Setelah bertengkar dengan Delano dan akhirnya berpisah di hotel, Sarren kembali ke rumahnya dan kali ini ada sesuatu yang berbeda dari suaminya, suaminya menyambutnya di depan pintu dengan kedua tangan di pinggang menandakan Jack saat ini akan mencercanya.
“Wah, bagus seorang wanita bersuami baru pulang setelah dua hari berkeliaran. Sungguh istri yang tidak tahu diri.” Jack menggeleng.
“Diamlah. Aku sedang malas bertengkar denganmu. Jangan menjadi suami yang sok perhatian dan sok marah padaku. Jangan menjadi pria yang hanya tahu menyalahkan, tapi tidak bisa melihat kesalahan sendiri.”
“Aku dua hari ini menunggumu di rumah bahkan kamu bisa melihat berapa banyak panggilan yang kamu tolak bahkan banyak panggilan yang kamu abaikan, pesan-pesanku pun tidak kamu balas. Sebenarnya kamu sedang bersama siapa? Apa kamu sedang mencari kesenangan dengan pria lain? Apa kamu bermain ranjang dengan pria lain?”
“Diam kamu! Kamu tidak berhak menanyakan hal itu dan kamu tahu sendiri aku tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi padamu dan apa yang kamu lakukan di luar sana dan kamu sendiri yang mengatakan kita bisa urus diri masing-masing, apapun yang kamu lakukan dan apapun yang kita lakukan itu adalah urusan masing-masing. Ingat itu!”
“Ya tapi setidaknya kamu harus jujur padaku, selama 2 hari ini kamu dimana?”
“Aku dari rumah Mommy. Puas? Jangan ganggu aku. Aku mau istirahat.”
Sarren hendak melangkah melintasi suaminya, namun lengannya digenggam kuat oleh sang suami, rasanya lengannya seperti akan patah karena genggaman Jack.
“Kamu jangan bohong, aku sudah telepon orang tuamu. Dan, katanya kamu tidak di sana.”
“Lepaskan aku, Jack. Aku benar-benar tidak ingin meladenimu, bisa tidak beri aku kenyamanan di rumahku sendiri? Jika kamu seperti ini terus, menggangguku setiap aku keluar dan mengajakku bertengkar setiap aku di rumah, aku sepertinya sudah tidak tahan lagi. Aku ingin pisah.”
“Selalu saja perpisahan yang kamu bahas.”
“Kamu tidak pernah memikirkan diriku, seharusnya kamu intropeksi diri. Apa kamu pernah memikirkanku? Apa sebelum aku seperti ini kamu pernah beri sedikit saja rasa sayangmu? Yang kamu perdulikan adalah hidupmu dan hubungan terlarangmu.”
Jack melepaskan genggaman tangannya dari lengan Sarren. Perasaan Jack seperti tertampar oleh perkataan Sarren.
Sarren lalu melangkah menaiki tangga dan menuju ke kamarnya sendiri, ia sudah satu tahun ini pisah kamar dan pisah ranjang dengan Jack.
Setiap Sarren mengatakan ingin pisah, Jack selalu mencari alasan agar tidak sampai ke pembahasan selanjutnya.
Sebenarnya Sarren sudah muak pada hubungannya ini, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Jack memegang kendalinya. Ditambah lagi Jack adalah menantu kesayangan orang tuanya sementara orang tuanya tidak tahu sifat asli Jack seperti apa.
Orang tuanya juga terkadang hanya menilai seseorang dari apa yang terlihat sementara tidak mau tahu sifat sebenarnya, bahkan ketika Sarren ingin mengutarakan curahan hatinya selalu dicerca ibunya.
“Sarren, buka pintunya! Aku ingin bicara dengan kamu.”
Sarren mengira pembahasan yang tadi sudah selesai, ternyata Jack masih menyusulnya hingga ke kamar, untungnya Sareen sudah mengunci pintu kamarnya sebelum suaminya itu masuk dengan cara menerobos.
“Aku bilang buka pintunya! Kalau kamu tidak mau, aku dobrak!”
Sarren tidak peduli. Ia tetap menutup telinganya dengan bantal dan mencoba untuk tertidur.
***
Delano tiba di kantor ketika masuk ke ruangannya, Anne sudah duduk di kursi kerja miliknya.
“Selamat pagi, Sayang. Wah Sepertinya kamu berhasil mengelabuiku semalam, kamu menyuruhku pulang, katanya akan menyusulku ke apartemen, tapi nyatanya tidak sama sekali.” Anne mengomel.
Delano tidak berbicara sama sekali, ia memilih diam karena ia tahu ia salah, tidak menepati janji.
“Kenapa kamu diam? Pagi ini juga aku ke apartemen dan kamu tidak ada. Kamu ke mana?”
Lagi dan lagi, Delano tidak menjawab sama sekali, ia memilih menaruh jasnya dan duduk di sofa karena kursi kerjanya dikuasai oleh Anne saat ini.
“Jadi, kamu memilih tidak menjawabku? Dan, itu artinya kamu mengakui kesalahan?” tanya Anne.
“Aku sedang malas untuk berdebat. Jangan rusak pagiku.”
“Kamu menyuruhku untuk tidak merusak pagimu, tapi kamu sudah merusak malamku dan pagiku. Apa aku sudah tidak menyenangkan di matamu sampai berbohong menyuruhku pulang?”
“Kamu mau tahu hal yang paling aku benci?”
“Apa itu?” Anne memandang Delano.
“Aku tidak suka wanita yang ingin tahu segala hal dan wanita yang tidak memberikan privasi.”
“Jangan lupa, Delan, kita adalah calon suami istri, sudah wajar kalau aku seperti ini.” Anne memandang Delano.
“Dan itu menunjukkan sepertinya kamu tidak cocok menjadi istriku.” Delano menyerga.
“Kamu mau membatalkan pernikahan?”
“Ya jika itu bisa membuatku tenang, kenapa tidak.”
“Wah sepertinya aku sudah tahu alasan sebenarnya, kamu punya wanita lain, kan?”
“Diamlah! Aku tidak mau membahas masalah pribadi di jam kerja dan aku sangat anti oleh hal itu.”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau membatalkan pernikahan dengan kamu, jangan merusak hari bahagia kita,” rengek Anne.
“Hari bahagia?” Delano terkekeh sejenak mengingat hubungan Anne dan Enji. “Hari bahagia apa yang kamu harapkan dariku?”
“Jangan mulai menakutiku. Kamu tidak seperti ini biasanya, ketika aku pulang dari luar kota ataupun dari luar negeri kamu pasti akan menghabiskan waktu bersamaku, bahkan kamu enggan untuk beranjak pergi dari apartemenku dan kamu tahu hampir 100% persiapan pernikahan kita selesai, jadi jangan pernah berpikir untuk membatalkannya. Jika kamu membatalkan pernikahan kita, aku pastikan tidak akan membuatmu tenang. Siapapun wanita yang saat ini sedang bersamamu aku bisa membunuhnya.” Anne mengancam.
Delano tahu wanita seperti apa yang saat ini sedang dihadapinya, wanita yang bisa melakukan apa saja demi apa yang ia inginkan, wanita yang tidak pernah menjaga harga dirinya, wanita yang bermain dengan banyak pria dan wanita yang menyukai tantangan bahkan mencintai calon iparnya.
“Pergilah dari sini, kita bisa bicarakan ini nanti. Jangan buat aku muak dengan sikapmu ini.” Delano mengusir Anne.
“Aku tidak mau!”
“Delan, sepertinya Sarren tidak bisa menghadiri meeting hari ini, karena—” ucap Xean ketika membuka pintu ruang kerja Delano dan tak menyadari jika Anne ada di sini. “Oh, Anne? Kamu di sini ternyata.” Xean menoleh sesaat melihat Delano.