Awal Dari Semua

1050 Words
Pagi hari yang bersinar, secerah hati Rahmat yang ketika bangun dari tidurnya langsung teringat akan Danur. Sejak semalam, Danur memang sudah mengisi hampir setengah dari ruang kewarasannya. Oiya, kalian jangan bingung atau tertukar, ya. Bu Danur adalah seorang ibu yang berbaik hati memberikan izin untuk Rahmat dan Gazi tinggali, sementara Danur adalah seorang wanita muda, tidak jauh umurnya dari Gazi dan Rahmat yang saling bertemu pada keadaan dan kondisi ketiganya sama-sama saling menunjukkan sisi terburuknya. Tapi begitulah hidup, Tuhan selalu punya rencana tidak terduga untuk setiap ciptaan-Nya. Ketika pagi datang, Rahmat yang sejak semalam sudah mempersiapkan semua bahan yang akan dia jemur sampai kering pagi ini, bawang merah yang sudah diiris tipis, bawang putih yang juga diiris tipis, dan cabe merah yang dilakukan sama dengan bawang merah dan bawang putih tersebut. Lalu kembang kates yang semalam Rahmat ambil dari dapur Bu Danur. Setelah semua selesai diiris tipis oleh Rahmat, dia menata semua bahan-bahan itu di wadah yang bersih dan aman, lalu keluar dan mencari posisi di mana matahari bersinar terang. Lalu menyiapkan plastik yang digunakan untuk melindungi bahan-bahan tadi dari debu dan kotoran burung yang mungkin saja jatuh. Setelah menjemurnya, Rahmat lalu ke rumah Bu Danur untuk berpamitan karena mau keluar, menjajakan lagi dagangan yang diambil dari gudang jajanan yang nantinya akan dijajakan Rahmat ke bus, dia juga berkeliling ke rumah-rumah. Ke mana saja kakinya sanggup melangkah. Karena Gazi hari ini masih belum sehat, maka Rahmat hanya pergi sendirian. “Bu Danur, aku pamit dulu, Bu. Mau cari uang lagi, doain ya, Bu, aku dapet uang yang banyak. Jadi nanti Ibu gak usah lagi capek-capek kerja dan jualan ke pasar. Gazi aku tinggal di rumah, karena kondisinya belum sehat. Dia sengaja aku kunci dari luar, tapi kuncinya aku taro di selipan atas pintu. Kalo ada apa-apa, ambil aja, Bu. Tolong jangan dibuka kalo gak ada kejadian yang bahaya, ya, Bu. Nanti siang aku pulang kok, untuk nganterin makanan ke Gazi.” Bu Danur mengangguk. Setelahnya Rahmat, seperti mencari sesuatu, Bu Danur yang sepertinya tau apa yang sedang dicari oleh Rahmat, langsung nyeletuk, “Danurnya lagi ke pasar, tadi Ibu minta tolong dia untuk belanja bahan masakan untuk makan siang dan makan malam kita hari ini.” Sambil tersenyum menggoda Rahmat. Rahmat yang kepergok seperti itu, hanya tersenyum dan tersipu, “Loh, gak gitu, Bu. Aku gak nyari Danur, kok. Aku nyari, ehm … ini, plastik, aku nyari plastik ini untuk wadah jualanku. Ya udah, Bu, aku pamit, ya, Doain aku dapet uang banyak.” Sambil mencium tangan Bu Danur, Rahmat melangkah pergi dengan hati riang. Setelah hampir tujuh jam sejak Rahmat pergi dari rumah pukul lima subuh tadi, sekarang sudah saatnya makan siang. Sebenarnya, biasanya dia akan makan siang di sekitar sini saja, beli nasi tempe dengan lauk, harga dua ribu rupiah, sudah cukup untuk mengganjal perutnya sampai malam nanti. Tapi karena dia meninggalkan Gazi di rumah dalam kondisi yang belum sehat, maka Rahmat harus memberi Gazi makan juga. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit, dari tempat Rahmat berjualan menuju ke rumah Bu Danur. Dia sengaja menjajakan jualannya tidak terlalu jauh dari rumah, karena jika perlu pulang seperti ini, dia akan lebih cepat sampai di rumah. Dari kejauhan, Rahmat melihat ada Danur yang sepertinya sedang berada di garasi berdua dengan Bu Danur. Awalnya Rahmat pikir Bu Danur dan Danur sedang berbincang atau ngobrol, tapi lama kelamaan Rahmat mendengar jerit kesakitan dari Danur. Rahmat bergegas untuk berlari menuju rumah. Dan benar saja, begitu dia sampai di rumah, Danur sedang mengerang kesakitan, “Ada apa, Danur, Bu? Ada apa ini?” Rahmat kemudian melihat ke arah kamar yang sekarang sudah bolong di bagian tangannya. “Apakah ada yang membuka kamar ini? Atau Gazi yang merusaknya dari dalam?” Bu Danur menggeleng, “Tadi Gazi memanggilmu dari dalam. Ibu lupa bilang sama Danur kalo kamar kalian tidak boleh dibuka kecuali kamu yang buka. Danur yang mendengar panggilan Gazi, membuka pintu kamar ini dan ternyata Gazi menyerang Danur. Ibu ke dalam dulu untuk ngecek luka Danur. Kamu cek Gazi, tadi Ibu reflek memukul kepalanya dengan gagang sapu. Karena Ibu kalut, bingung mendengar Danur yang dicengkeram oleh Gazi.” Rahmat mengangguk, “Baik, Bu. Kalo perlu obat atau apa, bilang saja, nanti saya carikan.” Setelah Bu Danur membawa Danur ke dalam untuk lalu mencoba mengintip, bagaimana keadaan Gazi dari luar. Terlihat Gazi sedang ada di pojokan. Melihat Rahmat dari luar, Gazi bilang, “Jangan masuk, nanti saja. Aku masih belum baik-baik saja. Tolong tutupi lubang itu, lalu ganjal dari luaaaarrr …” teriak Gazi dari dalam, sambil dia menahan tubuhnya yang mau bergerak tidak tertahan. Demi mendengar permintaan Gazi, Rahmat lalu mencari sesuatu yang bisa dibuat untuk menahan pintu ini agar Gazi tidak keluar atau mencoba merusak pintu untuk menahan pintu dari luar. Rahmat lalu melihat berkeliling dan menemukan ada lemari yang tidak terpakai, terlihat cukup kuat untuk menutup pintu dan menghalanginya agar tidak bisa didorong dari dalam. Ketika Rahmat sedang mencoba untuk mendorong lemari tersebut dengan susah payah, seorang diri, ada seseorang yang membantunya mendorong lemari tersebut dari belakang, “Ke kiri sedikit. Yang lurus, jangan belok-belok. Kamu tarik aja dari sana, biar aku dorong dari sini.” Iya, itu Danur, Rahmat mendengar suara tersebut dan merasa lega. Karena artinya Danur baik-baik saja. Setelah berhasil mendorong lemari tersebut dan cukup untuk menghalangi pintu kamar Gazi dan Rahmat, keduanya lalu duduk dengan napas tersengal-sengal, “Kamu baik-baik saja? Apa yang tadi luka, biar aku lihat.” Rahmat menanyakan apa yang luka dan dicelakai oleh Gazi ke Danur, “Ah, hanya goresan kecil kok, nih.” Danur memperlihatkan pergelangan tangan kirinya ke Rahmat, lalu Rahmat menarik tangan tersebut. Luka yang cukup dalam, “Ini lukanya dalam, loh. Udah diobati pakai apa? Tunggu di sini sebentar, aku carikan obat.” Dan ketika Rahmat akan bangun, Danur menarik tangan Rahmat untuk duduk lagi, “Gak usah, ini udah cukup, tadi Bu Danur membersihkan tanganku lalu menyiramkan alkohol untuk membersihkannya, dan mengoleskan lukanya dengan obat merah, cukup.” Rahmat melihat kesungguhan dari ucapan yang dikatakan Danur, “Tolong bilang ke aku, kalo kamu merasakan sesuatu, ya.” Danur mengangguk, “Ini mah gak ada apa-apanya. Pukulan bapak tiriku lebih sakit dari ini, tapi aku bisa menahannya. Tenang, ya, aku baik-baik saja.” Begitu ucap Danur kepada Rahmat untuk menangkannya, kemudian Rahmat mengangguk, mencoba percaya pada ucapan Danur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD