Putar Otak

1101 Words
"Itu apa? Kenapa Gazi seperti itu? Rahmat jelaskan sama Bapak dan Ibu, sejak kapan Gazi seperti itu? Kenapa keadaan seperti ini kamu hanya diam, itu membahayakan Gazi. Rahmat, jawab Ibu.” Bu Barsah berteriak, syok, dan tubuhnya gemetaran. Pak Rahmat mencoba menenangkan Bu Barsah, “Ssstt … Bu, tenang dulu, biar Dokter Tesar periksa Gazi dulu, nanti baru ketahuan, ya, Dok.” Pak Barsah melihat ke arah Dokter Tesar yang sekarang berada di luar kamar. Terlihat dia menggeleng sambil berjengit ketakutan, “Gak bisa, Pak Barsah, rasanya ini bukan ranah saya untuk memeriksanya. Itu tidak ada gejala seperti itu dalam ilmu kedokteran yang sudah saya pelajari selama ini. Maaf, saya tidak bisa membantu, saya permisi.” Dokter Tesar langsung pergi tanpa menoleh lagi ke arah kami. Pak Barsah yang melihat Dokter Tesar seperti itu, hanya bisa terdiam. Mungkin di satu sisi, Pak Barsah merasa kesal, karena Dokter Tesar tidak bisa membantu, tapi di sisi lain, Pak Barsah juga paham bahwa sepertinya Dokter Tesar merasa ketakutan. Wajar sih, sebenarnya, siapa yang tidak ketakutan, melihat Gazi seperti itu, matanya yang melotot, dengan suara geraman seperti macan yang mau menerkam mangsanya, lalu wajah yang memerah. Maka, setelah Dokter Tesar pergi, Pak Barsah meminta semua yang ada di kamar Gazi keluar dulu, “Ya sudah, kita semua keluar saja dulu. Rahmat, tolong tutup dan kunci kembali kamar Gazi, ya. Kalian, yang ada di sini, tidak ada yang boleh membuka pintu kamar Gazi kecuali atas izin saya, termasuk kamu, Rahmat, kamu gak bisa asal masuk ke sini tanpa sepengetahuan Bapak, ya.” Pak Barsah memberikan perintah ke asisten rumah tangga, tukang kebun, dan para supir yang tadi datang berbondong-bondong karena mendengar keributan di kamar Gazi. Begitu juga dengan Rahmat, ketika mendengar titah seperti itu, Rahmat memilih untuk mengangguk dan menuruti ucapan Pak Barsah. “Gazi harus dibawa ke rumah sakit, Pak. Gak bisa hanya didiamkan dan dibiarkan tinggal di dalam rumah ini,” ucapan Bu Barsah barusan menohok ulu hati Rahmat. Rahmat tidak mau Gazi dibawa ke rumah sakit, Rahmat yakin jika dibawa ke rumah sakit, Gazi akan jadi bahan olok-olokan atau yang lebih parah jadi bahan uji coba dan malaprakti para dokter. Pak Rahmat menggelengkan kepalanya, melihat hal ini Rahmat tenang, memang ini yang dia harapkan, Pak Rahmat akan melarang Gazi dbawa ke rumah sakit. “Gazi harus dibawa ke orang pintar, aku yakin, ada sesuatu yang merasukinya.” Mendengar hal tersebut, Rahmat malah tambah terkejut. Astagah, kedua orang tua ini, sungguh memiliki pemikiran yang tidak diduga oleh Rahmat. Tapi dia belum bisa menjawab atau mengutarakan pendapatnya, sampai Pak Barsah memberikannya waktu untuk bicara, Rahmat tau, Pak Barsah tidak suka, jika waktunya dia bicara, diselang atau dipotong oleh orang lain. Hening, di dalam ruangan itu tidak ada yang bersuara, Pak Barsah sibuk dengan pikiran dan keribetan pendapatnya sendiri, Bu Barsah yang semakin ketakutan dengan pemikirannya juga, dan Rahmat yang bingung bagaimana caranya mencegah Gazi dibawa ke rumah sakit atau dibawa ke “Orang pintar” seperti ide Pak Barsah. Lalu tiba-tiba, Bu Barsah bersuara, “Sekarang, kita harus membawa Gazi ke rumah sakit, setelah dapat diagnose dan penjelasan dari dokter dan pihak rumah sakit, lalu kita bawa Gazi ke orang pintar, gimana menurutmu, Pak? Jangan sampai Gazi kenapa-kenapa di rumah ini. Aku gak mau Gazi sakit dan justru dijauhin dan dimusihin orang karena keadaannya.” Pak Barsah menggeleng, sepertinya dia tidak setuju dengan ide Bu Barsah, “Jangan hari ini. Kita tunggu besok, kita tunggu Gazi reda dulu emosinya. Nanti kalo kita bawa dia sekarang, aku khawatir masalahnya malah melebar ke mana-mana. Kita tunggu besok." Lega, itu perasaan Rahmat sekarang. Karena semalam ini, dia bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan Gazi tanpa harus dibawa ke rumah sakit dan ke orang pintar tersebut. Setelah selesai mereka bicara di tempat itu, akhirnya Pak Barsah menyuruh Rahmat untuk kembali ke kamar dan istirahat, “Ya sudah, mala mini kita istirahat dulu. Jangan ada yang mengambil tindakan apa pun. Rahmat, jangan pergi atau keluar ke manapun tanpa sepengetahuan Bapak atau Ibu, paham, ya.” Rahmat lagi-lagi mengangguk dan menjawab, “Iya, Pak.” Dan berjalan ke kamarnya sambil menengok ke kamar Gazi sebentar tanpa bersuara, mengendap-endap, mau melihat bagaimana kondisi Gazi sekarang. Gazi sudah berubah posisi, dia sudah turun ke bawah. Sepertinya Gazi tidak bisa bernapas, karena tadi ketika orang-orang meninggalkan kamar ini dalam keadaan kalut. Jadi Rahmat menghidupkan kipas angina dan mengarahkan kipas angina tersebut ke Gazi, Rahmat juga membuka kaos yang dipakai untuk menutupi wajah Gazi. Gazi terlihat tenang, sampai Rahmat bisa mendengar bahwa Gazi memanggil namanya, pelan sekali, “Bawa aku pergi dari sini, tolong. Aku tidak mau dibawa ke rumah sakit, orang-orang akan memandangku aneh, Bapak dan Ibu akan dikucilkan orang-orang di lingkungannya. Tolong bawa aku pergi, tarok aku di mana saja, setelah itu, kamu bisa balik lagi ke sini. Buat keadaan kamar ini seolah-olah aku melarikan diri, Rahmat, tolong aku. Aku tidak mau membuat susah siapa pun.” Rahmat diam, dia tidak menanggapi ucapan Gazi, Rahmat mengangkat kembali Gazi ke atas ranjang, awalnya Gazi menolak, “Gak usah, tinggalkan aku di sini. Jangan dekat-dekat aku, aku berbahaya.” Sekali lagi Rahmat diam. Setelah mengangkat Gazi ke atas ranjang, “Kamu istirahat. Gak usah mikir yang aneh-aneh. Aku akan mencari jalan keluar terbaik, tunggu dan bersabarlah. Aku akan mencegah Bapak dan Ibu membawamu ke rumah sakit atau ke manapun. Kamu akan diam di sini, sampai aku menemukan penyebab penyakitmu dan bagaimana cara mengobatinya. Tolong sabar, aku janji akan menjaga dan merawatmu.” Gazi diam, dan ketika Rahmat akan menutup pintu, sekali lagi dia berbalik dan melihat ke arah Gazi, lalu bilang, “Jangan kecewakan aku dengan tindakan atau rencanamu yang bahkan bisa membahayakan kita berdua, janji?” Gazi tidak menanggapi, mungkin dia memiliki pemikiran lain, tapi, demi didesak oleh Rahmat, yang menanyakan Gazi, “Gazi, tolong berjanji dulu ke aku.” Akhirnya Gazi menjawab, “Baiklah, aku janji. Terima kasih, Rahmat. Maafkan aku yang selalu merepotkanmu, maaf.”  Ada titik air yang menggenang di sudut mata Gazi, Rahmat tau, Gazi bukan orang yang jahat, dia tidak pernah berniat untuk menyakiti siapa pun, “Jangan bicara seperti itu, istirahatlah.” Lalu Rahmat mengunci kembali pintu kamar Gazi dan berjalan ke kamarnya sendiri. Tapi sesampainya di kamar, dia hanya merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara matanya tidak dapat terpejam dan otaknya terus berputar, memikirkan bagaimana caranya dia bisa membawa Gazi, keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu Rahmat, tapi dia juga bingung, harus membawa Gazi ke mana, sementara mereka tidak ada tempat untuk pergi, Rahmat juga tidak memiliki uang yang banyak. Malam itu, dia tidak bisa terpejam bahkan sedetikpun, sampai kokok ayam berbunyi menandakan pagi sudah datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD