Nadine langsung menuju ke kamar mandi yang sudah siap dengan air panas yang di sediakan oleh sang Ayah. Sementara, sang Ibu terlihat sangat khawatir dengan keadaan Nadine.
"Yah, Nadine kenapa? Dia nggak pernah kaya gini sebelumnya. Ibu takut terjadi sesuatu sama dia, Yah!" Ungkap Rosa penuh rasa cemas, tangan kanannya menutup mulut sejenak, lalu mondar-mandir di depan pintu kamar mandi menunggui Nadine.
"Sttt, tenang Bu. Nanti kita tanya sama Nadine biar lebih jelas. Kalau menduga-duga kaya gini malah bikin pikiran kemana-mana. Sabar ya, kita tunggu dia selesai mandi dulu." Wilan berusaha menenangkan istrinya.
Rosa berhenti, menatap Wilan dengan sendu. "Iya Yah. Ibu khawatir aja, Nadine kenapa-kenapa. Dia anak kita satu-satunya Yah." Bibirnya kali ini sudah meleot kemana-mana.
Wilan mendekati Rosa, meraih kedua jemarinya. Memegangnya dengan hangat. "Iya, Ayah tahu. Ibu pikir Ayah nggak khawatir? Sudah, mending kita tunggu Nadine sampai selesai dulu."
Rosa mengangguk, air matanya tak terasa jatuh dengan sendirinya. Wilan yang dengan cekatan segera mengelap aliran air mata itu dengan tangan kanannya. Wilan, adalah sosok suami dan Ayah yang selalu hangat kepada istri dan anaknya.
Di dalam kamar mandi, Nadine baru menyadari, jika tingkahnya kini menjadi pusat perhatian kedua orang tuanya.
"Ayah sama Ibu, di luar pasti khawatir banget sama aku. Melihat aku datang dengan keadaan kaya tadi." Memejamkan mata. "Harusnya aku menangkan hati dulu sebelum masuk rumah, biar nggak jadi serumit ini. Aku tidak mungkin memberitahu mereka tentang masalah ini, waktunya belum tepat."
Nadine keluar dari kamar mandi. Ia terhenyak melihat kedua orang tuanya berdiri tak jauh dari pintu.
"Ayah Ibu dari tadi disini?"
"Iya, Nak. Ibu khawatir melihat kamu pulang sambil nangis-nangis gitu." Sahut Rosa cemas. "Kamu kenapa?"
"Iya, kami berdua khawatir, Nak!" Timpal Wilan.
"Hehe, maaf Ayah, Ibu. Nadine sebenarnya nggak apa-apa. Cuma agak sedikit shock aja." Nadine berjalan menuju kamar, di ikuti Rosa dan Wilan di belakangnya.
Nadine duduk di tepi ranjang.
"Di lap dulu rambutnya sayang." Rosa mengambil handuk yang menggelantung di leher Nadine, mengusapnya ke rambut Nadine dengan pelan. Matanya masih berkaca-kaca dan hampir pecah.
Wilan memilih duduk di kursi belajar tak jauh dari ranjang.
"Sekarang kamu cerita sama Ayah Ibu? Apa yang terjadi?" Tanya sang Ayah dengan pelan.
Nadine menatap Rosa, menggeleng pelan. "Nadine nggak apa-apa. Ibu sama Ayah jangan khawatir berlebihan seperti ini. Nadine ini udah gede, malu kalau sampai harus di perlakukan seperti ini." Sedikit protes.
"Din, kamu jangan bohong sama Ibu. Kamu itu nggak pernah-pernahnya sampai kaya gini. Sekarang jujur sama Ibu, kamu kenapa? Apa ada yang jahat sama kamu? Atau pacar kamu yang bernama Chrysto itu yang sudah membuat kekacauan sampai seperti ini? Bilang sama Ibu, belum tahu dia siapa Rosa. Berani-beraninya nyakitin anak kesayangan Ibu." Tuturnya masih terus mengelap rambut Nadine.
"Stttt! Nggak ada yang nyakitin Nadine Bu. Beneran! Nadine cuma sedih aja, handphone Nadine tadi jatuh terus mati."
Rosa memajukan bibirnya. "Cuma gara-gara HP kamu jadi kaya orang stress kaya tadi?" Pekik Rosa, menghentikan aktifitasnya. Kini mata yang tadinya mengisyaratkan kekhawatiran, perlahan berubah dengan sebuah kecurigaan.
"Iya Bu. Itu kan HP kesayangan Nadine. Ibu ingat kan, dulu Nadine beli itu pakai uang hasil dari kerja nadine, gaji pertama saat kerja di cafe. Ingat kan?"
Rosa terdiam, seraya mengingat-ingat kembali peristiwa beberapa bulan yang lalu, saat Nadine dengan bahagianya bercerita bahwa ia mendapat gaji pertama, dan ingin membelikannya HP baru.
"Ayah ingat nggak? Waktu itu Nadine kan juga cerita sama Ayah." Nadine mencoba mengalihkan keduanya.
Wilan ikut terdiam sejenak. "Owh iya Din. Ayah ingat. Waktu itu Ayah lagi nguras air kolam di samping ya, terus kamu sore-sore sampai rumah cerita kalau habis nerima gaji pertama. Iya, iya, Ayah ingat Din."
"Nah itu, Ayah ingat." Nadine menatap Ibunya. "Ibu ingat nggak?"
"Kayanya sih ingat, Din." Timpal Rosa.
"Nadine sedih, itu kan handphone hasil perjuangan kerja Nadine. Tiba-tiba harus mati dengan cara seperti itu. Hati Nadine rasanya nggak rela aja. Banyak data-data penting juga di dalamnya. Nadine udah coba ke beberapa tukang servis handphone, tapi nggak ada yang bisa benerinnya. Makanya Nadine sedih."
Rosa membuang nafasnya, lalu ikut duduk di samping Nadine. "Ibu kira kamu kenapa-kenapa, Nak. Ibu khawatir tadi sampai rumah lihat kamu yang basah kuyup, nangis-nangis. Orang tuan mana yang nggak khawatir! Tapi beneran, kamu kaya tadi itu memang cuma karena masalah HP kamu yang rusak ini?" Rosa masih berusaha memastikan.
"Iya, Bu. Masak Nadine bohong sih! Udah pokoknya Ibu sama Ayah nggak usah berfikiran yang aneh-aneh deh. Nadine baik-baik aja, cuma tadi agak sedikit shock aja." Ujar Nadine meyakinkan kedua orang tuanya. Ia tatap mata Ibunya sebentar, lalu berpindah ke mata sang Ayah.
"Ya sudah, kalau cuma perkara handphone yang mati, Insya Allah nanti kalau panen lele, Ayah beliin yang baru."
"Nggak usah Yah. Nadine mau bawa lagi aja ke tukang servis, nggak apa-apa lah walaupun data-datanya hilang, yang penting masih bisa dipakai aja buat komunikasi. Uang hasil panen mah jatah di kasih ke Ibu, buat kebutuhan dapur aja."
"Ya ampun nak, kamu itu memang anak yang baik, nggak kau ngrepotin orang tua." Cela Rosa, seraya membelai rambut Nadine.
Nadine tersenyum. "Oiyaa Bu, Nadine sekalian mau bilang kalau, Nadine udah putus sama Chrysto, hubungan kami sudah berakhir."
"Syukurlah, Ayah lega mendengarnya!" Celetuk Wilan, membuang muka. "Tidak ada yang bisa di harapkan dari seorang laki-laki pengecut seperti dia."
"Ayah! Kok ngomong gitu sih!" Cela Rosa, tak sependapat dengan ucapan suaminya.
"Iya kan? Dari kapan dia mau datang kesini tak nggak pernah jadi. Coba Ibu pikir, apa namanya kalau bukan seorang pengecut?" Terang Wilan makin menggebu. Rossa terdiam.
"Tapi Ayah benar juga kok. Sebenarnya Nadine aja yang terlalu berharap sama dia. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Kalau Chrysto benar-benar serius sama Nadine, pasti dia sudah datang ke rumah, bicara baik-baik sama Ayah dan Ibu. Tapi nyatanya, dia memilih pergi." Nadine menghela nafas. "Ya sudah, mau di apain? Mungkin memang dia bukan yang terbaik untuk Nadine."
Rosa mengelus pundak anaknya. "Sabar ya nak, Ibu yakin, suatu saat pasti ada laki-laki baik yang sudah menantimu."
Nadine menatap Rosa. "Iya Bu, makasih ya dukungannya." Ucapnya lalu menyandarkan kepala di bahu sang bunda.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Rosa menatap ke arah Wilan, mengangkat kedua matanya memberikan kode.
"Emmm, ya sudah, jadi masalah sore ini sudah jelas ya, gara-gara handphone. Kalau gitu, Ayah dan Ibu keluar ya. Kamu istirahat dulu." Wilan berdiri.
Nadine menarik kepalanya. "Iya. Nadine mau tidur dulu ya bu, capek."
"Ya sudah, Ibu keluar ya sayang. Kamu istirahat biar besok fresh badannya." Rosa bangkit dari tempat tidur.
Rosa dan Wilan berjalan beriringan keluar dari kamar Nadine.
Tiba-tiba Rosa menarik tangan Wilan agar berjalan lebih cepat lagi. "Sini cepetan Yah!"
"Ada apa sih bu?"
"Itu Nadine udah putus sama pacarnya, berarti ini waktu yang tepat untuk kita atur rencana bertemu dengan keluarga Ramon. Paling tidak, kita pertemukan dulu mereka. Kalau di lihat seperti ada kecocokan, kita lanjutin. Giman?" Ucap Rosa berbisik.
"Benar juga sih, Bu. Ya sudah m, biar nanti Ayah aja yang hubungin Ramon untuk mengatur waktunya. Semoga saja rencana ini akan berjalan lancar ke depannya."
"Iya Yah." Rosa mengangguk cepat.
"Ya sudah, ayo!" Celetuk Wilan dengan menggerak-gerakkan kedua alisnya.
"Ayo? Ayo apa?" Rosa tertegun, mencoba memahami maksud perkataan suaminya.
"Mumpung lagi hujan, kita main bola bekel di kamar, hehe."
Wajah Rosa tiba-tiba berubah memerah. "Emmm, Ayah mau main bola bekel? Yaaaa... Ya hayuk!" Sahut Rosa malu-malu.
Dengan cepat, tangan Wilan menarik tangan Rosa, membawanya masuk ke kamar.
***
"Gimana nasib tuh perempuan ya? Hujan-hujanan sendirian. Kayanya sih, kalau melihat dari wajahnya, dia lagi ada masalah serius. Jalannya aja kaya nggak tahu arah gitu. Hemmmm!" Gumam Reynor, seraya rebahan di atas tempat tidur dan menatap langit-langit di atasnya.
Reynor yang sedang berdiam di kamarnya, tiba-tiba ingat dengan Nadine.
"Astaga!" Reynor mengusap wajahnya kasar. "Kenapa malah jadi mikirin itu perempuan sih. Huuffff! Amit-amit! Hiiii!" Ujarnya bergidik.
Reynor bangkit dari tempat tidur, ingin keluar mencari udara segar di taman belakang.
***
Keesokan harinya.
Seperti biasa, di pagi yang cerah ini, Nadine sudah bersiap berangkat ke cafe. Walaupun badannya sedikit tak enak karena semalam kehujanan, tapi dia tidak mau meninggalkan pekerjaannya kali ini. Baru juga sang manager memberikan kesempatan untuk Nadine bisa menunjukkan perubahannya, sudah harus minta izin tidak masuk karena alasan sakit.
Vera sudah standby di depan teras rumah Nadine, menunggu sahabat terbaiknya itu keluar dari kandangnya.
Orang yang ia tunggu terlihat sedang berjalan ke arahnya. Namun pagi ini ada yang beda dari raut wajah Nadine yamg biasanya terlihat ceria.
"Eit, bentar! Muka lo kusut amat? Itu mata juga segede buah durian. Lo abis nangis ya? Kenapa?" Vera kepo, menatap wajah Nadine dengan teliti.
Nadine menatap Vera dengan bibir yang sudah meleot-leot. "Handphone gue rusak, mati total. Makanya tadi gue telfon pakai nomernya Ibu."
"Rusak? Ya tinggal beli yang baru, hari ini kan kita gajian, hehe." Celetuk Vera enteng.
"Bukan masalah itu, Ver. Tapi ada yang lebih gawat lagi."
"Hah?" Vera masih belum mengerti.
"Rekaman yang kita minta waktu di hotel itu ilang, gue jadi nggak punya bukti lagi buat laporin tuh penjahat. Hiks." Nadine mulai melow.
Vera menggaruk-garuk kepalanya. "Eh, b**o!" lalu menoyor kepala Nadine. "Kenapa harus nangis bombay gini sih? Ya kan lo tinggal pergi lagi tuh ke hotel buat minta rekamannya lagi. Beres kan? Ngapain pusing-pusing!" Vera ngegas.
Nadine menghentikan tangisannya. Ia tegakkan kepalanya, menatap Vera dengan serius.
"Eh, bener juga ya Ver. Kenapa gue nggak berfikir sampai situ ya?" Nadine menggaruk kepalanya. "Tumben lo pinter!"
"Ya elah Nadine. Bocah SD juga paham kali kalau kaya gini ceritanya. Lo nya aja kebanyakan drama. Keseringan nonton drama lo sih!" Cela Vera. "Makanya, kalau ada masalah itu jangan panik duluan. Kalau lo udah panik, nggak bakalan bisa berfikir dengan jernih! Paham!"
Nadine mengangguk. Otaknya seketika bisa berfikir kembali. Ia berencana pergi kembali ke hotel B untuk meminta rekaman CCTV itu.