Titik Terang

2084 Words
Ivander Reynor Alexy, pengusaha muda yang bisa di bilang sukses membangun perusahaan warisan sang Ayah tercinta. Laki-laki berperawakan tinggi yang berparas tampan khas oriental, dan banyak di gandrungi oleh kaum wanita. Sayangnya karirnya yang melambung tidak diiringi dengan kisah percintaannya yang ternyata begitu menyedihkan. Selena, adalah wanita yang sangat ia cintai. Cinta pertamanya semasa masih di bangku SMA, kini meninggalkannya dengan alasan Reynor kurang memberikannya perhatian yang selama ini ia inginkan. Reynor terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga perhatian untuk sang kekasih ia abaikan. Dia pikir dengan memberikan kecukupan materi pada wanita, semuanya akan teratasi. Padahal, buka melulu bingkaian materi yang para wanita inginkan, namun juga bentuk kasih sayang berupa perhatian. Reynor hampir tidak punya waktu untuk Selena. Bahkan, ketika akhir pekan tiba, Reynor masih akan disibukkan oleh tumpukan pekerjaan yang tidak akan dia biarkan berserakan di meja kerjanya. Reynor akan dengan senang hati membawa pekerjaan-pekerjaan itu ke rumahnya. Selena kerap kali melayangkan protes kepada Reynor, namun dengan dalih, semua yang dia lakukan adalah untuk membahagiakannya kelak, Reynor selalu mengabaikannya. Hingga akhirnya Selena memilih pergi dan mencari kebahagian yang selama ini ia inginkan. Reynor tidak terima, ia berusaha membujuk Selena agar kembali, mengingatkan akan mimpi-mimpi indah yang telah mereka rajut selama lima tahun ini. Namun Selena tetap pada pendiriannya, ia memilih pergi. Reynor kalap dengan keadaannya, ia masih belum bisa menerima keputusan Selena. Ia memilih untuk staycation beberapa hari di sebuah hotel, masih di kawasan Jakarta. Berharap suasana baru akan bisa memulihkan kegundahan hatinya. Malam itu Reynor memilih untuk pergi ke club malam yang berada di dalam hotel, ia ingin have fun untuk menyegarkan pikirannya yang beberapa hari ini kacau. Meminum minuman beralkohol, berdansa, dan bersenang-senang di sana, malam ini Reynor benar-benar ingin berpesta. Tak ia sangka, netranya mendapati Selena juga berada di sana, dan tengah bercengkrama bersama laki-laki blasteran. Selena nampak bahagia, tak ada raut kesedihan sama sekali di wajahnya. Amarah Reynor memuncak, ia mendekati meja Selena, dan tanpa basa-basi, dia langsung menghadiahi laki-laki di samping Selena dengan bago mentah. Tepat mengenai hidung laki-laki itu. Keributan tak terelakan, saling memberi balasan kepalan tanganpun silih berganti mendarat ke wajah mereka masing-masing. Hingga beberapa scurity harus turun tangan dan membawa Reynor keluar dari club. Malam yang remang-remang nampaknya membuat scurity tidak sadar, siapa laki-laki yang tengah mereka bawa itu. Kalau saja tahu itu adalah sang pengusaha kaya, tentu tidak akan seberani itu mereka memperlakukan Reynor. Reynor bangkit! Berjalan tertatih menuju kamarnya. Di kepalanya masih saja terlintas sosok Selena yang dengan santainya tengah bermesraan dengan laki-laki bule yang ia lihat di club tadi. Hatinya sungguh perih, ia tak menyangka, Selena bisa secepat itu berpaling dan menemukan tambatan barunya. Reynor memasuki lift untuk menuju ke lantai lima, dimana kamarnya berada. Pintu lift terbuka, terlihat sosok perempuan tengah berdiri tepat di hadapannya. Dia adalah Nadine yang ingin keluar dari hotel. Kondisinya yang berada di bawah kesadaran karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, membuatnya hilang kendali. Tiba-tiba, wajah Selena terlihat jelas pada sosok Nadine. Tanpa pikir panjang, Reynorpun menarik tangan Nadine sekuat tenaga dan membawanya menuju ke kamarnya. ***** Perlahan, kelopak mata mulai membuka. Remang, namun semakin lama penglihatannya semakin terlihat nyata. Langit-langit dengan nuansa putih, adalah benda pertama yang ia temukan. Nadine masih terbaring di atas ranjang, tubuhnya juga masih bersembunyi di balik hangatnya selimut tebal. Netranya mulai mengembun, ujung mata perlahan meneteskan cairan bening. Makin lama makin deras, mengingat kejadian terburuk yang ia alami tadi malam. Kepalanya ia putar sembilan puluh derajat, wajah Reynor terlihat begitu jelas. Ia masih terlelap di dalam mimpinya. "Christo! Maafkan aku. Aku tidak bisa menjaga ini untukmu. Hiks hiksss!" Nadine terisak, pelan. Namun lama-lama suaranya terdengar mengeras. Nadine tak mampu lagi membendung perasaannya yang sedang hancur. Reynor yang masih terjaga dalam mimpinya, mulai menggeliat. Terlihat rasa tak nyaman ia tunjukkan karena pendengarannya mulai terganggu dengan suara tangisan di dekat telinganya. "Diamlah, Sel! Aku masih ngantuk!" Serunya lalu menutupkan selimut hingga tubuhnya tenggelam di dalamnya. Ia mengira, suara itu adalah tangisan Selena. "Hiks hiks! Gue nggak mau tahu, lo harus tanggung jawab! Hiks hiks! Lo harus nikahin gue!" Ujar Nadine sembari terisak. Reynor yang semula masih ingin melanjutkan mimpinya, tiba-tiba membelalakkan matanya. Ia mendengar suara yang begitu asing di telinganya. Ia segera membuka selimutnya dengan kasar, memutar tubuhnya untuk memastikan, suara siapa yang ia dengar barusan. Reynor terperanjat, mendapati perempuan yang ada dalam satu ranjang dengannya bukanlah Selena. "Lo! Lo siapa? Kenapa bisa ada di kamar gue?" Teriaknya seraya setengah menegakkan tubuhnya. "Lo yang siapa, main tarik-tarik tangan orang, hiks hiks, di bawa masuk ke kamar! Gue nggak mau tahu ya, pokoknya lo harus tanggung jawab atas apa yang udah lo perbuat tadi malam." Nadine masih sesenggukan. "Jangan mengada-ngada deh! Gue nggak mungkin bawa orang yang nggak gue kenal ke kamar gue! Semalam gue bawa cewek gue kesini, bukan lo!" Reynor bersi keras menolak. "Owh, gue tahu, lo pasti sengaja kan jebak gue? Lo tahu kalau gue ini pengusaha tajir, jadi lo jebak gue biar gue mau nikah sama lo! Gue udah hafal dengan otak perempuan seperti lo!" Hardik Reynor, mulai menyudutkan Nadine. Nadine bangkit, dengan memegangi selimut yang menutupi dadanya. Ia duduk menghadap Reynor. "Eh lo jangan asal bicara ya! Gue ini wanita baik-baik! Gue juga masih perawan! Dan gue juga belum pernah ngelakuin ini dengan laki-laki manapun kecuali sama lo semalam. Itu juga karena lo yang maksa!" terangnya emosi. "Owh, gue yang maksa. Terus kenapa lo mau? Kenapa lo nggak nolak? Kenapa lo nggak lari aja semalam? Hah!" Timpal Reynor masih tak ingin kalah. "Gue udah teriak-teriak! Tapi nggak ada yang dateng buat menyelamatkan gue. Lagian tenaga lo itu kuat banget! Gue nggak sanggup nahan kekutan lo sendirian. Ya udah, terpaksa!" "Ckk! Alasan!" Desis Reynor, membuang wajah. "Terserah apa kata lo! Lo harus tetap tanggung jawab atas ini semua. Lo harus nikahin gue. Sekarang lo pakai baju! Lo antar gue pulang ke rumah dan bicara baik-baik sama bokap gue, kalau lo mau nikahin gue!" Tutur Nadine, seraya menyeka pipinya. Reynor kembali menatap Nadine. "Eh lo sinting ya! Kenal sama lo aja nggak! Tiba-tiba gue disuruh kawin sama lo! Mending gue bunuh diri!" Reynor bangkit, turun dari ranjang. "Awww!" Tiba-tiba Nadine berteriak, segera menutup matanya dengan kedua tangannya, melihat tubuh Reynor yang keluar dari balik selimut tanpa sehelai benang satupun. "Eh lo mau kemana? Lo jangan coba-coba kabur ya!" Teriaknya masih menutup mata. Reynor tak menyahut. ia mencari ceceran pakaiannya yang berserakan di lantai. "Dasar perempuan gila! Dia pikir selera gue macam dia? Pyuh!" Umpatnya. Reynor yang kalap, segera memakai pakaiannya. Nadine membuka sedikit sekat di antara jari-jarinya yang masih menempel di mata. Melihat Reynor sudah memakai pakaiannya dengan lengkap atau belum. "Heh lo mau kemana? Jangan coba-coba kabur ya!" Nadine masih berusaha mengejar tanggung jawab dari Reynor. Reynor sudah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, Nadine perlahan menurunkan tangan yang menutupi netranya. Reynor menatap Nadine serius, membuang nafasnya dengan kasar. "Sorry ya, tapi gue nggak bisa menikah dengan orang yang belum gue kenal. Anggap saja tadi malam adalah kesalahan yang tidak sengaja kita lakukan. Gue harus pergi sekarang." Melihat Reynor akan meninggalkannya, lantas membuat Nadine terlihat panik. "Nggak bisa! Lo mau kemana? Lo harus tanggung jawab! Lo nggak bisa ninggalin gue kaya gini!" Beberapa detik Reynor menatap Nadine, lalu berbalik dan meninggalkannya begitu saja. Nadine ingin mengejar Reynor, namun mengingat tubuhnya masih polos tak mengenakan apapun, ia urungkan niatnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Tak mungkin ia mengejar dengan berlarian tanpa busana. Ia terpaku di atas ranjang dengan gemuruh perasaannya yang sulit untuk dia ungkapkan. Reynor benar-benar sudah menghilang dari hadapannya. "Ya Tuhan! Dosa apa aku! Aku di tinggalkan Christo, orang yang sangat aku sayang, dan sekarang aku juga di buang oleh orang yang sudah merenggut kesucianku! Hiks hiks!" Nadine kembali tergugu. Reynor berjalan dengan jurus seribu langkah. Hentakan kakinya begitu cepat, agar tak terkejar oleh Nadine. Sesekali ia menengok ke belakang, memastikan Nadine tak sampai mengejarnya. "Perempuan sialan! Lo pikir lo itu pintar! Lo pikir dengan jebakan ecek-ecek kaya gini lo bisa nipu gue! Jangan harap!" Gumamnya seraya terus berjalan. Reynor berhasil keluar dari hotel dengan mengendarai mobil Mercedes Bins nya. Ia lajukan mobilnya ke arah apartemennya. Perasaannya masih kacau, antara memikirkan Selena dan kejadian yang baru saja menimpanya saat ini. "Gue yakin, semalam itu Selena! Tapi kenapa bisa berubah jadi perempuan asing itu!" Ujarnya bertanya-tanya. "Apa semalam gue juga sudah berhubungan dengan perempuan itu? Lalu, kemana Selena?" Ucapnya lagi makin bertanya-tanya. "Arrrgghh! Masa bodoh dengan perempuan itu. Aku tidak mengenalnya, anggap aja semalam itu adalah hari sialku." Ucap Reynor melepaskan kekesalannya. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi, Reynor ingin segera sampai di apartemennya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh pada dahinya, semacam rasa nyeri. Tangan kirinya ia gerakkan menuju ke atas, menyentuh dahinya. "Awwww! Sakit!" Rintihnya. "Kenapa dahi gue?" Tanyanya sendiri. Dengan cepat, ia menghadapkan kaca spion mobil dalam yang terletak di atasnya, kemudian ia arahkan tepat pada wajahnya. Terlihat memar warna biru di dahinya. Itu adalah sisa luka semalam, hadiah dari salah seorang scurity club yang berhasil mendaratkan pukulannya ke dahi Reynor. "Sialan! Berani mereka memperlakukanku seperti ini! Lihat saja, aku akan membuat perhitungan dengan kalian! Belum tahu dia, siapa Ivender Reynor!" Sumpah serapah ia lontarkan. *** Nadine mencari keberadaan tas selempang mungil yang selalu menemaninya kemanapun ia pergi. Netranya terhenti pada sebuah benda kotak berwarna hitam di kolong meja tak jauh dari ranjang. Nadine bangkit, lalu mendekati benda kotak itu. "Dompet!" Ujarnya. Nadine segera mengambil dompet itu, lalu membukanya dengan sangat hati-hati. Ia menemukan sebuah pas foto di dalamnya. Sebuah foto seorang laki-laki dan perempuan tengah duduk berdekatan dan saling menatap. "Ini kan orang yang tadi! Apa jangan-jangan ini dompetnya?" Nadine segera memeriksanya, siapa tahu ada petunjuk yang bisa ia temukan untuk melacak keberadaan Reynor. Sebuah kartu nama berhasil ia temukan. "Ivander Reynor Alexy!" Ucapnya, mengeja sebuah nama dalam kartu yang di pegangnya. Seringai senyum terurai dari bibir Nadine. Sepertinya ia akan merencanakan sesuatu menggunakan kartu nama itu. Nadine tak ingin berlarut-larut meratapi kesedihannya. Ia segera bergerak, memungut pakaian yang berserakan di mana mana. Ia kenakan pakaiannya dengan cepat, ia ingin segera pulang. Ia yakin, Ayah dan Ibunya pasti sangat khawatir karena semalaman ia tidak pulang dan tidak juga memberikan kabar. Nadine segera meninggalkan kamar terlaknat itu. *** Di rumah Nadine. Terlihat jelas suasana hangat di sebuah ruangan kecil berukuran tiga meter kali tiga meter. Dua orang laki-laki tengah berbicara serius demi masa depan anak-anak mereka. Dia adalah Ramon Ivander dan juga Wilantara. Persahabatan keduanya bisa di katakan sangat intim. Membangun hubungan dari masa SMA hingga sekarang, sampai mereka sudah memiliki anak-anak yang tumbuh dewasa. Ramon baru saja kembali dari Jerman bulan lalu, setelah menetap beberapa waktu di sana, ia dan istrinya, Karina, memutuskan kembali ke Jakarta. "Jadi gimana, Wil. Kamu setuju, kalau anak kamu aku ambil sebagai menantu? Hehehe!" Guraunya pada sang sahabat. "Aku sih tergantung anaknya saja, Mon! Kalau Nadine mau, aku juga dengan senang hati akan mengiyakan perjodohan ini. Toh niat kita baik! Demi kepentingan anak-anak!" Timpal Wilantara dengan hangat. "Aku ingin anakku nanti bisa mendapatkan pendamping yang asal-usulnya jelas. Aku sudah mengenalmu dengan sangat baik, makanya aku ingin mempererat persahabatan kita supaya makin erat dengan mempersatukan anak-anak kita." "Iya, Mon. Aku paham mengenai itu. Tapi kamu juga sudah melihat sendiri, keluargaku bukanlah berasal dari keluarga kaya, sepertimu. Apa kamu tak malu, ketika teman-teman bisnismu nanti tahu, kalau besan dari seorang Ramon Ivander hanyalah seorang rakyat jelata?" "Astaga, Wil! Apa kamu belum cukup mengenalku selama ini? Dari dulu aku tidak pernah memilih teman, berasal dari mana mereka, aku bahkan tak perduli. Yang aku tahu, teman-temanku adalah orang baik." Ucap Ramon dengan tegas, menatap netra sahabatnya. "Wah, kalian ini, sepertinya sedang serius membicarakan sesuatu. Aku boleh tahu nggak?" Terdengar suara seorang wanita yang tengah berjalan menuju ruang tamu, dengan membawa nampan di tangannya, yang berisi minuman dan camilan. Dia adalah Rossa, adalah istri dari Wilantara, Ibunya Nadine. Ramon memutar kepalanya menatap Rossa. "Ini lho Ros, kami sedang membicarakan masa depan anak-anak." "Masa depan anak-anak? Maksudnya?" Tanya Rossa, seraya meletakkan minuman ke tas meja. Lalu ia duduk di samping suaminya. "Jadi gini, Ros. Aku berniat menjodohkan anak laki-lakiku dengan anak perempuanmu! Kita sudah sama-sama mengenal dengan sangat baik. Wilan adalah sahabat terbaikku. Jadi rasanya akan sangat senang jika ikatan kita makin erat jika anak-anak kita persatukan juga." Rossa memajukan sedikit bibirnya, ia berusaha mencerna maksud ucapan Ramon. Rossa menengok suami di sampingnya. "Nadine mai dijodohin sama anaknya Ramon? Begitu Yah?" Tanya Rossa, ragu-ragu. Wilan mengangguk. "Iya, Bu! Kurang lebih begitu maksudnya. Aku sih tergantung Nadine saja. Aku tidak mau memaksakan kehendak, semuanya terserah Nadine, karena dia yang menjalani." Rossa berbalik menatap ke arah Ramon, lalu perlahan senyumnya mulai mengembang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD