Rasa yang Tidak Biasa

1085 Words
Ketika sudah berjalan cukup jauh, Danur bertanya mengenai keadaan Gazi ke Rahmat, “Sebenarnya temanmu, kenapa? Eh … itu temanmu atau saudaramu?” Rahmat tidak menjawab, dia masih mencoba mengatur dengan baik antara napas dan keseimbangannya membawa Gazi di bahunya, “Bisa gak, ngobrolnya nanti aja, aku lagi menghemat napas biar sampe ke rumah yang kita tuju.” Danur mengangguk dan bilang, “Oke.” Lalu mereka berjalan dalam diam. Tidak ada hambatan berarti, hanya beberapa kali mereka diteriaki anak-anak muda iseng yang melihat mereka, “Hei, pulang anak bau kencur. Jalanan kejam untuk kalian berkeliaran.” Mereka tidak menanggapi. Entah kenapa, Rahmat merasa perjalanan ini cukup panjang dan lumayan melelahkan, tidak seperti biasanya. Mungkin karena dia harus membopong Gazi di punggungnya, dan untungnya Gazi diam, tidak banyak bergerak, hanya sesekali erangan dari mulutnya terdengar. Ketika sampai di rumah Bu Danur, Gazi langsung masuk lewat garasi samping rumah yang memang sudah mereka bereskan tadi pagi. Setelah menaruh Gazi di ranjang, Rahmat mengunci pintu kamar tersebut dan tidak membiarkan Danur untuk masuk. Ketika sedang membersikan barang-barang yang sempat diselamatkan oleh Rahmat, Bu Danur membuka pintu sambung yang ada di antara rumahnya tinggal dan garasi tempat Rahmat dan Gazi tinggal, “Kalian sudah pulang? Loh … kok ada wanita muda di sini, siapa dia, Rahmat? Mana Gazi?” Rahmat agak terkejut mendengar suara Bu Danur, “Gazi sedang di kamar, Bu. Ini Danur, dia teman baru kami yang kami temui tadi ketika perjalanan ke sini, ketika kami keluar dari rumah tempat kami menginap selama ini.” Bu Danur terkejut, “Namamu Danur juga, Nak? Wah Ibu seperti bertemu kembaran dari masa muda. Ya sudah, yuk makan, Ibu sudah masak, kalian pasti lapar.” Rahmat dan Danur mengangguk, “Baik, Bu, setelah selesai membereskan ini, saya ke tempat Ibu.” Bu Danur mengangguk, “Danur, bantu Ibu di dapur, yuk.” Bu Danur mengajak Danur untuk duluan ke rumahnya. Ketika Rahmat sudah selesai membereskan semua barang-barangnya, Rahmat menuyusul Bu Danur dan Danur ke rumah sebelah, “Rupanya, wanita muda ini suka banget masak, loh, Rahmat. Barusan Ibu meminta tolong Danur untuk membuat sambal, enak banget ini aromanya, ayo kita makan. Mana Gazi, dia gak ikut kita makan?” Rahmat mengambil kursi di seberang Bu Danur dan Danur, menyendokkan nasi, dan mengambil dua potong tempe, sambal terasi yang sedap dipandang mata, lalu tumis kembang kates yang dicampur dengan gilingan teri. Rahmat makan dengan lahap. Entah kenapa, tiba-tiba dia terpikir membuat kapsul dengan kombinasi rasa ini, jadi ketika Gazi sedang tidak baik-baik saja, dia bisa meminum kapsul yang berisi ekstrak makanan ini atau makanan kesukaannya yang lain, ah … benar, idenya luar biasa. Maka setelah selesai makan, dia meminta izin ke Bu Danur untuk mengambil beberapa bahan dari dapur Bu Danur untuk melancarkan aksinya tersebut, “Bu Danur, aku boleh minta dua buah bawang merah, dua buah bawang putih, garam, lada, satu buah cabai merah.” Bu Danur yang mendengar permintaan Rahmat merasa heran dengan bahan-bahan yang diminta Rahmat, “Buat apa itu semua bahan-bahannya, Rahmat? Kamu mau masak?” Rahmat tertawa lalu menjawab pertanyaan Bu Danur dengan berseleroh, “Aku mau melakukan eksperimen, aku akan buat beberapa kapsul yang bisa diminum, enak rasanya, dan bisa membuat kenyang yang meminum kapsul tersebut. Jadi nanti, kalo bumi diserang alien, dan kita harus bersembunyi, kita gak perlu menyetok atau bingung dengan stok makanan.” Bu Danur menanggapi ucapan Rahmat, “Huss … ngaco kamu. Mana ada alien. Ya sudah, ambil aja itu bahan-bahannya di dapur.” Lalu Bu Danur meneruskan ucapannya, “Mengenai Danur, malam ini biar dia tidur sama Ibu, besok pagi tolong antarkan dia ke rumahnya, ya, Rahmat.” Rahmat mengangguk. Tapi Danur seperti sedang melamun, ketika Bu Danur dan Rahmat bicara, Rahmat yang menyadari hal ini menegur Danur, “Kamu tidak apa-apa, kan?” Danur tidak menyahut sama sekali, Rahmat kembali menegur Danur, “Hei, Danur, kamu ngelamunin apa sih, ditanya dari tadi gak dijawab.” Ketika mendengar suara Rahmat yang agak keras, Danur tersentak, lalu menjawab pertanyaan Rahmat dengan mata berkaca-kaca, “Aku dijual oleh bapak tiriku. Lelaki yang semalam itu, yang membawaku ke rumah kosong itu, sudah membayarku dan memberikan uang ke bapak tiriku sebagai gantinya aku yang dijual ke mereka.” Rahmat dan Bu Danur terkejut, “Kamu serius, Danur?” Bu Danur mencoba memperjelas lagi ucapan Danur. Dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya, Danur mengangguk, “Biar tuhan ambil nyawa saya sekarang, jika saya berbohong, Bu.” Mendengar penjelasan dan cerita yang disampaikan Danur, Rahmat menjadi iba kepadanya, tapi bingung juga, karena ini bukan rumahnya, jadi dia tidak bisa menawarkan bantuan atau menawarkan Danur untuk tinggal di sini. Ketiganya diam dalam kebisuan. Lalu tidak lama setelahnya, Bu Danur membuka suara dan bilang sesuatu yang membuat Danur senang dan Rahmat tenang, “Ya sudah, kamu tinggal di sini saja, sama Ibu. Temani Ibu, ya. Tapi kita bagi-bagi tugas, ya. Ibu akan masak dan berjualan ke pasar, sementara Danur akan membantu Ibu membersihkan rumah dan mencuci baju, bagaimana?” Danur mengangguk dengan semangat, “Tapi ingat, kalian, kamu Danur dan Rahmat juga Gazi, tidak boleh melakukan hal yang aneh-aneh, ya, kalo Ibu gak di rumah, Ibu percaya kalian adalah anak-anak baik, yang bisa Ibu percaya, ya, kan?” Rahmat dan Danur mengangguk, “Baik, Bu. Kami akan menuruti semua perkataan Ibu, terima kasih banyak, Bu, karena sudah membantu aku dan Gazi, dan sekarang Ibu juga mengizinkan Danur untuk tinggal di sini.” Bu Danur mengangguk, “Ibu justru senang dan bersyukur sama Tuhan, di saat Ibu udah tua gini, tinggal sendirian, gak ada anak apalagi suami, saudara juga gak pernah lagi mengunjungi Ibu, justru Tuhan mengirimkan kalian untuk menemani Ibu, terima kasih, ya, Nak.” Rahmat dan Danur saling berpandangan dan tersenyum, Rahmat terkejut, dia baru menyadari senyum Danur ternyata manis juga. “Kalo sudah makannya, Danur, bantu Ibu bereskan bekas makan ini, ya, terus beresin kamarmu nanti.” Mendengar Bu Danur ngomong seperti itu, Rahmat refleks bangun, lalu mengambil piring-piring di atas meja, “Ini semua biar aku yang beresin dan aku cuci. Ibu dan Danur silakan lakukan saja aktifitas yang mau dikerjakan, lalu setelahnya istirahat aja, biar saya yang membereskan ini. Jangan khawatir.” Bu Danur mengangguk dan mengajak Danur ke kamar yang akan ditempatinya mulai mala mini, “Baiklah, Danur, ayo ikut Ibu. Biar Ibu tunjukkan kamar yang bisa kamu tempati. Bereskan dulu, sebentar Ibu ambilkan seprai dan sarung bantalnya.” Dan sat itulah, Rahmat sadar kalo dia merasakan rasa yang tidak biasa terhadap Danur, sepertinya dia menyukai Danur lebih dari teman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD