Ting! Pintu lift mulai terbuka.
Reynor melihat sesosok perempuan di hadapannya. Ia tatap perempuan itu lekat-lekat. Seorang perempuan yang sedang terisak, matanyapun terlihat sembab. Namun, tiba-tiba dalam sekejap wajahnya berubah menjadi wajah Selena, melemparkan senyuman menggoda pada Reynor.
"Selena!" Lirih Reynor, lalu tersenyum. Tiba-tiba tangannya mencengkram pergelangan tangan Selena dengan sangat kuat.
Kaki Reynor maju satu langkah, menatap dengan penuh harap. "Sayang, kamu disini? Sayang, kamu lihat kan, betapa hancurnya aku tanpamu. Aku, aku nggak bisa kalau harus hidup tanpa kamu."
Selena tak menjawab, namun bibir ranumnya melemparkan senyum manis. Perlahan Reynor menuntun Selena dengan penuh perasaan, masuk ke sebuah kamar.
Sesampainya di kamar, Reynor memeluk Selena dengan erat. "Sayang, aku janji akan segera menikahimu. Aku akan datang kepada kedua orang tuamu untuk melamarmu. Kamu mau kan sayang?" Ucap Reynor serius. Tangannya terus mendekap tubuh mungil
Brukk!
Reynor menjatuhkan tubuh Selena ke atas ranjang, selena tak melawan. Dia terus memperlihatkan senyum terbaiknya di hadapan Reynor.
Reynor, sudah berada di atas tubuh Selena, mengelus pelan pipi gadis itu. "Sayang, kenapa kamu diam aja? Kamu masih marah sama aku? Atau kamu mau apa? Pengen beli apa? Tas, sepatu, atau berlian? Aku akan belikan."
Selena tetap diam, lagi-lagi, dia hanya meresponnya dengan senyuman.
Reynor mulai nakal, tangannya mulai bergerilya menelusuri setiap jengkal tubuh gadis yang di tindihnya itu. Perlahan wajahnya mulai mendekat, bibirnya sedikit terbuka, kini jarak antara kedua bibirpun nyaris tak ada. Dengan penuh kasih, Reynor mulai melumat bibir gadis kecintaannya itu, lembut penuh dengan perasaan. Sedangkan tangan kanannya mulai semakin berani mempermainkan bukit kembar yang begitu kenyal itu.
Sejenak Reynor menghentikan cumbuannya. Melepas pagutannya dan menatap Selena dalam-dalam. "Se-le-naku sayang! Aku cinta sama kamu. Apapun yang kamu mau, akan selalu aku berikan. Asalkan kamu tetap di sini, di sisiku." Ucapnya terbata.
Lagi-lagi, Selena hanya tersenyum. Reynor melanjutkan aksinya, memagut kembali bibir ranum kekasihnya. Kini kedua tangannya mulai bekerja semua. Mempermainkan kedua bukit kembar yang seakan sudah menjadi miliknya.
"Ahhh!" Selena mulai mendesah. Nampaknya ia mulai merasakan rangsangan itu.
Reynor menghentikan pagutannya lagi, "Kamu suka sayang?"
Selena hanya mengangguk, dengan tatapan sayu.
Reynor kembali memagutnya. Kini ia sudah berhasil meloloskan pakaiannya dan juga milik Selena, kini mereka berdua benar-benar tak memakai sehelai benangpun untuk menutupi tubuhnya.
"Aku nggak akan lepasin kamu lagi, sayang. Malam ini, kamu seutuhnya menjadi milikku!" Ucap Reynor, lalu memasukkan benda tumpul miliknya itu dengan lembut.
"Ahhhh!" Lagi-lagi Selena mengerang. Membuat libido Reynor semakin naik.
Reynor menatap dalam-dalam kekasihnya itu, dengan penuh gairah ia terus memacu gerakannya dengan h-lebih cepat. Namun tiba-tiba wajah Selena berubah menjadi wajah Nadine yang tengah tertawa terbahak-bahak.
Mata Reynor terperanjat, dengan cepat menghentikan aktifitasnya. "Kamu?" Pekiknya. "Aaaaaaaaa!" Reynor teriak, membuka matanya dengan cepat. Tubuhnya juga sudah dalam keadaan duduk.
Nafasnya tampak terengah-engah, permukaan dahinya juga mengeluarkan bintik-bintik keringat. Wajahnya terlihat sangat ketakutan.
"Aku mimpi! Hahh, hahhh, haahhh!" Ucapnya dengan nafas yang memburu. "Tapi, kenapa mimpiku seperti itu? Ada perempuan itu di mimpiku? Hahh, hahh, hahh."
Reynor bangkit dari tempat tidurnya, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
"Ya Tuhan, pertanda apa ini?" Ucapnya seraya memejamkan mata di depan cermin.
***
"Bu, Nadine berangkat dulu ya." Ucap Nadine berpamitan pada sang bunda yang tengah menjemur pakaian di belakang. Tangannya mengulurkan tangan untuk berpamitan.
Rosa memberikan punggung tangannya. "Iya, nak. Hati-hati ya. Kamu naik ojek atau bareng sama Vera?"
"Bareng sama Vera. Tuh orangnya udah nangkring di depan." Sahut Nadine seraya menunjuk ke depan.
"Owh ya sudah. Jangan lupa makan siang nanti ya. Sepulang kerja langsung pulang ke rumah, Ayah sama Ibu mau membicarakan sesuatu yang penting. OK!"
Kedua alis Nadine mengerucut. "Bicara sesuatu yang penting? Apaan Bu? Bikin Nadine penasaran aja!"
"Ya nanti sore aja sekalian. Sekarang berangkat dulu, keburu jam delapan, telat lagi nanti. Jangan lupa pamit sama Ayah juga."
"Hemmm, ya udah deh. Nadine berangkat ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Nadine pergi meninggalkan Ibunya, menyambangi Ayahnya yang sedang membersihkan kolam lele di samping rumah.
"Yah, Nadine berangkat ya." Ucap Nadine dari atas.
Wilan mendongakkan kepalanya. "Iya, nak. Hati-hati ya. Nggak usah salaman, tangan Ayah kotor ini."
"Iya Yah. Ya udah Nadine pergi ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Sahut Wilan dengan senyum lega.
Nadine berlari kecil menuju Vera yang memilih tinggal di jok sepeda motornya.
"Sorry, Ver. Nunggunya lama ya? Hehehe!"
"Nggak lama. Baru juga setengah jam. Nunggu sampai besok juga masih nggak apa-apa kok." Semprotnya dengan wajah kusut.
"Ya elah, ngambek! Sorry Ver, aku telat bangun. Semalam nggak bisa tidur gara-gara minum kopi."
"Jadi kopinya nih yang salah?"
"He emm! Hehehe!"
Senyum kecil mengembang dari bibir Vera. "Udah buruan naik. Waktu kita tinggal dua puluh menit lagi nih ya. Kalau sampai telat, gue kagak tanggung kalau Pak Ronny benar-benar mecat lo! Silakan di tanggung sendiri akibatnya. Gue kagak ikut-ikutan!"
"Iya bawel." Ucap Nadine membenarkan posisi duduknya.
"Pegangan, gue mau ngebut!"
"Siap bos! Gass, gas, gas!"
Vera memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Ia berharap bisa sampai cafe tepat waktu.
***
Sepulang bekerja, Nadine segera meluncur ke kantor Reynor. Kali ini Nadine langsung menuju ke dalam gedung. Ia tidak melapor pada petugas keamanan terlebih dulu karena khawatir akan di halangi seperti kemarin.
"Mending gue langsung naik ke atas aja. Gue kan udah tahu dimana ruangannya." Lirihnya seraya terus berjalan. Nadine sengaja menggunakan jaket hoddie supaya kepalanya bisa tertutup dan tidak di ketahui oleh petugas keamanan.
Saking fokusnya mata Nadine melirik ke kanan dan ke kiri. Dan tiba-tiba, brukk!
"Awwww!" Nadine terpeleset karena tak melihat ada tangga kecil di depannya. Ponsel yang ia simpan di saku hoddienya ikut terpental keluar sarang dan membentur tiang. Untung saja masih terlihat utuh.
"Aduhh! Sialan! Kagak lihat lagi, ada tangga di sini." Gerutu Nadine.
Nadine berusaha bangkit, kemudian mengambil ponselnya yang berada beberapa meter di depannya. Memasukkan kembali ke dalam saku hoddie tanpa memeriksanya. Ia lanjutkan perjalanannya menuju ruangan Reynor.
Reynor yang masih berada di ruang kerjanya masih terlihat sibuk dengan layar komputer di depannya.
Tok tok tok!
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar. Tanpa pikir panjang lagi, Reynor menyuruh si pengetuk pintu untuk masuk.
"Masuk!" Sahut Reynor, pandangannya masih tertuju pada layar di depannya.
Ceklek! Pintu terbuka.
Reynor berniat melihat siapa yang datang. Pandangannya ia alihkan ke arah pintu. Seketika, ekspresi wajahnya berubah layu. "Lo? Ckk!" Reynor menatap Nadine dengan kesal, membuang nafasnya dengan kasar. "Mau apa lagi?" Ujarnya dari balik meja kerjanya.
Nadine menutup pintu, lalu terus berjalan tanpa suara. Semakin lama semakin dekat dengan Reynor. Nadine membuang nafasnya kasar, masih berdiri di hadapan Reynor.
"Gue kesini membawa bukti itu. Bukti di malam lo udah merenggut kesucianku!" Ucap Nadine tegas, dengan tatapan penuh keyakinan di hadapan Reynor.
Mata Reynor terperanjat, mendengar bahwa Nadine membawa bukti itu.
"Lo, pu, punya bukti itu?"
"Ya. Sesuai janji gue kemarin. Gue akan datang dengan membawa bukti!"
Wajah Reynor semakin terlihat gusar, perlahan mulai memucat. Aliran darahnya seperti berhenti mengaliri tubuhnya.
'Mampus, tamat riwayat gue!' Ujarnya dalam hati. Keringat dingin mulai menampakkan diri, tubuhnya juga terasa dingin.
"Gue datang ke sini, hanya ingin memperlihatkan bukti ini, gue ingin membuktikan bahwa gue bukan w************n seperti yang lo sangkakan. Gue bahkan sama sekali tidak pernah berniat menjebak lo malam itu. Gue memang orang susah, bukan berasal dari keluarga kaya. Tapi gue masih punya harga diri." Ucap Nadine keras.
"It's OK! Tunjukkan!" Balas Reynor dengan ucapan tenang, namun dalam hatinya sungguh tidaklah karuan.
Nadine mengambil ponsel dari dalam saku hoddienya. Ia hendak menyalakan ponselnya, namun di luar dugaan, ternyata ponselnya justru mati.
Wajah Nadine tiba-tiba berubah. Mulutnya terbuka sedikit, alisnya mengerucut. "Astaga! Kenapa handphone gue? Kok mati gini!" Ujarnya panik. Nadine terus memencet tombol power, namun ponselnya sama sekali tak ada tanda-tanda akan menyala.
"Cepat tunjukkan! Gue tak punya banyak waktu meladeni lelucon lo ini. Gue masih banyak kerjaan lain."
Nadine menatap Reynor dengan khawatir. Lalu kembali pada ponselnya untuk terus berusaha menyalakannya.
'Sial! Kenapa malah mati sih. Bisa habis gue di amuk sama orang gila ini, kalau sampai gue gagal menunjukkan bukti itu. Dia akan semakin besar kepala dan makin yakin menuduhku sebagai wanita yang nggak benar!' Batin Nadine bergemuruh.
Pandangan Reynor beralih ke benda yang ada di tangan Nadine. Ia pun bangkit dari bangkunya. Berjalan mendekati Nadine. Tanpa basa-basi, Reynor segera menyahut ponsel yang ada di tangan Nadine.
Reynor mencoba menekan tombol power. "Mati?" Ujarnya, lalu menatap Nadine. "Pyuhh!" Imbuhnya.
"Aku akan kembali lagi esok setelah handphoneku sudah kembali normal. Tadi di bawah aku terjatuh dan handphone itu juga ikut terjatuh. Mungkin ada sedikit trouble pada perangkatnya."
"Mau drama apalagi kamu? Udah deh cukup! Gue capek! Sekarang pergi dari sini! Gue muak!"
Mata Nadine dan Reynor saling beradu. Nadine dengan tatapan kecewanya, sedangkan Reynor dengan tatapan kebenciannya.