bisa hidup kembali, namun tidak menjamin data-datanya masih dalam keadaan baik.
Nadine terlihat putus asa. Bagaimana dia bisa meminta pertanggungjawaban dari Reynor kalau bukti-bukti tidak ada.
Glunduurrr!
Terdengar suara gemuruh guntur di atas sana. Kaki Nadine berhenti melaju, menengadahkan kepalanya ke pusat suara.
"Haduh, kaya mau hujan! Mendung petang gini. Mana belum nemuin tukang servis handphonenya lagi. Gimana dong!" Gerutunya khawatir. "Bismillah, lanjut jalan lagi deh." Nadine melanjutkan perjalanannya.
Kilat mulai sering menampakkan diri, guntur juga makin terdengar jelas, langit berubah menjadi lebih gelap. Rintik air mulai jatuh perlahan, sedikit demi sedikit, berubah makin deras. Hujan tak terelakan.
"Semua tukang servis pada nggak bisa benerin. Terus aku harus gimana? Hiks hiks!" Nadine mulai gusar, ia putus asa.
Nadine berjalan dengan gontai. Memeluk tas gendong yang ia letakkan di depan dadanya. Bahkan Ia tak perduli dengan derasnya hujan yang mengguyur Ibukota malam ini. Sesekali ia mengusap wajahnya karena air mengalir dari atas begitu deras.
"Aku sudah nggak suci lagi, dan laki-laki itu juga nggak mau tanggung jawab karena aku sudah nggak ada bukti. Lalu, laki-laki mana yang nanti mau menerimaku dengan kondisi seperti ini. Belum lagi melihat Ayah dan Ibu yang kecewa dengan ulahku. Hiks hiks!" Nadine terus menangis, meratapi nasibnya.
Reynor yang kebetulan melintas di jalan yang sama. Terhenti di lampu lalu lintas menunjukkan warna merahnya. Reynorpun menghentikan laju kemudinya. Sembari menunggu lampu berubah menjadi hijau, ia menyebarkan pandangannya ke sekitar jalanan. Tiba-tiba, matanya terhenti pada sosok perempuan yang berjalan di trotoar, menembus derasnya hujan. Perempuan itu tidaklah asing baginya. Dia adalah Nadine.
"Lhoh, itu kan, perempuan itu! Kok ada disini? Udah tahu hujan, masih aja nekat jalan. Emang dasar orang aneh!" Celanya di dalam mobil. lalu mengalihkan pandangannya.
Namun beberapa detik kemudian, ia. kembali menatap Nadine. Ia memperhatikan wajah Nadine yang terlihat begitu lelah. Wajahnya bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat, tak segarang tadi sore saat Nadine menyambanginya di kantor.
"Itu perempuan kok kaya lagi sedih? Orang segarang dia, punya rasa sedih juga ternyata." Celanya lagi.
Tin
Tin
Tin
Tanpa sadar, lampu sudah menghijau, riuh klakson kendaraan di belakang Reynor sudah mulai ramai terdengar.
"Sabar dikit kenapa sih. Rese banget, tan tin tan tin. Sabar, ini juga mau jalan." Umpatnya kesal. Reynor segera menginjak gas dan melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan Nadine yang masih berjalan dalam kehujanan.
"Mbak, mau kemana? Mau saya antar?" Tiba-tiba ada seorang pengendara sepeda motor ya g berhenti di sisi jalan, masih duduk di atas jok motor. Dengan menggunakan mantel jubah berwarna coklat. Wajahnya tidak begitu terlihat karena bersembunyi di balik helm tanpa membuka kacanya.
Nadine memandanginya dengan tatapan aneh. Ia merasa tidak pernah bertemu apalagi mengenalnya.
"Bapak siapa? Bapak nggak berniat jahat kan?"
"Saya bukan orang jahat Mbak! Saya serius mau antarin Mbaknya. Saya kasihan sama Mbaknya, hujan-hujanan gini nanti jadi sakit. Mari naik Mbak, saya antar."
Nadinepun akhirnya naik ke atas jok motor.
"Rumahnya di mana Mbak?"
"Jl. Kenanga Pak."
"Baik Mbak, saya antar kesana."
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!" Rosa langsung berjalan cepat ke arah pintu. Ia tahu itu adalah suara Nadine. Akhirnya sedari tadi menunggu, anaknya kembali juga.
Pintu terbuka.
"Ya ampun, nak. Kamu kenapa bisa sampai basah kuyup begini? Dari mana aja, Ibu sama Ayah khawatir, dari tadi hubungin kamu tapi nomer kamu nggak aktif."
Nadine masih diam. Matanya semakin deras mengeluarkan isinya.
"Sudah, Bu. Jangan di tanya-tanya dulu, bawa masuk dulu, biarkan dia menenangkan diri sebentar."
Nadine di tuntun masuk oleh Rosa. Sedangkan Wilan bergegas menyiapkan air hangat untuk mandi putrinya.